Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Nggak Ada Balkon, Genting Rumah Pun Jadi

15 April 2020   19:32 Diperbarui: 15 April 2020   19:32 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan murid saya dalam Whatsapp (dok.Ute)

Pada awal tahun 2020, rekaman video kamera memperlihatkan bangunan rusun di China, di mana beberapa orang menyanyikan lagu daerah dengan kencangnya atau sambil berteriak "Wuhan, stay strong, keep fight" demi melawan corona

Virus corona memang mengacaukan keadaan, namun manusia harus tetap bertahan. Para tetangga ikut-ikutan. Lewat balkon, mereka menyemangati sang penghibur. Ada yang pernah nggak sengaja menyaksikan video itu? Angkat jari.

Video yang mengetuk hati. Jerman waktu itu belum lock down tetapi saya sudah merasakan rasanya berada di sangkar emas. Harus berada di rumah? Nggak bisa ke mana-mana?  Ketemunya sama itu-itu saja (4 L - Lo Lagi Lo Lagi). Haduhhh, mana tahaaaan?

Emang enak?

Tentu saja nggak enak. Untuk orang yang suka gerak dan bertemu dengan banyak orang seperti saya, pasti susah "dipenjara" seperti itu tanpa bisa berbuat banyak. Hanya ikhtiar, berdoa dan berdoa, meskipun sebenarnya banyak kegiatan yang bisa dilakukan di dalam rumah seperti ngeblog, menulis naskah buku, mencoba beragam resep, membaca buku, membuat hasta karya, renovasi rumah, olahraga dan bermain bersama keluarga. Semua ada hikmahnya, diambil positifnya saja.

Pesan murid saya dalam Whatsapp (dok.Ute)
Pesan murid saya dalam Whatsapp (dok.Ute)
Balkon, Panggung Terbaik di Masa Karantina

Lantas, kalau hanya di rumah saja, tempat mana yang masih sanggup membuat hidup tetap bergairah?

Namanya balkon. Rupaya balkon juga dijadikan panggung bagi orang-orang Italia yang mengalami tersiksanya di masa lock down. Dari balkon flat-flat mereka, terdengar alat musik seperti saxophone, terompet dan lainnya ... mengalun di sana-sini. 

Beberapa penyanyi menyertai dari balkon yang lain. Iya, kan nggak boleh bertemu, social distancing dan physical distancing. Tak lupa bendera berwarna hijau-putih-merah berkibar di salah satu sisi balkon. Sungguh ada nasionalisme di sana, bersama-sama melawan corona dari rumah saja.

Nyatanya, balkon memang jadi panggung terbaik juga di masa karantina Jerman. Suatu hari, seorang murid saya yang pandai bermain musik mengirimkan videonya bermain musik di atas balkon lewat whatsapp.

Lengkap dengan jaket tebal dan topi, ia semangat meniup saxophone untuk membawakan "Goetterfunken" dan "Halleluja", dua nomor yang mengingatkan manusia akan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Di mana pun, manusia akan meminta perlindungan dari Allah supaya terbebas dari mara bahaya dan malapetaka yang dialami di dunia.

Not balok dalam kertas berdiri di depannya, supaya ia tak lupa nada apa yang harus ia ambil.

Ute, begitu panggilan murid saya yang juga ternyata seorang pemburu (babi, kijang, kelinci, serigala). Murid yang semangat belajar bahasa Inggris bahkan sampai di atas pohon saat menunggu mangsa (hewan) untuk dibedilpun,  memiliki talenta musik yang luar biasa. 

Menurutnya, dengan bermain musik seminggu sekali untuk umum di atas balkon akan meringankan beban masyarakat sekitar yang barangkali sedih atau stress dari karantina selama corona merajalela. Itu juga terapi jiwa bagi dirinya, berbagi selagi bisa.

Ia mengaku bahwa aksi ini disepakati semua musikus di Jerman entah di kota besar atau kota kecil. Ya, setiap hari minggu pukul 18.00 setelah bunyi dentangan gereja dekat rumah berakhir, tancap musiknya. Biarkan angin membawa musik terbang ke mana suka.

Saya bangga punya murid penurut, baik dan inspiratif seperti dia.

