Namanya Oanh. Sejak 11.11.2019, ia meninggalkan Jerman karena tugasnya sebagai Au-Pair Maedchen selama satu tahun telah usai.
Ia menolak ide saya, supaya ia melamar sebagai tenaga sosial FSJ atau bekerja sambil belajar, Azubi. Saya pikir, mumpung masih muda, ia bisa mencari banyak pengalaman. Rupanya ia tidak tertarik.
Lulusan jurusan bahasa Jerman sebuah universitas di Vietnam itu memang sudah lama mengenal Jerman. Jadi kedatangannya ke Jerman sejak tahun lalu itu bukan pertama kalinya.
Dua tahun sebelumnya, ia pernah ikut summer course di sebuah kota besar di Jerman. Katanya, waktu itu untuk memperlancar kefasihan bahasa Jerman, yang kemudian menjadi oleh-oleh, diajarkan kepada murid-muridnya di sebuah lembaga bahasa di Vietnam.
Karena dirasa masih kurang, Oanh mau lebih lama tinggal di Jerman. Ia tahu betul bahwa kehidupan di Jerman itu nggak mudah dan nggak murah. Gadis pemegang sertifikat bahasa Jerman C1 dari Lembaga bahasa Vietnam itu memutar otak.
Bagaimana ya, supaya bisa tinggal di Jerman? Solusinya? Ya, program Au-Pair!
Oanh yang memiliki pembawaan kalem itu menentang pendapat teman-temannya yang mengatakan bahwa menjadi Au-Pair itu rendahan, posisi nggak penting dan merugikan diri sendiri.
Oh, ya? Siapa berbuat, ia yang menanggung akibatnya. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Ia pun berangkat juga sebagai Au-Pair ke Jerman Selatan. Suka-duka dijalaninya dengan hati. Luar biasa sekali bagaimana ia menikmatinya. Dan tak terasa kini semua sudah berakhir.
Oanh, Au Pair di Jerman yang bukan pembantu
Kebetulan, saya kenal betul dengan Gastmutter atau ibu yang mengasuhnya sebagai Au-pair. Kami berteman sudah lebih dari 8 tahun. Sejak kelahiran bayi kembarnya, ia selalu memiliki Au-pair. Paling tidak sudah ada 10 Au-pair yang berada di rumahnya.
Banyak dari mereka yang bertahan sampai setahun sesuai perjanjian, ada juga yang hanya tiga bulan sudah "menghilang." Mereka itu para gadis umuran 20-25 tahun dari negara Asia seperti Indonesia, Nepal sampai Vietnam.
Namanya orang, setiap Au-pair memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Tetapi rupanya dengan si Oanh ini, saya merasakan ada sesuatu yang lain.
Kedekatannya dengan anak-anak, hubungannya dengan orang tua asuh, kontaknya dengan saya dan keluarga, cara dia menyelesaikan pekerjaannya, isi biacaranya, semua terlihat sangat baik dan dikerjakan dengan hati.
Ia memposisikan dirinya bukan sebagai pembantu, bukan sebagai orang asing dan bukan sebagai outsider. Artinya, ia menyatu dengan keluarga yang ditumpanginya dan tentu orang-orang terdekat dari keluarga itu. Integrasi yang saya yakin patut dicontoh.
Rupanya saya nggak hanya berbaik sangka karena hal itu diperkuat dengan tanggapan orang tua asuh "Si Oanh baik banget, nggak disuruh sudah mengerjakan apa yang sebenarnya bukan pekerjaannya.
Anak-anak deket sama dia, sayang banget. Sudah gitu, nggak itung-itungan. Pokoknya paling bagus, deh. Bahasa Jermannyapun paling lancar karena datang-datang, dia sudah C1.
Nggak rugi kalau aku kasih uang saku lebih ke dia dan hadiah-hadiah lainnya." Katanya, Oanh is the best, terbaik dari yang terbaik. Oanh memang pantas mendapatkan hadiah berlebihan dari keluarga barunya.
Uang saku yang biasa diterima mayoritas Au Pair hanya 260 euro/bulan, ia mendapatkan dua kali lipat.
Hadiah berlibur beberapa kali ke luar negeri bersama keluarga asuh, kalung emas, baju-baju pesta, ratusan euro dan entah apa lagi yang ia dapatkan sebelum ia meninggalkan Jerman. Saya jabanin kalau dia nikah dapat lebih dari 1000 euro, deh, seperti Au Pair-Au Pair sebelumnya di keluarga itu.
Apakah karena uang ekstra ia mau bekerja keras selama menjadi Au-pair tanpa disuruh-suruh? Sepertinya tidak, selama berteman dengannya, saya tahu, itu karakter baik dari Oanh. Pembawaan dari orok yang merupakan didikan dari keluarganya. Istilah orang Jerman "jangan sampai tanganmu kiri semua."
Idealnya, manusia memiliki tangan kanan dan kiri, di mana akan bisa digunakan bersama-sama untuk mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar. Coba periksa, hayoooo .... tangan kita kiri semua, kanan semua atau kanan dan kiri?
Oanh punya sepasang tangan, kanan dan kiri. Tidak heran jika orang tua asuhnya pergi ke luar kota, ia belum sempat menyetrika baju yang sudah keluar dari mesin pengering baju.
Seperti biasa, anak-anak dititipkan kepadanya tetapi teman saya tidak memberi pesan khusus supaya Oanh menyelesaikan pekerjaan yang masih terbengkalai.
Setiba di rumah, teman saya sudah menemukan baju tertumpuk rapi di dua keranjang. Si Oanh sudah selesai menyetrikanya. Dalam aturan Au-Pair, biasanya hanya baju anak yang ditangani sedangkan baju orang dewasa dalam keluarga, tidak.
"Aku mengerjakannya karena aku mau, dan itu bagus. Kasihan kalau ibu asuhku harus mengerjakannya jika pulang rumah sudah capek. Aku umpamakan dia ibuku sendiri yang masih tinggal serumah," kata perempuan berkacamata yang sudah lama kos dan tidak serumah dengan ibu kandungnya.
Menurutnya, jika ia bekerja kalau disuruh-suruh, nggak beda dengan pembantu dong. Seperti niatnya dari awal bahwa ia harus belajar praktek Bahasa Jerman sesering mungkin dan selama mungkin di negeri pembuat mobil Mercedes itu.
Untuk mendapatkan penginapan dan makan gratis, ia mencari program Au-pair. Ditambah, ada uang saku setiap bulan yang akan diterima dari keluarga. Sambil menyelam minum susu. Tanpa keluarga asuhnya, semua itu impossible.
Sebagai rasa terima kasih, ia mengurus anak-anak dari keluarga yang ditumpanginya, seperti keluarga sendiri. Oanh juga tidak itung-itungan.
Meski hanya dijatah 30 jam seminggu sesuatu aturan Au-pair internasional, jika lebih dari itu ia nggak pernah mengeluh. Ia sangat mengalir. Hal itu membuat ia sangat disayang seluruh anggota keluarga asuh.
Padahal dari pengamatan saya, di mana-mana banyak cek-cok antara orang tua asuh dan Au-pair karena masalah kerjaan. Banyak orang tua asuh yang dituding membebankan pekerjaan tambahan yang terlalu banyak dan ada Au-pair yang disebut-sebut pemalas dan tidak tahu diri karena rumah masih berantakan, misalnya.
Bagaimana caranya supaya bisa win-win seperti kisah Oanh? Harus dari dua belah pihak. Tidak bisa salah satu saja karena akan timpang. Si ibu baik dan si Au-Pair juga baik. Saling mengerti, saling memberi, saling menerima.
Selama bergaul dengan para Au-pair dari Indonesia di Jerman, saya banyak mendengar keluh-kesah, informasi tentang peraturan program, pengalaman yang dialami mereka selama menjalani Au-pair bahkan setelah menjadi Au-pair dan cerita gado-gado yang menjadi pelajaran hidup.
Ada yang melanjutkan ke program sosial selama setahun, ada yang meneruskan kuliah, ada yang mendapat training dan bekerja, dan bahkan ada yang sampai menikah dengan orang Jerman.
Baru-baru ini, saya sangat bangga dengan Tyas, mahasiswi Unesa Surabaya yang sudah pernah menjadi Au-pair selama setahun lalu FSJ selama setahun dan akhirnya kuliah Master di Bamberg.
Apa yang dicapainya tentu tidaklah mudah, jalannya jungkir balik. Banyak orang yang mengolok-oloknya; lulusan S1 kok, jadi Au-pair dan masih banyak sindiran lain yang tentu tidak mengenakkan hati.
Namun, bukan wanita namanya kalau tidak tegar menghadapi hidup. Ia berhasil meraih mimpi-mimpinya di antara sulit, repot dan mahalnya hidup di Jerman. Mana sorangan wae. Kalian sanggup? Saya mungkin tidak. Ke laut aje....
Apakah ada tips bagi kalian yang ingin berpetualang di Jerman dan bahagia nggak tertekan seperti Tyas atau Oanh? Tentu ada. Semuanya saya catat rapi di dalam komputer, kelar edit dan dikirim ke penerbit mayor di Jakarta.
Hasilnya? Taraaaaa ... buku yang bermanfaat yang juga didukung oleh Larasati Gading si atlet berkuda RI, yang pernah memiliki Au-pair selama tinggal di Stuttgart. Selamat membaca dan memang asli, "Banyak Cara Menuju Jerman." Jangan nyasar, ya. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H