Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Tanam Phacelia di Jerman Dapat Subsidi dari Pemda Setempat

24 Oktober 2018   19:44 Diperbarui: 25 Oktober 2018   22:45 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wah, semua unguuuu ..." mata saya terbelalak melihatpadang rumput berwarna ungu. Ungu? Apakah itu lavendel? Omaigottt. Seperti di negeri dongeng. Buru-buru mata saya lurus ke depan begitu sadar, setiran saya ngepot dan hampir keluar dari jalur jalan tikus di daerah pegunungan itu. 

"Ah, mama, sudah sejak lama. Kalau kami naik kuda, biasanya lewat situ." Anak gadis menganggap pemandangan indah itu sebagai hal yang biasa. Setiap hari Sabtu ia berkuda dan lewat sana.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
"Hmm baru lihat sekarang. Kemarin mama ke mana ya?" Keheranan saya memuncak ketika warna ungunya makintajam begitu mobil sejajar dengan ladang.

Di kebun, saya sudah menanam lavendel. Pertama karena kata orang Jerman itu akan mengusir nyamuk dan serangga lainnya. Kedua, baunya semerbak mewangi membuat hati gembira dan menenangkan jiwa. 

Ketiga, ikutan tradisi orang Jerman menanam lavendel di sekitar pohon mawar. Selain warna ungu, saya tanam lavendel putih juga. Sama-sama wangi, sih tetapi untuk vitamin A, memang asyik memilih yang warna ungu.

Sebab itulah, begitu tahu di daerah Karpfen ada "lavendel", saya tertarik untuk ke sana. Bukan hanya selfie tapi juga menikmati keindahan obyek yang biasanya tenar di Perancis atau Hungaria. Ke Perancis butuh 3 jam, ke Hungaria? 11 jam! Huuuu jauuuuhh, pantat bisa tepos. Mending deket rumah saja.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Akhirnya ... nggak salah jika saya memaksa suami dan anak-anak untuk ikut pada hari Minggu lalu. Ya, kami harus sidak ke sana. Melihat dari dekat lavendel yang menawan. Sayang sekali, bertepuk sebelah tangan. Apa yang terjadi?

"Lhoooo, penonton kecewaaaa ... ini bukan lavendel." Tangan saya menyentuh bunga ungu di sana. Nggak ada harum khas lavendel yang saya cium, nggak. Huuuuh, sebel!

"Hahaha ... tertipu." Anak-anak tertawa. Mentertawakan mamanya yang melongo, bermimpi di siang bolong melihat padang lavendel di dekat rumah. Mereka sempat-sempatnya joget. Hihhhh.

"Persis ini, kan?" Suami memperlihatkan layar telepon genggamnya. Biasa, mbah google kan ahlinya, jika ada pertanyaan pasti terjawab sudah. Di sana ada gambar bunga persis seperti yang saya pegang.

"Eh, iyaaaa ...." Saya kegirangan. Eit, tetapi mengapa judulnya Phacelia, bukan lavendel?

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
"Namanya Phacelia. Ditanam para petani Jerman karena ini akan membantu para lebah untuk mendapatkan sari-sari yang dibutuhkannya demi membuat madu. Madu di Jerman dikabarkan berkurang karena banyak lebah dan sejenisnya yang mati. Entah itu karena banyaknya pestisida atau sengaja dibunuh orang karena dianggap mengganggu."

"Kamu juga takut digigit, kan? Aku suka lihat kamu biasanya bawa pukulan plastik untuk mengusirnya atau raket listrik untuk menyengat lalat, lebah jangan. Nah, dari masalah itulah, pemerintah Jerman memberi subsidi bagi siapa saja yang menanam Phacelia. Uang pengganti beli bibit dan perawatan tanaman sampai siap dihisap lebah."

"Bunganya kaya akan sari-sari selama 24 jam. Kalau dihisap nggak bakal habis, selalu muncul, lagi dan lagi."

Wajah suami saya tiba-tiba mirip seperti profesor yang memberikan seminar pada para mahasiswanya. Ia mencium saya dan berlalu. Olalaaaa ....

Saya masih tertegun, berdiri di tengah-tengah, memandangi dua sisi fatamorgana lavendel. Ohh, tidak. Suami dan anak-anak sudah sampai di mobil, di ujung jalan sana.  Kaki saya mendekat pada salah satu bunga Phacelia. Mata saya tak henti-hentinya mengamati para lebah yang menghisap sari bunga Phacelia dari dekat. Oh, iya, banyak lebaaaahhh.

Lalu, saya berbisik, "Ich bin nicht suess...." atau "Saya nggak manis."

Meniru guyonan yang biasa dilontarkan anak-anak Jerman ketika lebah mendekat, supaya tidak digigit. Maklum, bukankah lebah suka yang manis-manis. Yang jutek dan nggak manis, pasti nggak bakal didekat lebah. Haaa, yang GR, merasa manis.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
***

Serunya melihat ladang berwarna ungu di depan mata. Meski tertipu itu bukan lavendel tetapi Phacelia, saya bersyukur mendapat satu pengetahuan baru tentang hal yang pasti nggak ada di kampung halaman.

Teman-teman di tanah air dan di manapun Anda berada, mencontoh apa yang saya lihat di Jerman, bagaimana ya, jika suatu hari ada subsidi pemerintah akan bagi siapa saja yang menanam padi supaya negara nggak terus-menerus impor beras dari negeri tetangga? Bukan beras plastik, lho yaaaa. 

Siapa tahu dengan demikian, generasi muda di bumi nusantara akan termotivasi untuk mengembangkan lahan untuk ditanami tanaman-tanaman bermanfaat untuk kehidupan? Bukan hanya menjual lahan untuk dibangun gedung-gedung tinggi atau perumahan. Supaya mahasiswa pertanian di kampus-kampus A-Z dari Sabang sampai Merauke juga bisa mengembangkan ilmu dan pengetahuannya, praktek di lapangan.

Ah, kalau tidak lusa ya ... lain hari. (G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun