Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bisa Jadi Penonton yang Baik, Nggak?

4 Desember 2019   16:38 Diperbarui: 4 Desember 2019   16:55 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngeronggeng (dok.Kiki)

"Kamu keren. Gerakanmu bagus. Aku senang menikmatinya. Sayang sekali, yang lain rame. Heran saya mengapa para tamu bisa keterlaluan begitu. Mereka nggak bisa diam." Malam itu, seorang kenalan berambut blonde adalah professor dari sebuah universitas kota besar, tiba-tiba ia mendekati saya yang masih terengah-engah. Hah, terengah-engah? Bukaaaaaan, bukan dari begituh, saudara-saudara. 

Beberapa detik sebelumnya, saya baru saja menyelesaikan tarian Sunda, Bajidor Kahot selama 5 menit di depan para tamu yang hadir dalam sebuah pesta pernikahan perak sekaligus ulang tahun emas seorang teman dari Indonesia. Memang sang teman sudah pesan sejak Oktober lalu. 

Ketika saya lihat kalender di HP masih kosong, saya sanggupi untuk ditanggap. Yup. Gana, ronggeng dukuh Seitingen siap memeriahkan acara! Tancap ...

Orang Indonesia Suka Ngrumpi?

"Betul, orang Indonesia suka ngrumpi." Itu komentar suami saya atas kesan dari sang profesor. Suami saya pernah lama tinggal dan bekerja di Indonesia. Ia tahu betul karakteristik rata-rata perempuan Indonesia. Iya, centil dan suka ngrumpi. Cerewet banget, kan kesannya. Ooooo ... itu sebabnya suami saya dulu tertarik pada saya. 

Saya orangnya suka ngomong nggak ada berhentinya, mirip burung dikasih kroto, makanan burung dari serangga. Khususnya saat saya ngomong di depan corong, microphone siaran di studio atau ngem-C di dalam atau di luar ruangan. Dijamin mulut saya menye-menye ....

Nah, begitulah, nggak heran jika pada acara yang kami hadiri waktu itu, suasanya seperti pasar. Nggak papa, sih karena jarang-jarang lihat keramaian dalam kehidupan sehari-hari. Happy banget. Betapa tidak, saya tinggal di pemukiman orang Jerman yang ada di dataran tinggi dikelilingi hutan dan pegunungan. Jadi, bukan di perkotaan besar yang hingar-bingarnya 24 jam. Sunyi, senyap, sendiri everyday all years along. Makanya menikmati sekali suasana malam itu.

Hanya saja kadang serasa nggak pas karena waktu itu ada peringatan penting teman, ada acara yang digeber di atas panggung. Benar-benar panggung karena permukaannya lebih tinggi dari lantai tempat kursi-kursi diduduki lebih dari 150 orang tamu itu. Ya, ada anak tangga barang dua lah. Ditambah dua buah tirai hitam kanan dan kiri yang bisa dibuka-tutup.

Seorang tamu dari Maluku yang bermain ukulele juga mengeluh,"Tamunya susah diatur." Padahal dia sudah pukul piring, pukul mangkok sampai pukul gelas untuk meredakan suara "lebah" yang mendengung nggak ada matinya itu.

"Teng-teng-teng-teeeeeengggg." Saya ngakak tapi nggak pakai salto. Tambah ngakak begitu lihat perempuan cantik di belakang kursi suami saya, menggebrak meja keras-keras supaya para tamu memberikan perhatian saat ada yang pentas. Wah... sampai segitunya untuk membuat keheningan di dalam ruangan? Untung ketika saya memandu angklung bersama 24 orang keramaian mereda. Dengan mikrophone, suara saya terdengar nyaring.

Kompasianer, peristiwa itu terjadi di Jerman, negeri yang disiplin, teratur, maju, canggih dan entah apalagi kelebihan yang mereka miliki. Kalau bab kekurangannya Jerman, saya pendam saja, seperti orang Jawa bilang "mikul duwur mendem jero" atau mengangkat yang baik-baik saja yang jelek disembunyikan.

Mengapa bisa terjadi orang ramai sendiri saat ada acara pertemuan? Karena 99% dari tamu adalah wanita Indonesia. Hanya 1 % laki-laki dan berjenis kelamin laki-laki. Itu saja hampir semuanya juga tukang ngobrol. Halah, laki-laki sama saja, bukan?

Angklung mengalun, penonton diam (dok.Susan)
Angklung mengalun, penonton diam (dok.Susan)
Jadi Penonton yang Baik, Bisa?

Dulu sekali ketika saya masih tinggal di Indonesia, setiap acara biasa rame. Meskipun ada panggung, orang manggung sendiri-sendiri. Aneh tapi nyata. Begitulah kenyataannya bahwa orang kurang disiplin, kurang hormat pada penyaji atau acara yang sedang berlangsung. Kurang khusyuk.

Jika banyak orang Indonesia pindah ke luar negeri dan tetap membawa adat seperti itu, goyanglah dunia. Gimana nggak goyang, orang Jerman yang punya kebiasaan tenang menyimak sajian panggung jadi terganggu. Image orang Indonesia jadi sedikit miring. "Ini orang apa lebah, sih?" Belum lagi kalau orang Indonesia kalau ngakak kan kenceng banget kayak saya. Hahahahaha ... Hanya saja tolong mulut jangan lupa ditutup dengan telapak tangan biar tidak ngabar atau kemasukan nyamuk.

Apakah saya juga penonton yang baik. Bisa, kok. Saya bahkan ajari anak-anak untuk duduk diam dan hikmat menyaksikan acara demi acara. Namanya anak-anak, mana betah duduk anteng. Tapi bisa kok, kalau diajari pelan tapi pasti.

Oh, ya. Perbedaan mencolok sering saya rasakan saat melihat malam Indonesia yang dihadiri kebanyakan orang Jerman vs malam Indonesia yang dihadiri oleh kebanyakan orang Indonesia. Bedaaaa sekali. Jika sekeliling saya yang nonton mayoritas orang Jerman, posisi tubuh orang lurus-rus, pandangan ke depan-pan, mulut dikunci-ci. Olala, suasana seperti kuburan, sepiiiiii. Baru ramai jika tampilan usai, dengan sambutan tepuk tangan meriah. Nggak percaya? Ke Jerman, yuk?

Berbeda dengan orang Indonesia yang justru ramai sendiri, bikin tampilan tandingan saat acara berlangsung. Mungkin karena kangen lama nggak ketemu. Barangkali tamu sedang punya hasrat tak tertahankan. Bisa saja acara tidak menarik perhatian hadirin, sehingga membuat kegiatan sendiri supaya menarik. Apakah di tempat Anda juga begitu? Bagaimana dengan pesta kompasianival? Penontonnya baik-baik?

Saya yakin penonton ramai sendiri adalah hal yang jamak di bumi pertiwi. Dalam artikel Andika Aditia di Kompas.com dengan judul "Tulus: Saya Ingin Para Penonton Diam", disebutkan bahwa dalam konser Tulus di Konser Monokrom di Jakarta 6 Februari 2019 terjadi percakapan sebagai berikut:

"Bisa enggak? Bisa ya! Bantu saya sekali saja, ya tolong ya" Tanya Tulus

"Iya, bisa...." Seru hadirin

Penonton Indonesia memang selalu heboh dan riuh. Namun Tulus, sang idola berhasil membuat fans yang nonton hening. Saya nggak kenal si pria, namun sungguh salut atas kesaktiannya membuat penonton diam.

***

Dari pengalaman saya di atas, semoga mengingatkan kita semua bahwa kalau mau dihargai orang tentu harus bisa menghargai orang lain terlebih dahulu. Kalau nggak, namanya mau menang sendiri. Kalau ada orang sedang menyanyi, menari, mengaji, main musik, ceramah, diskusi, presentasi atau entah apa saja di depan kita, sudah wajib kalau kita diam dan konsentrasi. Yang ada di atas panggung pasti sudah memiliki banyak persiapan njlimet yang bisa saja kita tidak sanggup melakukannya. Apa yang dilakukannya harus diapresiasi dengan sikap kita sebagai yang hadir di dalam acara.

Boleh ngrumpi, boleh tertawa tetapi pada tempatnya.

Bayangkanlah jika kita yang ada di panggung dan hadirin nggak memperhatikan. Sakitnya tuh, di sinihhh. Baru terasa, bukaaaan?

Semoga saja ke depan, semakin banyak orang yang berusaha jadi penonton yang baik dan benar. Penonton yang diam memperhatikan acara sampai tiba waktunya untuk sorak-sorai bergembira. Selamat pagi. (G76)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun