Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tertawalah Sebelum Tertawa Harus Bayar

10 November 2018   15:36 Diperbarui: 11 November 2018   04:39 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingat tentang artikel saya berjudul „Energi Baik Orang Indonesia yang membuat orang Jerman iri?

Ya, Kebanyakan orang Indonesia terkenal ramah, murah senyum, dan tawanya kenceng. Nggak percaya? Coba tanya orang asing yang pernah ke Indonesia atau setidaknya kenal orang Indonesia di manapun ia berada. Ya ampunnn, tawa kita khas sekali, jeder gito, loh.

Nah, rupanya itu pula kesan suami saya pada istrinya yang imut inih. 

“Buk, kamu itu baru dipandang saja sudah ketawa." Suami pasang muka.

“Emangnya nggak boleh? Tertawa itu sehat." Ulas saya.

“Kalau kebablasan gila namanya. Lagian, aku mau cium belum sampai sudah ngakak, males ah. Yang tadinya romantis jadi sebelllll." Ia tetap nggak terima.

“Hahaha ... sama kamu geli terus, sih, pak."

“Kan aku sudah mencukur kumis dan brewok. Licin, bersih ..." Separuh jiwa saya membela diri.

“Hahahha ... kamu ganteng sekali."

“Huh, males, aku nggak jadi nyium kamu."

Iapun membalikkan badan, pura-pura marah lalu pergi. Tawa saya tambah menggelegar. Ia merajuk. Cemberut, nih yeeeee. Saya peluk badannya, adem. Ah, gantian dia yang tertawa. Hahahaha.

Hari begitu cepat berlalu. Beberapa minggu kemudian, ia membuka kotak pos. Di sana banyak surat dan ... satu brosur dari tempat saya kerja, VHS atau Volkshochschule.

Kursus Tertawa
Saya buka halaman per halaman. Tertera  program bahasa yang saya bawahi di sana. Di halaman lain, ada yang menarik, oiiii....program Lach Yoga. Lach artinya ketawa dan yoga, olahraga yang dikenal orang sedunia, disukai beberapa orang Jerman dan berasal dari India.

Mengapa diterima dan disukai orang? Bagaimana gambaran kursusnya?

Seorang peserta yang juga murid tempat saya mengajar mengaku training tertawa itu menyenangkan. Pertama, mereka diajarkan untuk jadi seperti anak-anak. Contohnya bertepuk tangan, lalu disertai gerakan seperti goyang kanan dan kiri. Selain itu juga ada latihan pernafasan. Nafas ditarik dalam-dalam, dihembuskan cepat-cepat sambil tertawa terbahak-bahak (buatan) “hahahahahahha." Latihan yang sama untuk hembusan pelan dengan tawa pelan dan terpotong “ha—ha—ha—ha—ha...." sampai nafas habis.

Tertawa dipercaya menular, ketika ada peserta yang tertawa, orang yang melihat ikut tertawa meski nggak tahu apa sebabnya. Coba deh, ada orang tertawa, pasti kita menoleh dan mencari tahu apa sebabnya. Jika paham lelucon yang terlihat atau terdengar, pasti ikut tertawa.

Saya juga ikut geli ketika tahu masing-masing peserta ternyata ada ritual menggelitik telapak tangan lawan.

Tentu bukan acara gratisan seperti kalau kita kumpul dengan teman-teman dan berhaha-hihi. Harga kursusnya 21 euro atau kira-kira tiga ratus ribuan rupiah untuk tiga kali pertemuan, @90 menit dari pukul 18.30-20.00 waktu Jerman.

Kursus itu diperuntukkan bagi orang dewasa dengan segala umur. Pengajarnya tentu saja memiliki sertifikat istimewa, khususnya tentang Yoga Tertawa.

Mengapa Orang Harus Belajar Tertawa?
Orang tertawa pasti dari hati dan pikiran. Nah, dengan tertawa hormon endhorpin dipercaya akan lepas. Hormon itulah yang membuat orang jadi gembira karena sudah tertawa. Kemudian, hormon stress yang menghuni kepala akan dilepas bebas nggak membebani otak manusia. Horeee... dunia serasa indahhhh bagai pelangi. Lupa kalau punya utangggg.

Itulah sebab Dr. Madan Kataria dari Mumbai, India menciptakan Lach Yoga ini pada tahun 1995. Berdiri pula sebuah klub Lach Yoga pada tahun yang sama.

Pada perkembangannya, olahraga ketawa ini mulai menembus pasar Eropa khususnya di Jerman. Sebut saja, Konstanz, Muenchen, Ulm dan tentu, Tuttlingen.

So doktor berpendapat bahwa tertawa biasa dengan yoga tertawa itu beda. Tertawa atau tersenyum alami lebih mengacu pada perkembangan kognitif manusia sedangkan dengan yoga lebih ke motorik.

Tawa yang diproduksi karena dibuat-buat dipercaya lebih lama karena disertai latihan pernafasan dan gerakan tubuh lainnya. Jadi nggak sekedar tertawa tapi ada olah raganya. Nah, yang kurang olah raga dalam kehidupan sehari-hari, ide yang cemerlang sudah di depan mata. Sekalian tertawa sehat, badan pun kuat.

Bicara tentang yoga tertawa ini, terserah pada pendirian masing-masing orang. Mau tertarik ikut atau menganggap ini lucu.

Kalau saya pribadi, belum butuh yoga tertawa karena tanpa training, saya sudah sangat mudah tertawa lepas bahkan sampai bisa terpingkal-pingkal hingga membuat saya menangis bahagia dan pegang perut karena kram. Mirip-mirip mau salto badai gitu, deh. Sedangkan untuk kesehatan fisik sudah saya cari lewat olahraga, yakni dengan berenang, jalan kaki cepat (nordic walking) dan gymnastik setiap minggu.

Baiklah, sekarang mumpung masih sehat dan tertawa belum ada pajaknya, sering-seringlah untuk tertawa jika Anda merasa ada yang lucu dan tentu saja tepat di tempatnya. Tertawalah sebelum tertawa harus bayar. (G76). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun