Ceritanya, para pakar virus mencoba berdiskusi tentang penyebabnya. Bukankah Bergamo kota kecil? Belakangan mereka menduga bahwa penyebabnya adalah rakyatnya pernah tidak mempedulikan apa yang terjadi sebelumnya (di China sejak Januari atau di Codogno, kota tetangga terdekat Bergamo yang sudah serius menanggapi corona sejak pertengahan Februari).
Virus corona itu bahaya, pemerintah harus sigap dan rakyat harus ikut berpartisipasi dalam masa karantina! Namun apa yang terjadi? Justru pemda dan rakyat Bergamo tidak peduli. Semua kantor dan toko-toko masih buka. Orang masih bekerja di luar rumah dan wara-wiri.
Puncak kelalaiannya pada sebuah pertandingan sepak bola tanggal 19 Februari di Milan. Banyak orang Bergamo yang nonton demi mendukung klub kesayangan, Atalanta Bergamo.
Dikabarkan korban corona pertama di Bergamo meninggal pada tanggal 21 Februari 2020. Pemakaman di gereja dihadiri ratusan orang, walau di kota-kota lain sudah mulai dilarang pertemuan yang memungkinkan orang social contact. Di sinilah diperkirakan oleh para pakar bahwa virus kembali menyebar.
Kesalahan diulangi rakyat Bergamo pada tanggal 23 Februari, di mana kembali fans sepakbola nonton di stadion Milan. Mereka secara tak sengaja sebagai carrier, menyebarkan virus ketika berada di bus, kereta, bertemu keluarga di rumah dan kolega. Dua minggu setelahnya, Bergamo benar-benar kacau karena banyak yang terinfeksi dan sampai meninggal. Fasilitas kesehatan tak memadai, jumlah dokter dan perawat kurang.
Walikota setempat buru-buru menyadari kesalahan telah menganggap remeh isu corona. Sesal kemudian memang tiada guna. Nasi telah menjadi kerak. Kita berdoa saja bahwa keadaan di Italia khususnya Bergamo pulih. Jerman sudah membuka pintu membantu para pasien untuk diangkut dan dirawat di negara yang memiliki system kesehatan lebih ciamik.
Mengunjungi kota kecil ini dua tahun lalu, saya jadi ingat Semarang. Kota kelahiran saya ini juga punya dua Kawasan; Semarang atas dan Semarang bawah. Keduanya memiliki keunikan dan kelebihan sendiri yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Begitu pula dengan Bergamo.
Kompasianer, selain belajar soal bagaimana pemerintah dan rakyat memelihara kelestarian situs bersejarah, merawat dan mempromosikannya supaya banyak turis mengalir dari tahun ke tahun, kita juga hendaknya belajar dari pengalaman Italia khususnya Bergamo ini.
Saya mengajak Anda untuk tidak meremehkan virus ini seperti mereka bulan Februari lalu. Mematuhi peraturan yang dibuat pemerintah demi meredam penyebaran virus corona adalah langkah bijak untuk menyelamatkan nyawa; nyawa diri sendiri dan nyawa orang lain. Jangan pernah bilang "Nyawa saya seribu", "Saya nggak takut corona", "Saya sudah cuci tangan, sanitizer dan pakai pengaman, aman", "Di daerah saya belum ada yang sakit/meninggal karena corona", "Saya sudah minum jamu/multivitamin/fitnes", "Di tempatku orang masih boleh bebas beraktivitas" ...... Byuhhh
Betul memang, nyawa ditangan Tuhan tetapi jika sudah terjangkit virus corona ini, manusia tak akan berdaya. Apalagi sistem kesehatan di tanah air yang mungkin belum sebaik dan selengkap di luar negeri menjadi sebuah kendala dalam menyembuhkan pasien atau mengantisipasi jumlah korban. Untuk itu, stay at home, please. Semaksimal mungkin mengerjakan tugas atau beraktivitas dari rumah.