Di flat Dr. Uli, mami menanyakan apakah saya betul-betul bisa menari seperti cerita Mbak Lulu. Kepala saya mengangguk dan mengiyakan ketika mami mengusulkan bahwa saya menari di acara workshop. Untung file musik tari semua ada di laptop, segera dikopi di USB panitia. Acara dadakan yang bisa diatur.
Karena tidak bawa selendang, mbak Lulu meminjamkan salah satu syal Panjang dan tipis bermotif bunga oranye pada saya. Itu pas dengan warna kebaya dan batik yang saya kenakan.
Tak salah ketika acara penutupan workshop ditandai dengan tarian saya, Bajidor Kahot dari Sunda, tempat yang sangat berarti bagi pelukis perempuan yang menyukai warna oranye, bunga matahari dan bunga teratai. Tadinya saya ragu, apa saya boleh menari? Saya ini datang sebagai tamu undangan.
Pada siang hari sebelum workshop, mami menyampaikan pada Dr. Uli yang baru saja tiba dari Maroko di flat. Makanya ketika sampai di tempat workshop, Dr. Uli mengingatkan saya untuk menghubungi panitia Dr. Benjamin Nathanael dari klub Masyarakat Indonesia-Austria. Prof. Dr.Dr. HC. A Min Tjoa sudah sejak awal mendukung usulan mami bahwa saya menari dan menjawab pertanyaan Dr.Med.Benjamin,"Mengapa tidak? Bagus kalau ada tarian satu lagi."Bahasa Indonesia sang professor sangat fasih. Beliau keturunan Indonesia-Austria.
Lega rasanya setelah menari. Serupa dengan tanggapan dari Dr. Patricia Engel dari Universitas Krems, "Senang worksop sudah selesai dan berjalan lancar. Penutupan dengan tarian Anda tadi juga menarik, pas." Sayang sekali tak ada helm yang bisa dipinjam.
Hanya saja baru sadar, pipi saya merah jambu. Malu, bukankah tadi waktu menari ada gerakan yang salah dan sekali kipas tidak berbunyi. Maklum menari dadakan, tidak pakai latihan. Ah, biarkan saja. Tidak ada yang tahu. Tepuk tangan bergemuruh sampai saya tersedak dan batuk-batuk. Makin terbatuk melihat mami dandan sebagai Limbuk, dengan wajah seperti badut dan berkalung cabai merah raksasa.
Teman-teman sebangsa dan setanah air, dari acara workshop ini, saya merasa bangga bahwa perempuan itu tidak hanya kanca wingking, bagian belakang. Perempuan bisa menunjukkan bakat dan minatnya di dunia internasional kalau mau, mampu dan berhasil mempesona. Mami Kartika Affandi adalah salah satu contoh dari kita semua perempuan Indonesia.
Perjalanan hidup perempuan unik itu juga tidak mudah, tetapi beliau berhasil melangkah menuju puncak. Di usianya yang sudah tidak muda, beliau tidak pernah lelah untuk melestarikan seni melukis yang dianugerahkan kepadanya. Jangan pernah mengatakan,"Ah, saya sudah tua," atau "Aduh, saya capek."
Hubungan baik dengan luar negeri menjadi salah satu kunci untuk terus dan terus maju, tak pernah puas. Jika mami bisa, kita semua Kompasianer wanita juga bisa. Ayo, mulai dari sekarang.
Kedua, jika bangsa asing saja begitu peduli membantu konservasi budaya nusantara, kita sebagai pemilik warisan leluhur tidak boleh kalah. Malu kalau sebagai bangsa Indonesia tidak peduli sementara orang luar negeri banting tulang menyumbangkan dana dan tenaga yang tidak sedikit dari waktu ke waktu.