Sebenarnya, musik di atas balkon bukan hal yang aneh bagi kami. Seorang tetangga kami, pria umuran 60-an selalu memainkan terompet setiap pagi. Mengapa? 

Katanya itu ungkapan hatinya untuk menghibur diri bahwa istrinya akan segera meninggal karena kanker. Sebuah pelepasan diri untuk mengikhlaskan bahwa yang datang akan pergi. Tuhan adalah pemilik semesta dan seisinya.

Menurut dokter, waktunya hanya 3 bulan saja. Benarlah, bulan berganti bulan, istrinya menghembuskan nafas terakhir di rumah. 

Beberapa saat setelah istrinya meninggal pun ia masih mengalunkan suara menyayat di atas balkon. Sampai suatu hari ia merasa sudah kuat dan mau keliling dunia saja sendirian dengan around the world ticket. Nggak ada lagi musik mengalun dari balkon tetangga.

Tanja naik genting ( Dok.screenshot Tanja)
Tanja naik genting ( Dok.screenshot Tanja)
Di tengah-tengah atap (dok.screenshot Matthias)
Di tengah-tengah atap (dok.screenshot Matthias)
Nggak Ada Balkon, Genteng Rumah pun Jadi

Rumah-rumah modern Jerman masih banyak yang mengadaptasi mode rumah tradisional Jerman dengan balkon, tempat di mana orang menikmati matahari terbit atau tenggelam, makan pagi atau sekedar duduk malas membaca buku. Bagaimana jika rumah nggak ada balkonnya, dong? Mellow, dong.

Tanja Tingarova dari Bulgaria adalah salah satu musikus yang memainkan biola di lereng atap rumahnya. Dari youtube terlihat, seorang tetangga dari bawah keluar dari balkon dan menggelengkan kepala. Namun saya yakin, lama-lama ia menikmatinya karena tetap berada di sana sampai musik berakhir.

Ia nggak sendirian karena Matthias Emmerling menjentikkan jarinya di atas piano dan Katharina Mlitz-Hussain menggesek biola, benar-benar berada di tengah-tengah sebuah atap untuk memainkan musik diiringi kicauan burung-burung bebas. Sungguh menenangkan, nggak gedumbrengan. 

Dalam background, tak terlihat orang keluar dari balkon. Barangkali Freiburg, kota yang hanya 1 jam dari rumah kami itu masih terlalu pagi. Banyak orang yang bisa saja bangun siang karena work from home atau stay at home selama masa karantina. Bisa bangun sesukanya.

***

Dari gambaran di atas, kita jadi tahu bahwa solidaritas manusia di luar negeri sangat tinggi atas penderitaan orang lain karena corona, di manapun berada. Bukan senang karena orang lain menderita, justru prihatin ketika ada yang sedang dicoba. Ya, bermain musik di atas balkon atau genting rumah.

Berada di rumah saja, bukan berarti hanya makan, tidur dan nonton TV saja seharian. Bukan, bukan itu hal pokok yang bisa dilakukan orang selama berada di masa karantina. Masih ada kegiatan positif yang nggak hanya bermanfaat dan menyenangkan diri sendiri tetapi juga orang lain. Masalahnya, apakah musik itu pantas dimainkan atau suaranya sember karena belajarnya belum katam lalu dibalang tomat. Itu yang jadi soal.

Pernah juga kami meminta anak-anak main musik di teras rumah dekat kebun belakang. Ada anak yang kurang bagus memainkannya, membuat kami tertawa. Gaungnya sampai ke ujung gang, para tetangga bertepuk tangan.

Adakah komunitas musik di Kompasiana yang ingin mengadopsi ide main musik di atas balkon atau genting rumah sebagai komunitas lawan corona dengan musik? 

Jika belum ada, bagi kompasianer yang pernah belajar main alat musik, benar-benar bisa main musik, ada niat dan motivasi serta punya talenta ... mumpung masih dalam masa karantina nggak ke mana-mana, manfaatkanlah alat musik yang ada; gitar, kentrung, seruling, harmonika, kendang, panci dan rantang pun jadi. Barangkali itu akan menghibur diri Anda sendiri bahkan orang lain. Kegiatan aktif-kreatif yang bermanfaat dan menginspirasi. Jika Kompasianer nggak ada balkon, genting rumah pun jadi asal hati-hati. (G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun