Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bisa Jadi Penonton yang Baik, Nggak?

4 Desember 2019   16:38 Diperbarui: 4 Desember 2019   16:55 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngeronggeng (dok.Kiki)

Mengapa bisa terjadi orang ramai sendiri saat ada acara pertemuan? Karena 99% dari tamu adalah wanita Indonesia. Hanya 1 % laki-laki dan berjenis kelamin laki-laki. Itu saja hampir semuanya juga tukang ngobrol. Halah, laki-laki sama saja, bukan?

Angklung mengalun, penonton diam (dok.Susan)
Angklung mengalun, penonton diam (dok.Susan)
Jadi Penonton yang Baik, Bisa?

Dulu sekali ketika saya masih tinggal di Indonesia, setiap acara biasa rame. Meskipun ada panggung, orang manggung sendiri-sendiri. Aneh tapi nyata. Begitulah kenyataannya bahwa orang kurang disiplin, kurang hormat pada penyaji atau acara yang sedang berlangsung. Kurang khusyuk.

Jika banyak orang Indonesia pindah ke luar negeri dan tetap membawa adat seperti itu, goyanglah dunia. Gimana nggak goyang, orang Jerman yang punya kebiasaan tenang menyimak sajian panggung jadi terganggu. Image orang Indonesia jadi sedikit miring. "Ini orang apa lebah, sih?" Belum lagi kalau orang Indonesia kalau ngakak kan kenceng banget kayak saya. Hahahahaha ... Hanya saja tolong mulut jangan lupa ditutup dengan telapak tangan biar tidak ngabar atau kemasukan nyamuk.

Apakah saya juga penonton yang baik. Bisa, kok. Saya bahkan ajari anak-anak untuk duduk diam dan hikmat menyaksikan acara demi acara. Namanya anak-anak, mana betah duduk anteng. Tapi bisa kok, kalau diajari pelan tapi pasti.

Oh, ya. Perbedaan mencolok sering saya rasakan saat melihat malam Indonesia yang dihadiri kebanyakan orang Jerman vs malam Indonesia yang dihadiri oleh kebanyakan orang Indonesia. Bedaaaa sekali. Jika sekeliling saya yang nonton mayoritas orang Jerman, posisi tubuh orang lurus-rus, pandangan ke depan-pan, mulut dikunci-ci. Olala, suasana seperti kuburan, sepiiiiii. Baru ramai jika tampilan usai, dengan sambutan tepuk tangan meriah. Nggak percaya? Ke Jerman, yuk?

Berbeda dengan orang Indonesia yang justru ramai sendiri, bikin tampilan tandingan saat acara berlangsung. Mungkin karena kangen lama nggak ketemu. Barangkali tamu sedang punya hasrat tak tertahankan. Bisa saja acara tidak menarik perhatian hadirin, sehingga membuat kegiatan sendiri supaya menarik. Apakah di tempat Anda juga begitu? Bagaimana dengan pesta kompasianival? Penontonnya baik-baik?

Saya yakin penonton ramai sendiri adalah hal yang jamak di bumi pertiwi. Dalam artikel Andika Aditia di Kompas.com dengan judul "Tulus: Saya Ingin Para Penonton Diam", disebutkan bahwa dalam konser Tulus di Konser Monokrom di Jakarta 6 Februari 2019 terjadi percakapan sebagai berikut:

"Bisa enggak? Bisa ya! Bantu saya sekali saja, ya tolong ya" Tanya Tulus

"Iya, bisa...." Seru hadirin

Penonton Indonesia memang selalu heboh dan riuh. Namun Tulus, sang idola berhasil membuat fans yang nonton hening. Saya nggak kenal si pria, namun sungguh salut atas kesaktiannya membuat penonton diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun