"Bapakmu mau menjual rumah di Kelapa Gading." Pernah suatu kali ibu bercerita, ketika saya mudik. Wajah ibu tampak sedih. Pandangannya menerawang jauh.
"Dijual saja, nanti duitnya buat ibu dan bapak keliling dunia." Meski saya kaget dengan berita itu, saya kira tetap ada hikmah yang bisa dipetik dari sebuah masalah. Karena saya suka jalan-jalan, saya ingin orang tua saya juga demikian. Supaya menikmati hidup dan melihat kehidupan negara-negara lain yang berbeda dengan Indonesia.
Ah, ada-ada saja saya ini. Untung saja, ibu tidak balang sandal ke muka saya. Eh, amit-amit jabang bayi, ibu saya tidak pernah begitu. Ibu adalah perempuan cantik, bersahaja, lembut, halus, disiplin, kuat dan baik yang pernah saya kenal dalam hidup.
"Ibu nggak mau. Rumah itu punya sejarah dan cerita panjang. Kalau ibu nggak disiplin mencicil dan ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa seperti laki-laki, pasti ibu nggak bakal punya rumah seumur hidup." Ibu menghela nafas beberapa kali.
Muka saya menunduk. Pikiran saya berenang di antara pro-kontra penjualan rumah pertama yang pernah dibeli ibu dengan jerih payah mengajar. Menurut saya dan bapak, punya rumah satu saja cukup, buat apa dua rumah? Ibu sendiri bersikeras untuk tidak menjual rumah di perumahan BTN yang telah lunas 16 tahun yang lalu itu.
Begitulah, rupanya tradisi orang Jawa untuk memendam harta berupa tanah, rumah dan emas misalnya, masih mendarah daging. Saya yakin tradisi itu masih ada sampai hari ini. Saya mencoba memahami alasan ibu yang tetap tidak mau melepas rumah pertama yang berhasil dilunasinya dalam waktu 15 tahun itu.
Dari kisah tersebut di atas, saya kilas balik; mengapa ibu ingin sekali memiliki rumah sendiri dari keringatnya?
Begini; suatu hari, ada teman yang memberitahu ada proyek penjualan rumah di sebuah perumahan di daerah perbatasan Semarang. Karena bapak yang saat itu PNS sudah pernah mencicil rumah dengan memanfaatkan status pegawai negeri, giliran ibu yang bisa atau boleh ikut program itu. Satu lagi, ibu bilang bahwa setiap perempuan-siapapun dia harus mandiri, bukan hanya mandi sendiri. Perempuan tidak boleh hanya menggantungkan diri kepada laki-laki. Kalau laki-laki bisa beli rumah, perempuan juga harus bisa.
Itulah sebabnya, ketika bapak ingin membeli tanah di daerah Duren, ibu usul untuk membatalkannya dan memilih mencicil rumah di daerah Kelapa Gading dari BTN saja. Orang tua saya akhirnya sepakat untuk mencicil rumah atas nama ibu yang juga pegawai negeri. Waktu itu ibu masih menjadi guru SD, belum menjadi kepala sekolah.
Membayangkan bagaimana ibu mencicil dengan kebutuhan yang banyak dengan tujuh anak. Ya, Tuhan! Meskipun kira-kira cicilannya waktu itu masih murah Rp 36.000/bulan dan harga emas konon, masih Rp 2.000 an, tetap saja berat lah menjalaninya. Lantas? Namanya juga ibu, nomor satu! Selama 15 tahun, ibu berhasil mencicil tiap bulannya tanpa mandeg sejak tahun 1987 lewat PT Kinijaya Semarang yang ditunjuk BTN. Karena itulah pihak managemen mengapresiasi dengan memberikan 3 bulan gratis tidak usah mencicil karena ibu dinilai sebagai nasabah yang rajin. Baik sekali ya, pemimpinnya. Cara yang jitu untuk menghargai pelanggan.
Nah, setelah rumah BTN lunas pada tahun 2003, ibu membuat sertifikat tanahnya jadi HM. Beanya kira-kira 8 juta rupiah di BTN. Kata orang kalau rumah sudah HM, kuat dan lebih mahal dari rumah yang nggak HM jika dijual suatu hari nanti.
Proyek perumahan impian
Dari pengalaman baik dan menyenangkan itulah, ibu menyarankan adik saya untuk ikut program yang mirip. Program presiden Jokowi di daerah pelosok dengan membayar Rp 700.000/bulan dan uang muka 5-10 juta rupiah. Dengar-dengar, itu khusus untuk pegawai negeri.
Saya yakin, masih banyak program perumahan lainnya yang diperuntukkan bagi golek lemah atau golongan ekonomi lemah sampai golongan menengah. Kalau melihat cara pemerintah Jerman mengatur rumah-rumah secara umum, saya pikir banyak hal yang harus diperhatikan oleh kontraktor perumahan di tanah air:
1.Jika berbisnis, wajar kalau pengusaha ingin mengambil keuntungan. Tetapi jangan hanya mengambil untung sendiri saja, melainkan memikirkan juga keuntungan bagi konsumen atau pembeli rumah. Contohnya memudahkan jalan bagi para penduduk perumahan untuk memenuhi kebutuhan pokok; sandang-pangan, tak hanya papan.
Meskipun kami tinggal di kampung di sebuah lembah yang dikelilingi hutan dan gunung, semua serba ada. SPBU kecil dan tempat mencuci mobil ada, bengkel sepeda sampai mobil ada, toko kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari ada, bank ada, restoran banyak, tukang cukur dan salon ada, toko bunga ada, toko minuman ada, praktek dokter umum dan dokter gigi ada, lapangan olahraga ada, lapangan bermain ada, PAUD sampai SD ada, gereja dan makam ada, ruang pertemuan yang mampu menampung 500 orang juga ada dengan tempat parkir yang luas juga ada, pabrik-pabrik banyak, dealer mobil sampai bengkel ada, toko daging dan toko roti juga ada, rumah jompo juga ada dan bahkan tempat penampungan pengungsi juga ada.
Tempat-tempat tersebut tidak jauh dari tempat tinggal, bahkan bisa dicapai dengan berjalan kaki. Andai sebuah perumahan dibangun dengan sarana-prasarana yang memadai, tentu saja akan membuat pemilik rumah merasa nyaman untuk tinggal. Ibu cerita meski tidak seheboh di Jerman, rumah ibu di perumahan BTN sekarang ramai laksana kota, semua serba dekat dan ada aka lengkap-kap-kap!
2.Mengatur pembuangan limbah yang baik Namanya juga hidup, pasti menghasilkan sampah. Untuk itu, pemda setempat Jerman biasa menempatkan 3 buah kontener di sebuah sudut, untuk pembuangan macam-macam botol bekas dari gelas ada.
Setiap rumah mendapatkan 5 tong sampah yang berbeda; plastik, kertas dan basah tanpa bea. Sedangkan sampah campuran dan pembalut bayi sampai orang tua, harus bayar per tahun. Lalu untuk pembuangan sampah hijau seperti rumput, ranting, pohon dan sejenisnya, ada di sebuah tempat khusus dan tanpa dipungut iuran.
Bagaimana dengan pengaturannya di perumahan tempat Anda tinggal? Sudah rapi dan lengkap, belum? Sedangkan ibu sudah merasa puas dengan perumahan BTN. Kalau ibu tanya saya, saya pikir BTN tetap harus meningkatkan penanganan limbah. Ada tempat membuangnya, kalau perlu ada tempat mendaur-ulangnya. Keren.
3.Memperhatikan prinsip ramah lingkungan. Sudah banyak rumah Jerman yang telah dipasangi panel solar. Padahal matahari tidak sesering dan seterik di tanah air. Simpanan tenaga matahari tadi ada yang dipakai untuk memanaskan air saja atau ada yang digunakan untuk energi listrik atau dijual.
Saya pikir, memilih atap yang mampu menyimpan tenaga surya di perumahan Indonesia jadi impian yang indah dan barangkali menguntungkan. Atau misalnya dengan membangun sumur resapan mini di tiap-tiap rumah yang dibangun.
Kemudian, pohon-pohon sebagai penyimpan air dan menguatkan tanah serta menjadi oksigen bagi bumi, harus ditingkatkan alias diperbanyak. Memilih pohon terbaik untuk keindahan sekaligus dari segi manfaat adalah hal yang tak boleh dilupakan.
Perumahan yang dibangun dengan mengutamakan faktor lingkungan nampaknya menjadi sebuah oase yang menyegarkan tak hanya bagi pemilik rumah tetapi juga bumi. Walau sudah banyak pohon yang ada di perumahan BTN di mana ibu beli satu rumahnya, tidak salah kalau diperbanyak lagi, lagi dan lagi.
Lewat postingan ini, saya ingin berterima kasih kepada BTN yang telah memfasilitasi ibu dan rakyat Indonesia lainnya yang bermimpi untuk memiliki rumah sendiri dengan cara mencicil. Tidak semua orang di dunia ini bisa kaya sejak lahir, kaya mendadak atau kaya dari bekerja sesuai profesinya, dan mampu membeli rumah yang disukainya.
Lewat program BTN yang ibu pilih jaman itu, membuat impian tak hanya jadi angan-angan saja. BTN yang telah mengabdi selama 69 tahun untuk negeri, saya yakin benar-benar menjadi sahabat masyarakat Indonesia yang telah merasakan kenyamanan tercukupi kebutuhan papannya.
Semoga ke depan, semakin banyak proyek perumahan BTN yang dibangun dari Sabang sampai Merauke dengan tetap mengedepankan prinsip ekonomi, tetapi juga menyentuh nilai-nilai ramah lingkungan demi kelestarian bumi. Tentu saja faktor keamanan lingkungan juga tak boleh ditinggalkan.
Akhirnya, harapan agar generasi digital dan milenial tetap loyal kepada BTN di era digitalisasi perbankan Indonesia yang persaingannya sangat ketat akan tercapai sampai akhir zaman.
Selamat ulang tahun ke-69, BTN. Semoga tetap jaya dan terus membangun Indonesia. Salam dari Jerman. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H