Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Serunya Street Art Festival di Blumberg, Jerman

16 Juli 2019   13:40 Diperbarui: 16 Juli 2019   14:18 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu, 14 Agustus 2019. Lagi-lagi anak-anak minta ke Ranch, peternakan kuda yang lima menit dari rumah. Lhooo, bukannya sudah Jumat dan Sabtu ke sana? Nggak capek? Nggak takut bau? Aaaaa namanya anak-anak, ya gitu, deh. Cinta kudaaaaa.

Setelah mengantar mereka, kami pun mencari hiburan sendiri. Lah biasanya pergi bareng-bareng, ini cuma berdua. Kayak pacaran lagi, dong. Untung waktu mereka bayi sampai kanak-kanak,  waktu saya investasikan bersama mereka. Sampai kehilangan pekerjaan, kehilangan uang, kehilangan hobi dan kadang-kadang sampai kehilangan akal ....hahahaha.

Segera suami cari info dari internet. Ketemu sebuah festival tahunan yang menarik, nggak jauh dari tempat tinggal kami. Festival yang sudah beberapa kali kami kunjungi selama tinggal di Jerman. Yup, Blumberg street art festival! Bungkusssss.....

***

Kami pingsut, siapa yang harus nyetir ke sana?  Untungnya suami yang nyetir, hujan membuat saya paling malas memegang setang. Selama ini, saya hanya mau jadi copilot suami ketimbang nyetir. Hanya dalam keadaan genting saja, saya baru mau menjadi sopir atau jika tempat tujuan hanya radius 20-30 km dari rumah.  Sak nyukkkk.

Sekitar 40 menit, kami sudah sampai di sana. Hujan tiba-tiba berhenti. Kata orang Jerman; kalau malaikat jalan-jalan, matahari bersinar ceria. Eaaaaaa. Eh. Lahhh ... kok orang seperti ular naga panjangnya? Karena saya kecil, segera merangsek ke depan mencari tahu sebabnya. Jiahhhhh sekarang harus bayar tiket, makanya antri. Kembali di samping suami yang ikut antri, saya berbisik "Waduh, sekarang bayarrrrr. Dulu bukannya gratis? Untung kita berdua saja. Satu orang 4 euro. Kalau berempat kita sudah makan pizza."

"Aku cuma bawa 5 euro. Kamu punya 4 euro? Pakai kartu ATM pasti nggak bisa. Ngacungin kartu kredit di depan pejaga, kamu bisa disuruh pulang." Suami mengamati saya yang segera mendudah tas kulit bermotif batik dari Malioboro yang saya tenteng. Ketemu!

Kamipun bayar kontan dan diberi gelang kertas hijau sebagai tanda masuk festival kedelapan yang diselenggarakan oleh klub Blumberg GewerbeVerein e.V. itu. Si bapak yang masangin grogi. Gelangnya copot nggak mau nempel di lengan saya. Naaaahhh .. belum pernah ketemu Kompasianer, yaaaa? Jangan takut masuk blog, deh.

Wahai perempuan, engkau makhluk terindah 

Kaki-kaki kami segera bergegas menuju tengah-tengah di mana para pelukis menebarkan pesonanya di atas karpet aspal. Kapur khusus yang mahal harganya berserakan di mana-mana. Itu bukan kapur satu euroan yang biasa saya beli untuk anak-anak menggambar di aspal depan rumah. Mangkuk-mangkuk kecil berisi cat khusus dan kuasnya terlihat di sana-sini. 

Oiii. Dari lukisan kapur di atas jalanan Blumberg pada festival yang diikuti oleh peserta dari seluruh dunia seperti Jerman, Italia, Meksiko dan Bosnia itu, saya garisbawahi bahwa mereka banyak menampilkan sosok wanita. Sosok makhluk yang memiliki kelebihan dan kelemahannya.

Batin saya pun menjerit "Thanks God, I'm a woman!" Sungguh berat jadi wanita; berdarah-darah setiap bulan, mengandung, melahirkan, menyusui, merawat anak dan suami, merawat rumah dan kebun, bekerja di luar rumah ... pun  kadang kurang dihargai. Apalagi di negara Asia, perempuan nomor dua. Laki-laki harus nomor satu. Di luar negeri, lady first hehehe .... Tantangan itu makin membuat perempuan kian kuat dan tahu untuk apa ia berdiri. Wanita Indonesia, jangan pernah menyerah!

Ah. Lihat ... lihat saja Jimena Gabino dari Meksiko, peserta nomor 32. Gambaran perempuan dengan tiga burung berwarna hijau, merah, biru dan toska itu sangat kontras dengan latar belakang yang hitam. Banyak wanita menyukai warna. Warna bisa saja meluruhkan duka di dalam dada. Terbang entah ke mana, mungkin saja sampai ke sang surya. Nyossss.

Francesco dari Italia bernomor 41, menampilkan perempuan innocent berambut panjang. Saya yakin, mulutnya yang ndower bukan dari suntikan botox. Zaman now, banyak perempuan mengejar kecantikan meski mahal dan sakit. Benar pepatah Jerman yang mengatakan "Wer schoen sein will, muss leiden." Siapa yang mau cantik harus berani berkorban. Cantiklah dari dalam, paling aman. Duit untuk botox buat jalan-jalan. Ihirrrr.

Ada Tiberlo Mazzochhi dengan mengusung nomor 55, mengingatkan kita akan ketenaran legenda one horn -- pegasusnya Barbie. Seorang wanita bergaun biru dengan tatanan rambut yang anti mainstream ada dalam ide seniman Italia itu. Saya yakin sebuah lukisan akan mampu membuat seseorang terbawa ke dunia lain. Silakan pilih lukisan kapur mana yang mampu membuat Anda termehek-mehek tapi jangan sampai lupa daratan.

Marina Platonova nomor 49 meyakinkan saya bahwa jangan hanya makan nasi, makanlah roti. Seorang gadis yang tersenyum memegang keranjang berisi macam-macam roti seperti Baguette Perancis, Prezel Jerman, tanaman gandum dan Bauernbrot Jerman, menggoda saya. "Kamu sudah makan roti hari ini?" atau "Sudahkah kamu mengunjungi ladang gandum di dekat rumahmu dan memotretnya?" Kalau saya ke sana, semoga nggak ada babi ngepet. Maklum, seberang kami adalah hutan hitam alias Blackforest. Kalau mereka kelaparan biasa menyerang ladang penduduk. Makanya para pemburu boleh memburu mereka buat disate. Sedappp.

Dok: Gana
Dok: Gana
Dok: Gana
Dok: Gana
Dok: Gana
Dok: Gana
Olalaaaaaa ... sebentar. Badan saya mematung. Sonja Samardjieva menggoda saya. Lunjak-lunjak. Dia tahu kalau saya suka bunga! Lukisan kapurnya langsung membuat mata saya berbinar-binar. Perempuan itu saya yakin, dari namanya, bukan orang Jerman. "Pak, pasti modelnya anak si pelukis." Telunjuk tangan saya mengarah pada sebuah foto yang tergeletak di sebelah lukisan. Ah, bunga merah muda. Bunga apakah itu? Mawarkah? Pasti tidak karena tidak berduri. Ingat juga dengan peribahasa; katakanlah dengan bunga. Kalau besuk di rumah sakit Jerman, jangan bawa blek roti ya ... bawalah bunga.

Ornella Zaffanelli dari Italia, nomor 79. Ia bermain warna hijau. Warna menenangkannya mengundang fantasi saya. Aaaaa sebentar lagi mau liburan! Ai ai ai, tatapan mata tajam perempuan dalam lukisan itu tampak seksi seakan mengajak, "Mari -- mari sini." Pengen ke Parang Tritis dengan legenda Ratu Roro Kidul yang mengambil pengunjung berbaju hijau karena itu warna kesukaan sang penguasa. Mau ke Raja Ampat yang memiliki air yang hijau toska ... aaaaaaaaaaaaaaaa. 

Terbaca sebuah kartu di aspal. Tatjana Huber dan Denise Hald. Mereka berkolaborasi menggambar seorang gadis yang tak komplit mukanya. Apa makna darinya? Dari Instagram mereka worryor.art, saya harus cari tahu nanti....

Dari tadi hanya apa yang saya suka saja lukisan kapurnya ...Suami saya juga bisa komen. Dia paling suka pelukis nomor 6 dari Meksiko, Mauricio Vargas. Warnanya sangat menawan. Kontras sekali. Kapan ya, saya bisa berkunjung ke negeri Caramba itu? Nabung, ah.

Masih ada Javier Arredendo dari Meksiko bernomor 157 dengan 3D dan nomor 39, Flavio Coppala dari Italia dengan lukisan 2D membuat kami berkali-kali berdecak kagum. Kok, isooooo gambarnya bagusss. Pintar amat, makannya apa ya? Lukisan di festival memang nggak hanya yang biasa, ada 2 D dan 3 D. Kalaup 4,5,6 D kayaknya nggak ada... barangkali karena nanti dikira bioskop.

Dok: Gana
Dok: Gana
Dok: Gana
Dok: Gana
Guys, jangan kotori laut dengan sampahmu

Jika sebuah koran lokal, sangat menyoroti gambar dari  Milena Mahler dari Heilbronn yang mengusung "save the planet" untuk menyelamatkan bumi dari sampah, saya sangat terpesona dengan peserta dari Bosnia-Herzegovia, Mersiha Dzafic. Perempuan yang pakai dut alias disanggul kecil di tengah-tengah dengan celana jeans pendek itu main ndeprok meneruskan lukisan kapurnya. Kakinya bersilang, menampakkan keindahan kuteks hitam yang menghiasi setiap kukunya yang cantik. Tertera "Welcome to the planet earthless." Sampah yang berserakan di bagian dasar dan plastik-botol yang melayang-layang di udara. Kotoran itu mengisi kristal bola. Yaaaaa, kalau semua orang buang sampah seenaknya, nggak bakal ada bumi lagi. Rusak, musnaaaaah sudah! Jika setiap negara tidak mempedulikan cara penanganan sampah dan tidak mengatur warganya supaya lebih peduli pada lingkungan lagi demi masa depan, buminya ambyarrrrr! Terhempas.

Menurut saya kedua pelukis itu sama-sama punya misi yang brilian tetapi memiliki penampakan yang berbeda. Mersiha mengemasnya dengan cantik dan sedikit menjual. Bola kristal ada di tempat wisata di seluruh dunia. Ingat bola kristal, ingat sampah. Eh.

Nah, sekarang mari kita sama-sama koreksi diri. Sudahkah kita adil pada bumi? Pedulikah kita akan berapa banyak sampah yang diproduksi setiap hari hingga mengotori bumi? Apa langkah kita dalam memerangi sampah? Bagaimana kita menyingkirkan sampah tapi tidak menyakiti bumi? Belilah tas kain daripada tas plastik (meski bisa beberapa kali pakai sekalipun), beli minuman yang mendukung program daur ulang atau silakan kembali untuk makan dengan daun pisang, dipincuk bisaaaaa.

Dok: gana
Dok: gana
Sayangilah hewan, man

Festival ini mengingatkan saya pada petisi yang baru saja saya tandatangani dari Avaaz. Kami mengecam Jepang yang mendukung jual-beli gading gajah yang menyebabkan banyak gajah diburu dan mati. Hanya karena kepuasan pribadi dengan barang lux tapi merugikan hewan dan negara lain. Sungguh tidak adil, merusak keseimbangan alam.

Begitulah. Mulai dari hewan piaraan seperti kucing, anjing, burung dan ikan sampai dengan Zebra, monyet dan singa, mereka itu harus kita sayangi. Menyayangi bukan berarti harus memiliki atau ikut memeliharanya. Di Rusia, orang boleh piara puma, beruang atau hewan buas lain di rumah. Di Jerman? Ngimpiiii. Burung saja ngoceh lalu tetangga terganggu dan melaporkan ke polisi atau pengacara, pemilik hewan sudah bisa didenda atau burung harus dibebaskan. Apalagi kalau pelihara hewan buasssss. Nanti digigit, bahkan dimaem lho. Haummm.

Kawan-kawan. Dengan ikut mendukung program-program pelestarian hewan dan kegiatan lain yang berkaitan dengannya menjadi salah satu cara kita untuk menyayangi hewan.

Secara tidak langsung, pelukis-pelukis dalam festival di Blumberg itu juga ikut menyukseskannya. Bagaimana dengan Anda?  Adakah festival yang mirip ini di Indonesia? Bagikan ceritanya kepada dunia dan berbagi inspirasi ....(G76)

Dok:Gana
Dok:Gana
Dokumen: Gana Stegmann

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun