Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kejamnya Muay Thai Boxing

16 November 2018   19:04 Diperbarui: 16 November 2018   19:20 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menang KO, kalah tersungkur berdarah dan giginya tanggal (dok.Gana)
Menang KO, kalah tersungkur berdarah dan giginya tanggal (dok.Gana)
Tendang-tendangan (dok.Gana)
Tendang-tendangan (dok.Gana)
Diapit dua pemenang, Ninia dan Danie (dok.Gana)
Diapit dua pemenang, Ninia dan Danie (dok.Gana)
"One .. two ... three ... teng-teng-teng" (dok.Gana)
"One .. two ... three ... teng-teng-teng" (dok.Gana)
Hari itu ada 4 pertandingan yang dipromosikan; Lomhuan vs Danie (Meksiko), Janenarong vs Jamebone dan Petsiam vs Kak. Pertarungan seru antar perempuannya Kongfa vs Ninia (Meksiko).

Beberapa orang asing sudah mulai duduk di kursi VIP, yang lain nyaman juga di antara tribun. Selain itu banyak juga orang Thailand yang menonton. Lucunya,  beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu menggandeng anak kecil untuk diajak menonton. Bukankah sudah malam waktunya tidur bagi anak-anak?

"Wah, ada yang bawa termos." Teriak saya. Tangan menunjuk pada seorang perempuan yang menenteng termos di depan ring.

"Isinya pasti nasi." Gaya banget suami saya menebak isinya.

"Hedehhh, warung kaliiii ... Aku berani bertaruh, isinya es. Gana dilawan." Saya Tepuk dada.

"Warung juga kaliiii ..." Lelaki saya itu nggak mau kalah. Namanya juga anak tunggal!

"Yaahh, papi. Kan orang main tinju bisa mrempul, bisa berdarah pula. Perlu es dong, dikompressss. Masak nasi, bikin gendut. You know? I tell you."

"Huh, women are always right. Kamu sok tahu, bu." Cetus suami saya.

Hahahaha .... Belakangan suami saya meringis karena tahu saya yang benar menebak bahwa termos itu berisi es bukan nasi! Yup, kalau isinya nasi kayak warungan, dong. Tahu kenyataannya saat pertandingan dimulai dan ada yang hidungnya mimisan sehingga perlu dikompres, buka termos, byakk ... isinya es!

Teman-teman, yang menarik dari Muay Thai Real Fight adalah bahwa ada sisipan budaya yang ingin dilestarikan di antara olahraga kebanggaan masyarakat lokal Thailand dan digandrungi para turis asing. Dari musiknya dan gerakan-gerakan yang ada, mencerminkan ke-Thailand-an.

Begini. Sebelum semua pertandingan dimulai, penonton diharap berdiri mendengarkan secara khidmat lagu nasional Thailand. Para petinju memakai ikat tradisional dan mantel. Mantel dilepas pelatih tetapi ikat masih di kepalanya. 

Mereka dipertemukan oleh wasit di tengah-tengah, diberi wejangan dan saling menghormati. Lantas, mereka yang memakai celana pendek dengan bordir hiasan huruf Thailand dan ornamen itu memiliki ritual untuk mengelilingi ring, memegang tali ring dengan salah satu tangan, posisi kaki saat berjalan sesekali berhenti beberapa detik seperti menari, bahkan duduk di tengah ring dan menari-nari. Waktu melewati setiap sudut, petinju tak lupa mencium bantalannya dan meninjukan sarung pada sudut secara pelan tapi pasti.

Ritual cukup, masing-masing petinju kembali ke sudut masing-masing. Pelatih akan mengucapkan doa, mencipratkan air ke kepala, mengambil ikat dan memasangkan gigi palsu. Mirip dukun gitu lah.

Teng-teng-teng. 

Acara dimulai. Petinju saling mencari sela di mana harus meninjukan tangan atau menendangkan kaki kepada lawan. Bag-big-bug ... gubrakkkk! Ada yang jatuh. Wasit segera mendekati badan yang tergolek di atas ring. Menghitung "one-two-three..." dan memberi tanda dengan tangan bahwa pertandingan disudahi. Wasit segera mengangkat satu tangan sang lawan tinggi-tinggi di udara. Yak, menang!

Pertandingan diadakan sampai tujuh kali, yakni 2 kali pertandingan anak-anak, 2 kali pertandingan perempuan, 2 kali pertandingan dewasa dan 1 kali pertandingan dengan orang asing sebagai bintang tamu. 

Errrgh. Mengapa anak kecil umuran SD dilibatkan? Inikah regenerasi? Pembibitan yang keras pada mereka dianggap pantas dan harus dilakukan demi lestarinya budaya bangsa namun di sisi lain terlihat kurang manusiawi. Kasihan juga melihatnya, lho. Nggak tega, seperti lihat anak sendiri gontok-gontokan.

Bayangkanlah hidung bersimbah darah, gigi yang mencelat copot karena ditonjok, muka bonyok dan biru-biru bukan dari make up, karena ditendang, tulang remuk atau patah karena terjerembab ... ah, kalau itu anak saya, saya nangis. Oh, kerasnya kehidupan. Cari nasi saja susah? Atau ini soal nasionalisme?

Belum lagi melihat pertandingan antar perempuan. Aduhhh ... adakah kesan feminin pada petinju perempuan? Ada, tetap ada tapi minim. Sebut saja Kongfa. Perempuan Thailand berambut panjang yang dikepang itu bertubuh sintal, senyum dan wajahnya manis. Pada saat ritual sebelum pertandingan dimulai, ia menari dengan gemulai. Ia lebih pantas menari di atas panggung ketimbang bertinju di atas ring. Saking simpatiknya, ketika ia kalah dijatuhkan Ninia dari Meksiko pun, tepukan tangan meriah dan standing applaus diberikan padanya. 

Ninia yang berbadan tambun dan bermuka sangar itu lebih tomboy penampilannya dibanding Kongfa. Apalagi potongan rambut separoh bros menambah kesan maskulin padanya. 

Beberapa menit berlalu, pertandingan kelar. Lampu akan segera dipadamkan secara serentak. Buru-buru kami antri keluar, mau pulang. Aduuuh, jalanan becek dan macet karena taksi-taksi pesanan mulai berjajar menjemput penumpangnya. Merasa nggak pesen, suami saya hopeless. Alamat harus jalan kaki sampai jalan besar.

"Can we come along?" Suami memberanikan diri bertanya pada seorang lady boy yang mengantar turis ke taksi. Ia menghubungkan kami dengan sang sopir.

"Yes. Sure. Is that OK with you are all?" Sopir muda balik tanya pada para penumpang yang berbahasa Jerman apakah mereka nggak keberatan ada yang numpang. Ah, dari ngobrol ngalor-ngidul, jadi tahu kalau mereka orang Austria.

"Wie wars? Was denkst du?" Nggak ada hujan nggak ada angin, seorang pria berambut panjang berwarna putih di depan saya tiba-tiba tanya bagaimana perasaan setelah menonton tadi.

"Gut. Einmalig." Meski pertandingan Thai Boxing itu bagus tapi menurut saya sekali saja cukup melihatnya. Paling nggak tega lihat anak kecil bertarung.

"Hey, da bist du." Si pria menunjuk layar telepon genggam rekannya yang mengecek foto-foto yang diambil waktu pertandingan. Di sana, ada foto Danie dan Ninia. Rupanya di tengah-tengah mereka adalah saya. Hahahaha ... kok, bisa ya? Jadi waktu saya minta suami mengambil foto, ada yang ikutan jepret. Klik, tersimpan.

***

Itu tadi pengalaman kami nonton tinju tradisional rakyat Thailand untuk yang pertama kali dan semoga yang terakhir kali. 

Dan tepat 14 November 2018, telah meninggal dunia seorang petinju Muay Thai yang masih berusia 13 tahun. Ia terkena pendarahan otak setelah bertanding di atas ring dan dirawat di sebuah rumah sakit di Bangkok. 

Sebuah tamparan bagi orang tua di Thailand yang kabarnya sejak dulu mengirim anaknya yang masih TK untuk latihan tinju, dengan alasan masalah keuangan. Dikatakan dengan bertinju akan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Jika berjaya di atas ring, anak-anak itu disebut-sebut akan mampu meneruskan pendidikan tinggi menggunakan uang yang diraup. 

Selain itu, sebenarnya tujuan orang tua Thailand adalah membekali diri anak-anak mereka dengan ilmu bela diri yang sudah turun-menurun ada di negara yang belum pernah jadi koloni negara lain itu. Ditambah mereka dilatih disiplin dan menjadi petarung tangguh dalam hidup. Sayang, tanpa alat pengaman seperti helm atau pelindung dada. Hidup memang keras, nak.

Sebagai orang tua, saya semangat mengarahkan anak-anak kami dalam mencari bakat dan minat tetapi tetap ingat resiko apa yang akan didapat si anak sebagai pelaku, selama mendalaminya. Anak polah, bapa kepradah. Toh, jika ada apa-apa, orang tua juga yang repot. Siap?

Kalau sudah kejadian seperti di  Thailand itu, apa tindakan pemerintah kerajaan dan para orang tua di sana? Apa  harus tetap mengarahkan atau mengijinkan anak-anak di bawah umur ke tinju  ala Thailand? Bukankah masa anak-anak adalah masa belajar dan bermain? Tinju? Don't try this at home, it's dangerous. (G76)

Ps: Semua Dokument milik Gana 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun