Wer den Orang Utan schtz, schtz den Regenwald (Siapa yang melindungi orang Utan, berarti melindungi hutan hujan).
Wer den Regenwald schtzt, schutzt das Klima (Siapa yang melindungi hutan hujan, berarti melindungi iklim).
Wer das Klima schtz, schtz die Erde (Siapa yang melindungi iklim, berarti melindungi bumi).
Wer den Orang Utan schtz, schtz dich selbt (Siapa yang melindungi orang utan, berarti melindungi diri sendiri).
Deretan kalimat berbahasa Jerman (yang saya terjemahkan secara sederhana) di layar depan panggung itu begitu memikat. Isinya sangat bermakna, menelisik apa yang sudah lama terjadi dan terus terjadi.
Banyak hal yang harus kita lakukan, supaya apa yang kita punya akan diwarisi anak-cucu nanti. Apakah orang Indonesia sendiri sadar dengan apa yang dibicarakan orang Jerman di Jerman? Malu sungguh malu, bukan pada semut merah.
Malam Indonesia Mengangkat Orang Utan
Adalah "Malam Indonesia" di Konstanz, 5 Oktober 2019 yang lalu. Acara yang diadakan oleh Wirtschaftsprachen Asien und Management HTWG Konstanz bekerjasama dengan KJRI Frankfurt dan Interkulturelle Woche 2019 Konstanz-Kreuzlingen itu menempati Kulturzentrum am Muenster, Wessenbergstrasse 39 Konstanz.
Sejak dimulai pukul 17.30, program-program mengalir sempurna. Angklung dari grup Freunde Indonesien Friedrischshafen, tari-tarian dari Freunde Indonesien Friedrischshafen, makan-makan dengan tarif 6-7 euro per porsi sampai presentasi proyek Orang Utan di Kalimantan, sangat memuaskan para penonton dari Indonesia dan masyarakat lokal Jerman.
Waktu itu kami terbuai dengan kelezatan rendang, snack dadar gulung dan bala-bala. Untuk menyantap itu, biasanya saya harus masak seharian di rumah. Ini tinggal bayar, kenyang.
Selain itu ada rasa bahagia, karena penjualan makanan disumbangkan kepada proyek perlindungan hutan dan orang utan di Kalimantan.
Mengapa orang Jerman getol promosi perlindungan hutan yang bukan hutan mereka? Orang Utan yang bukan spesies dari negara mereka? Karena kondisinya memprihatinkan dan sepertinya semakin parah.
Bangsa modern dan maju itu memang sangat peduli lingkungan hidup dan merasa ikut bertanggung-jawab dengan apa yang terjadi di Indonesia karena akan berdampak pada Jerman juga.
Betapa tidak? Sejak tahun 90 an setidaknya 15 juta hektar hutan hilang, per menit diperkirakan 35 lapangan sepak bola rusak. Digambarkan sejak tahun 1950 dikatakan hutan masih hijau di pulau Kalimantan.
Kemudian tahun 1985 mulai banyak kebakaran hutan. Lalu tahun 2000,2005, 2010 dan disinyalir 2020 semua daerah memutih dan hanya sedikit yang hijau, di tengah-tengah.
Kebakaran hutan tidak hanya mempengaruhi habitat binatang liar di alam tetapi juga kesehatan pernafasan warga setempat bahkan sampai warga negara tetangga. Kalau transfer uang atau kirim hadiah pasti enak, kalau buang asap kebakaran hutan tak ada hentinya namanya cari perkara.
Kebakaran hutan? Penyebabnya selain perluasan pemukiman penduduk dan pembangunan daerah, mayoritas adalah karena perkebunan kelapa sawit. Mengapa Palmoel?
Pertama banyak orang butuh minyak murah, ya dari kelapa sawit. Kedua, buah kelapa sawit sangat kaya akan bahan minyak. Ketiga, kelapa sawit cepat tumbuh dan berkembang biak.
Keempat, selalu ada di satu dari tiga produk siap pakai, kosmetik, gula-gula, bahan pencuci dan bahan bakar (Bodiesel). Kelima, konsumsi orang mempengaruhi meningkatnya keberadaan kelapa sawit.
Semakin banyak orang yang tidak membeli barang yang mengandung kelapa sawit, semakin lesu bisnis kelapa sawit. Nggak heran kalau orang Jerman sangat detil membaca kandungan bahan barang atau makanan yang dibelinya.
Kalau ada minyak kelapa sawitnya, nggak jadi beli. Sama dengan kasus plastik. Jika ada ikan yang dijual di Jerman berasal dari negara tidak ramah lingkungan dan penyumbang sampah plastik terbesar, nggak bakal dibeli.
Mereka beranggapan, dengan tidak membeli berarti jumlah demand berkurang dan supply akan berkurang.
Jika selalu berkurang, akan hilang produk itu pada suatu hari nanti karena nggak ada yang mau beli.
Apakah pemerintah dan rakyat Indonesia tidak peduli? Pasti peduli, instansi terkait, LSM, masyarakat pasti juga ikut bahu-membahu dengan masalah ini tapi bisa saja kurang intensif, kurang kuat, kurang berkesinambungan dan entah apa lagi dugaan yang muncul dari saya.
BOS atau Borneo Orang Utan Survival adalah salah satu LSM Jerman yang aktif melakukan program untuk hutan dan orang utan di tanah air. Salut dan standing ovation untuk mereka.
Proyek yang selama ini mereka punyai ada di Sintang (auswilderung), Mawas (aufforstung), Nyaru Menteng (auswilderung), Samboya Lestari (auswilderung und aufforstung), ITCI -Camp (aufforstung). Apakah kita sudah ambil bagian darinya?
Kompasianer, judul artikel di atas adalah kesan saya menghadiri presentasi LSM Jerman yang berkecimpung di jagad lingkungan untuk Indonesia dan dunia.
Rasanya ditabok berkali-kali, begitu mereka memaparkan kenyataan yang ada. Indonesia yang bakar hutan, ini orang Jerman melindungi hutan dan satwanya. Aneh tapi nyata, hutan Indonesia cepat menghilang. Separah itukah Indonesia kehilangan "Amazon"?
Kalau Borneo dan the real Amazon di luar negeri habis, apa kabar dunia? Kiamat sudah. Bolonglah paru-paru dunia, padahal manusia butuh oksigen untuk bernafas. Tanpa hutan, nggak bisa nafas. Jangan, jangan sampai.
Sehingga jika orang Jerman saja sebegitu kekehnya membantu kita, sudah sewajarnya kalau orang Indonesia di tanah air semakin meningkatkan kepedulian dan mawas diri. Semoga lewat artikel ini akan semakin mengingatkan kita semua bahwa hal klasik ini dampaknya nggak main-main.
Ada wacana tentang pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan. Apakah itu sudah ditinjau dari sisi lingkungan? Dampak pembangunan pesat yang harus dipenuhi untuk mengejar kemegahan ibu kota baru, sepertinya tidak boleh dianggap remeh.
Pembakaran hutan ilegal, perdagangan orang utan, penyelundupan orang utan dan entah apalagi tetek bengek yang muncul dari Kalimantan yang akan mengharu-biru dunia. Mata internasional selalu mengawasi Indonesia.
Banyak hal yang bisa kita lakukan misalnya dengan mendatangi acara presentasi tentang proyek orang utan di Kalimantan, di sana organisasi akan menjual produk (boneka, tas, kaos, dekorasi, pin, stiker) demi pengumpulan dana program. Harganya memang mahal tetapi ada misi di sana.
Selain itu, meniru pemikiran orang Jerman yang pelan tapi pasti mulai meninggalkan produk yang ada unsur bahan kelapa sawit. Mereka akan baca Ingridients atau bahan-bahan produk yang mereka beli. Mencari alternatif lain yang ramah lingkungan adalah sebuah die cemerlang mereka.
Cara lain bisa juga dengan melaporkan kebakaran hutan ilegal yang dilakukan oknum di Kalimantan. Bisa lewat media sosial atau ke pihak yang berwajib.
Bagi yang hendak terjun langsung demi pelestarian hutan dan orang utan di Kalimantan, bisa menghubungi organisasi terkait yang berkompeten di bidang ini silakan kontak www.orangutan.de.
Semoga dengan niat, semangat dan langkah-langkah yang sudah kita tempuh, membuat hutan Kalimantan lestari. Dengan begitu, kelestarian orang utan akan otomatis terjadi.
Jika hutan dan orang utan terjaga, masa depan anak-cucu kita terjamin. Hutan tak hanya tempat berteduh hewan-hewan liar tetapi juga memberikan kesegaran oksigen bagi manusia di bumi ini.
Artinya, kita pun sebagai penduduk, terselamatkan. Mari lindungi hutan dan orang utan di Kalimantan sebab itu sama saja dengan melindungi diri kita sendiri. Selamat siang. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H