"Wah, semua unguuuu ..." mata saya terbelalak melihatpadang rumput berwarna ungu. Ungu? Apakah itu lavendel? Omaigottt. Seperti di negeri dongeng. Buru-buru mata saya lurus ke depan begitu sadar, setiran saya ngepot dan hampir keluar dari jalur jalan tikus di daerah pegunungan itu.
"Ah, mama, sudah sejak lama. Kalau kami naik kuda, biasanya lewat situ." Anak gadis menganggap pemandangan indah itu sebagai hal yang biasa. Setiap hari Sabtu ia berkuda dan lewat sana.
Di kebun, saya sudah menanam lavendel. Pertama karena kata orang Jerman itu akan mengusir nyamuk dan serangga lainnya. Kedua, baunya semerbak mewangi membuat hati gembira dan menenangkan jiwa.
Ketiga, ikutan tradisi orang Jerman menanam lavendel di sekitar pohon mawar. Selain warna ungu, saya tanam lavendel putih juga. Sama-sama wangi, sih tetapi untuk vitamin A, memang asyik memilih yang warna ungu.
Sebab itulah, begitu tahu di daerah Karpfen ada "lavendel", saya tertarik untuk ke sana. Bukan hanya selfie tapi juga menikmati keindahan obyek yang biasanya tenar di Perancis atau Hungaria. Ke Perancis butuh 3 jam, ke Hungaria? 11 jam! Huuuu jauuuuhh, pantat bisa tepos. Mending deket rumah saja.
"Lhoooo, penonton kecewaaaa ... ini bukan lavendel." Tangan saya menyentuh bunga ungu di sana. Nggak ada harum khas lavendel yang saya cium, nggak. Huuuuh, sebel!
"Hahaha ... tertipu." Anak-anak tertawa. Mentertawakan mamanya yang melongo, bermimpi di siang bolong melihat padang lavendel di dekat rumah. Mereka sempat-sempatnya joget. Hihhhh.
"Persis ini, kan?" Suami memperlihatkan layar telepon genggamnya. Biasa, mbah google kan ahlinya, jika ada pertanyaan pasti terjawab sudah. Di sana ada gambar bunga persis seperti yang saya pegang.
"Eh, iyaaaa ...." Saya kegirangan. Eit, tetapi mengapa judulnya Phacelia, bukan lavendel?