Not balok dalam kertas berdiri di depannya, supaya ia tak lupa nada apa yang harus ia ambil.
Ute, begitu panggilan murid saya yang juga ternyata seorang pemburu (babi, kijang, kelinci, serigala). Murid yang semangat belajar bahasa Inggris bahkan sampai di atas pohon saat menunggu mangsa (hewan) untuk dibedilpun, memiliki talenta musik yang luar biasa.
Menurutnya, dengan bermain musik seminggu sekali untuk umum di atas balkon akan meringankan beban masyarakat sekitar yang barangkali sedih atau stress dari karantina selama corona merajalela. Itu juga terapi jiwa bagi dirinya, berbagi selagi bisa.
Ia mengaku bahwa aksi ini disepakati semua musikus di Jerman entah di kota besar atau kota kecil. Ya, setiap hari minggu pukul 18.00 setelah bunyi dentangan gereja dekat rumah berakhir, tancap musiknya. Biarkan angin membawa musik terbang ke mana suka.
Saya bangga punya murid penurut, baik dan inspiratif seperti dia.
Sebenarnya, musik di atas balkon bukan hal yang aneh bagi kami. Seorang tetangga kami, pria umuran 60-an selalu memainkan terompet setiap pagi. Mengapa?
Katanya itu ungkapan hatinya untuk menghibur diri bahwa istrinya akan segera meninggal karena kanker. Sebuah pelepasan diri untuk mengikhlaskan bahwa yang datang akan pergi. Tuhan adalah pemilik semesta dan seisinya.
Menurut dokter, waktunya hanya 3 bulan saja. Benarlah, bulan berganti bulan, istrinya menghembuskan nafas terakhir di rumah.
Beberapa saat setelah istrinya meninggal pun ia masih mengalunkan suara menyayat di atas balkon. Sampai suatu hari ia merasa sudah kuat dan mau keliling dunia saja sendirian dengan around the world ticket. Nggak ada lagi musik mengalun dari balkon tetangga.
Rumah-rumah modern Jerman masih banyak yang mengadaptasi mode rumah tradisional Jerman dengan balkon, tempat di mana orang menikmati matahari terbit atau tenggelam, makan pagi atau sekedar duduk malas membaca buku. Bagaimana jika rumah nggak ada balkonnya, dong? Mellow, dong.