Mereka dipertemukan oleh wasit di tengah-tengah, diberi wejangan dan saling menghormati. Lantas, mereka yang memakai celana pendek dengan bordir hiasan huruf Thailand dan ornamen itu memiliki ritual untuk mengelilingi ring, memegang tali ring dengan salah satu tangan, posisi kaki saat berjalan sesekali berhenti beberapa detik seperti menari, bahkan duduk di tengah ring dan menari-nari. Waktu melewati setiap sudut, petinju tak lupa mencium bantalannya dan meninjukan sarung pada sudut secara pelan tapi pasti.
Ritual cukup, masing-masing petinju kembali ke sudut masing-masing. Pelatih akan mengucapkan doa, mencipratkan air ke kepala, mengambil ikat dan memasangkan gigi palsu. Mirip dukun gitu lah.
Teng-teng-teng.
Acara dimulai. Petinju saling mencari sela di mana harus meninjukan tangan atau menendangkan kaki kepada lawan. Bag-big-bug ... gubrakkkk! Ada yang jatuh. Wasit segera mendekati badan yang tergolek di atas ring. Menghitung "one-two-three..." dan memberi tanda dengan tangan bahwa pertandingan disudahi. Wasit segera mengangkat satu tangan sang lawan tinggi-tinggi di udara. Yak, menang!
Pertandingan diadakan sampai tujuh kali, yakni 2 kali pertandingan anak-anak, 2 kali pertandingan perempuan, 2 kali pertandingan dewasa dan 1 kali pertandingan dengan orang asing sebagai bintang tamu.
Errrgh. Mengapa anak kecil umuran SD dilibatkan? Inikah regenerasi? Pembibitan yang keras pada mereka dianggap pantas dan harus dilakukan demi lestarinya budaya bangsa namun di sisi lain terlihat kurang manusiawi. Kasihan juga melihatnya, lho. Nggak tega, seperti lihat anak sendiri gontok-gontokan.
Bayangkanlah hidung bersimbah darah, gigi yang mencelat copot karena ditonjok, muka bonyok dan biru-biru bukan dari make up, karena ditendang, tulang remuk atau patah karena terjerembab ... ah, kalau itu anak saya, saya nangis. Oh, kerasnya kehidupan. Cari nasi saja susah? Atau ini soal nasionalisme?
Belum lagi melihat pertandingan antar perempuan. Aduhhh ... adakah kesan feminin pada petinju perempuan? Ada, tetap ada tapi minim. Sebut saja Kongfa. Perempuan Thailand berambut panjang yang dikepang itu bertubuh sintal, senyum dan wajahnya manis. Pada saat ritual sebelum pertandingan dimulai, ia menari dengan gemulai. Ia lebih pantas menari di atas panggung ketimbang bertinju di atas ring. Saking simpatiknya, ketika ia kalah dijatuhkan Ninia dari Meksiko pun, tepukan tangan meriah dan standing applaus diberikan padanya.
Ninia yang berbadan tambun dan bermuka sangar itu lebih tomboy penampilannya dibanding Kongfa. Apalagi potongan rambut separoh bros menambah kesan maskulin padanya.
Beberapa menit berlalu, pertandingan kelar. Lampu akan segera dipadamkan secara serentak. Buru-buru kami antri keluar, mau pulang. Aduuuh, jalanan becek dan macet karena taksi-taksi pesanan mulai berjajar menjemput penumpangnya. Merasa nggak pesen, suami saya hopeless. Alamat harus jalan kaki sampai jalan besar.
"Can we come along?" Suami memberanikan diri bertanya pada seorang lady boy yang mengantar turis ke taksi. Ia menghubungkan kami dengan sang sopir.