Dari Lagu Daerah Sampai Angklung
Waktu Mia Patria di Swiss, kami masih di Thailand. Waktu mereka di Italia, saya lagi di Indonesia. Beruntung, saat mereka ke Jerman, saya sudah kembali. Makanya, kami pun datang sekeluarga untuk menyaksikannya. Sekalian lihat drone show di Frankfurt, kami pilih konser budaya yang pas. Yup, di Ruesselsheim itu!
Tiga jam-an kami mengendarai mobil. Sampai di hotel, kami langsung berangkat ke acara supaya nggak telat. Ingat, Jerman punya tradisi tertib atau nggak boleh terlambat. Kalau biasanya mereka 5 menit sebelum acara sudah tiba, kami mau balapan, limabelas menit sebelum mereka datang, kami sudah di sana.
Nggak rugi jauh-jauh datang karena tampilan Mia Patria memukau. Pemanasan dengan lagu tradisional seperti "Sik-Sik Batumanikam", lagu dari Jakarta, Sunda dan Papua, mengingatkan pelajaran kesenian mengenal lagu daerah waktu di sekolah dulu.
Saking senengnya nonton, kami jadi lupa kalau tadi sebelum berangkat belum makan. Untung saja memang acara diatur supaya ada waktu istirahat bagi grup dan penonton demi menikmati masakan nusantara.
Horeee... menikmati masakan Indonesia seperti di warung. Mau gado-gado? Kue pandan? Soto Ayam? Lumpia? Nasi Rames? Adaaaa. Semua antre untuk dilayani, lalu makan sambil berdiri karena kursi di luar yang tersedia nggak banyak.
Tak berapa lama, beberapa gadis datang lalu duduk bersimpuh. Kenong, ketuk, gambang, siter, kendang, biola dan cello mereka mainkan. Yaaaa... dimulai lagi.
Lima gadis penari dengan pakaian Betawi ada di panggung. Gemulai tangan mereka semakin menambah kemeriahan warna pakaian yang sudah merah-kuning-biru itu.
Nggak kalah hebohnya adalah grup penari pria berjumlah enam yang menunjukkan "betapa lelaki jaman dulu sangat lelaki", seperti kata mas MC. Si mas berkacamata banyak bercerita tentang pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke.
Lelaki sejati? Haaaa coba saja, mereka bawa tameng dan pedang lalu perang-perangan. Bukan perang betulan tapi waktu mereka loncat dan menari, tapi rasanya sudah seperti hidup di zaman ituh di mana pertumpahan darah benar-benar terlihat.
Begitu mereka pergi dari panggung, kelompok gadis penari Saman dari Aceh sudah siap. Dengan kostum warna kuning dan ungu, mereka memainkan tangan dan diiringi rebana.