Henrique Vaz Pato, lulusan arsitek yang tinggal di Lisabon. Kota yang bea hidupnya lebih tinggi dari Porto dan Nazare, dua kota sesama negara, Portugal itu membuatnya benar-benar tak berdaya.
Dia selalu berpikir keras akan kehidupannya. Menjadi salah satu sarjana arsitek dari 25.000 orang di Portugal, saingannya bisa main sikut atau panco. Berani? Nggak nahan.
Sudah sarjana apakah jaminan kerja di masa depan yang cerah? "Ah, di mana-mana sama" kata mayoritas orang. Belum, belum tentu sama karena nasib setiap orang itu bisa berbeda kalau ada usaha dan doa. Yang membedakan biasanya adalah bagaimana orang tersebut mampu bersaing di antara kerasnya dunia.
Bila kreativitas muncul dari si (sarjana) pengangguran pasti membawa rejeki. Henrique adalah salah satunya yang telah membuktikan kreativitasnya berhasil. Jangan pernah malu kerja rendahan karena memikul gelar sarjana yang wow.
Sarjana Pengangguran Buka Resto Ikan
Adalah tempat makan bertajuk "Sol e Pesca" di Lisabon. Restoran yang saya sebut kedai itu ada di pinggir jalan "the pink street." Itu adalah ciptaan Henrique, kreativitas pengangguran yang sarjana.
Pink? Merah jambu? Iya, jalan di depan warung itu warnanya bukan abu-abu layaknya aspal atau paving jalanan, melainkan warna pink. Yaoloh, kece badai; instagrammable.
Ketika kami datang ke Pesca, kedai sudah penuh. Unik sungguh unik karena kursinya kecil seperti anak TK, begitu pula mejanya. Hiasan ala nelayan menggantung di sana-sini; jaring nilon, pancing, mata ikan dan saringan.
Menarik! Mata kami bergerilya menyapu pemandangan di sana. Orang-orang yang memenuhi tempat itu, tak terusik oleh kehadiran empat sekawan; suami, dua anak dan ... saya.
Kami duduk di luar. Saya merasa terusik ketika sebelah saya merokok dan asap terhisap sebentar. "Uhuk-uhukkk." Suami usul masuk ke dalam. Pertama karena polusi udara itu.
Kedua, supaya kalau tiba-tiba hujan rintik, bisa selamat dari kebasahan. Maklum, mendung bisa berarti hujan. "Clever, setuju, pak!"
Begitu duduk. Pemandangan etalase kedai mempesona. Tumpukannya seperti lego warna-warni yang seolah mengajak "Marilah ke mari, hey-hey-heyyy ...." Atau "Buy me, Sir."
Namun itu pasti mustahil karena di depannya sudah ada rombongan orang Jepang yang duduk dan tampak menikmati minuman beralkohol terakhir sebelum meninggalkan Pesca. Tak bisa saya merangsek mendekati kaca-kaca itu. Harap menunggu dengan sabbarrr.
Tetap duduk di kursi seberang, kamera saya ambil dari ransel oranye. Zoom membuat gambar menjadi lebih dekat. Aih, seru, jenisnya macam-macam. Ada bungkus kuning, merah, hijau, biru .... Ih, gemes kek pelangi. Isinya apa dan rasanya bagaimana ya? Cleguk.
Saingan Pesca banyak seperti Santa Catarina, Catraio atau Minerva tetapi Pesca ini konon lain daripada yang lain. Promosinya pun bagus, mulai dari dimasukkan infonya ke tempat tujuan wisata buku panduan wisata dan info dari dinas wisata Lisabon sampai dokumenter dari Galileo Jerman. Itulah sebab kami mau coba dan kami sudah berada di sana.
Sedikit lama kami menunggu. Untung anak-anak sudah makan duluan tadi di resto cepat saji, sehingga mereka nggak rewel. Perut kami sudah keroncongan tetapi pelayan tetap tak bergeming menghampiri kami. Yaaah, pakai lamaaa. Memang kedai penuh, pelayan hanya dua, tak kuasa melakukan segalanya dengan seksama.
Tiba-tiba datang seorang pelayan berambut blonde. Ia menanyakan apakah kami sudah pesan. Tentu saja belum, wong meja masih putih bersih nggak ada apa-apanya. Tanpa ba-bi-bu, kami pesan makanan dan minuman. Takutnya kalau minuman saja, makanannya lamaaa datangnya.
Karena waktu itu masih jam 4 sorean, kami pikir makan snack saja. Pesan sepiring kecil ikan sardine dengan minyak olive dan cumi-cumi dengan bumbu tomat pedas. Mau yang garang membakar, mumpung hari dingin.
Si mbak kembali beberapa menit kemudian, menghaturkan keranjang kecil berisi roti kecil dan minuman. Makanan menyusul kemudian.
Ikan Mikroplastik?
Dunia sedang geger dengan penemuan para ilmuwan yang melakukan studi di lautan. Hasilnya, diketahui banyak ikan mengandung plastik kecil pada dagingnya.
Mengapa? Karena orang membuang sampah plastik sembarangan ke sungai sehingga terbawa ke muara dan sampai lautan. Karena tidak bisa hancur, plastik masih ada meski hanya berbentuk mikro (sangat kecil).
Berenang-renang di air, tentu saja termakan oleh kawanan ikan. Begitu ikan ditangkap nelayan dan dipasarkan, kita beli dan dimakan. Hammm. Artinya kita makan ikan plastik. Nggak asyik, kann. Huekkk.
Menyadari isu lingkungan tersebut, Henrique nggak mau bisnisnya gatot. Itulah sebab, ia memilih membeli ikan yang diambil dari Azoren, yang konon lautnya bersih jauh dari sampah.
Ikan segar yang ditangkap akan diletakkan di cairan garam, dibersihkan, sedikit dipanaskan, dengan tangan dimasukkan ke dos yang tertutup sempurna. Klik. Itulah ikan Pesca dilabeli MSC, sertifikat khusus untuk produk ikan.
Makanya kami lahap betul menyantap dua piring. Segar. Begitu piring dan gelas bersih, kami SMP, selesai makan pulang. Di ujung gang, melintang sebuah jembatan mirip Rialto di Venezia. Indah sekali. Sayang, begitu jalan ke depan sebentar, ada banyak sampah berserakan. Hiks.
Oleh-oleh dari Lisabon
Ketika berada di bandara dan menunggu satu jam, suami jalan-jalan keliling supaya pantatnya nggak capek. Training sebelum duduk 3 jam di dalam pesawat kecil. Rupanya dia ingat usul saya untuk membawa dos ikan dari Pesca.
Pesan itu terlintas kembali di benaknya, maklum lupa beli di kedai. Tips buat orang yang pelupa. Jika ingin mengerjakan/mendapatkan sesuatu, jangan tunda. Lakukan segera kalau tidak pasti menyesal.
Tuhan memang Maha Baik. Ia menuntun kaki suami pada sebuah stand di bandara yang menjual oleh-oleh berupa ikan "Pesca" dalam dos. Iapun membeli di stand yang ada di dekat ruang tunggu itu.
Satu dos 4 euro, padahal sebenarnya di kedai aslinya hanya 1,40 euro. Aduh, rugi bandar. Lebih dari seratus jenis dos yang bisa dipilih di kedai aslinya, tapi yang di sana hanya beberapa saja. Tepok jidat. Padahal saya mau yang pedaaaaas seperti di warung di Lisabon. Mau kembali, eee pesawat segera boarding.
Kompasianer pengen ke sana? Catat alamatnya; Rua Nova do Carvalho, 44 Lisabon. Telepon 00351213467203 dan buka setiap hari jam 12 sampai jam 4 pagi. Jangan lupa bawa HP yang terkoneksi dengan google map atau peta, jangan kesasar.
***
Hikmah dari cerita ini banyak. Rata-rata sarjana pengangguran, karena nggak mau bekerja di kantor atau pabrik yang bukan bidangnya, mengerjakan hal yang bukan/tak pernah dipelajari di bangku kuliah.
Ada rasa gengsi pula terselip di hati. Masak arsitek jualan ikan? Masak sarjana ekonomi kudu buka vermak jeans? Masak sarjana sastra harus jaga took kelontong?
Masak sarjana hukum musti buka catering? Salah jurusan? Begitu barangkali. Akibatnya, banyak pengangguran lebih memilih di rumah nggak ngapa-ngapain ketimbang bekerja dengan sedikit uang tapi lain jurusan/bidang.
Saya ini juga bukan jurusan jurnalistik, tetapi saya masih suka menulis di Kompasiana dan menerbitkan buku-buku dengan penerbit indie maupun mayor. Padahal saya jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Nggak pernah saya sekalipun diajari cara menulis.
Tentu saja ini saya lakukan atas dasar minat dan diasah sedikit demi sedikit. Ditambah iri rasanya selama jadi penyiar, melihat newsroom bekerja; hunting berita, menuliskannya sebagai karya yang enak saya baca dan aneka pengalaman menghadapi macam-macam orang.
Kok, saya cuma baca, sih? Semua orang juga bisa. Kalau nulis, nah, itu baru.... Apa saya nggak boleh atau nggak bisa menulis? Bisa, pasti bisa. Saya pun segera memulainya tanpa dipukul pakai seblak.
Walaupun sebenarnya menulis di media cetak sudah saya mulai ketika umur 18 tahun, namun menulis baru diasah otodidak ketika berada di Jerman. Sudah telat tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan? Tulisan saya mungkin belum spektakuler tetapi saya sudah happy, bagi saya sudah cukup.
Yup. Menulis masih menjadi hobi saja, belum sebagai profesi. Selain melestarikan Bahasa Indonesia karena bahasa yang saya pakai sehari-hari adalah Bahasa Jerman dan Inggris, menyambungkan diri ke tanah air karena bukunya dipasarkan di Indonesia, adalah ide yang nggak jelek-jelek amat.
Nah, sebagai alibi bahwa ilmu dari kampus tersalurkan dan nggak lupa, saya tetap mengajar bahasa Inggris sampai hari ini. Untuk mendapatkan kesempatan itu juga nggak mudah, lho. Namanya juga orang Jerman, nggak kenal maka nggak sayang. Nggak bakal ada kepercayaan kalau omdo. Do it, prove it.
Mungkin membuka bisnis jualan ikan jauh dari sebuah alibi yang dipunyai Henrique tetapi setidaknya itu menyelamatkan dirinya dari status pengangguran yang memenuhi Portugal.
Bahkan tak hanya di situ saja kisahnya, ia berhasil membuka mata pencaharian bagi orang lain atau membukakan pintu para sarjana dan bukan sarjana di lingkungannya: pelayan, tukang bersih-bersih, tukang antar-jemput ekspedisi barang dan tentu mendatangkan pajak bagi kota Lisabon. Sejahtera.
Jika sarjana arsitek yang kuliahnya pasti nggak gampang alias rumit dan habisin duit banyak saja bisa berbuat banyak dan nggak malu-malu dan kreatif jualan ikan, lulusan sarjana jurusan lain tambah bisa, doooong. Jangan kalah sama Henrique. "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan." Bungkus!(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H