Berada di sana, kami merasa menemukan surga dunia. Tempat yang relatif mahal, menguras kocek semaunya tetapi tetap saja mempesona. Gambarannya, satu bola es krim saja sama dengan 3 euro atau hampir 50 ribu rupiah.
Dari semua kesan wow di sana, jatah lintasan mataharinya luar biasa. Untuk merasakan kehangatan temperatur udara, nggak perlu terbang ke Indonesia.
Ke Ascona saja sudah cukup. Hanya butuh 4 jam ke sana. Indonesia? Setidaknya 16 jam duduk di bangku pesawat dan pantat seakan-akan menipis pelan tapi pasti.
Eh, hangat? Di musim dingin, Ascona tetap lebih hangat dari Jerman. Pada suatu hari Minggu, kami lihat catatan temperatur udara di Ascona 17 derajat C, Tuttlingen 8 derajat C. Alamaaaaakkkk.
Bulu kuduk saya sempat berdiri membayangkan ademnya tempat saya ngenger. Brrrrrr, tarikkk selimutttt, nih yeee.
Saya beruntung, ada di Ascona waktu itu. Berada di balkon yang menghadap matahari dan jajaran pegunungan, kepala saya mengangguk. Nggak heran jika kehangatannya membuat pohon palem menjulang tinggi, layaknya di Los Angeles.
"Ah, saya memang kurang matahari," bisik saya, lalu memejamkan mata dan berbaring di atas matras kuning yang saya gelar di lantai balkon. Kursi malas bisa saja cemburu melihat saya nggak niat memilihnya.
Hmmm, nikmatnya berjemur matahari, meski baju tetap komplit, bukan baju yang kurang bahan. Ah, jadi ingat orang asing yang suka berjemur di Bali atau di pantai-pantai indah Indonesia lainnya.
Dahulu sebelum tinggal di Jerman, keheranan itu selalu terngiang-ngiang di telinga. "Apa mereka nggak takut kena kanker kulit?", "Apa nggak cemas kulitnya gosong?", "Apa nggak kepanasan?" dan 1001 pertanyaan yang mewakili keheranan di dalam kepala.