Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

(#Koteka3tahun) Merak Jantan Lebih Cantik

22 Juli 2018   18:50 Diperbarui: 22 Juli 2018   19:49 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sudah sejak umur 5 tahun saya menari. Waktu itu di sekolah selalu ada pelajaran menari. Dimulai dari menari kelinci.

Kebetulan ada darah seni, orang tua saya seniman. Waktu muda, bapak pernah jadi dalang dan ibu jadi sinden. Mereka juga pandai menari tetapi tidak memaksa saya secara langsung untuk belajar menari sejak kecil. Kebetulan saja ketika kelas IV, ibu ikut mengajari murid-murid, termasuk saya untuk menari dan ikut lomba sana-sini. Sayanya sukaaa ....

Pada masa itu memang anak-anak perempuan masih suka belajar menari. Mulai dari yang lahir dari keluarga ningrat sampai ningrat (an) aka rakyat jelata. Entah sekarang ....

Makanya prihatin tinggal di Jerman, mana ada pelajaran menari tari tradisional Indonesia? Beruntung saya punya bakat dan minat di jagad tari kita. Nggak ada yang ngajarin? Buka youtube, jadi! Bukankah dasarnya sudah ada ditambah suka? Nggak soal kalau ada yang nyeletuk narinya kurang bagus lah, dandannya clemotan lah, bajunya melotrok lah, terlalu cepat narinya lah, anu, ini, inu, iti, itu, atuuuuu ... yang penting sudah ada kontribusi untuk negara. Kalau mikiran apa kata orang dan nggak positif, nggak bakalan nari, dong takut-takut salah melulu. Emang yang gaweannya hanya ngritik lebih baik? Belum tentuuuuu, jadinya semangat, yuk?! Nggak harus profesional untuk menari di mana saja, karena jadi amatiran saja nggak ada yang tahu kalau ada yang salah dalam pertunjukan tarinya. 

Rasanya selangit kalau ada penonton, orang asing yang begitu bahagia melihat tarian dan penampilan kita lalu menghampiri dan menyanjung. Sumpahhhhhh, dadanya sampai mau meledak meski nggak pake helium, euy.

Keluarga merak (dok.Gana)
Keluarga merak (dok.Gana)
Di belakang panggung, nungguuuu (dok.Dr.Noni)
Di belakang panggung, nungguuuu (dok.Dr.Noni)
Ndlosor di jogan nunggu panggilan. (dok.Gana)
Ndlosor di jogan nunggu panggilan. (dok.Gana)

Mengajari anak-anak menari

Itulah ... mulai anak-anak bisa jalan, saya suka menari di depan mereka. Ketika sudah mulai TK, saya ajak mereka pentas. Mulai dari kelas kampung sampai kota.

Mungkin gerakan mereka masih kaku, bisa saja ada gerakan yang lupa. Yang penting, mereka sudah belajar mengenal kebudayaan dari tanah leluhurnya. Kalau nggak saya, siapa lagi? 

Sudah ada empat tarian yang saya ajarkan; tari kelinci, tari yapong, tari Bondan dan tari merak. Suatu hari pengen menularkan tari Barongsay, tari jaranan dan tari reog. Hahaha ... pasti seru, horegggseperti gempa.

Nah, setelah sekian lama belajar bersama dan pentas keliling (Semarang, Freiburg, Konstanz, Friedrichshafen, Koeln), kami punya pengalaman menarik di Freiburg pada Jumat, 20 Juli 2018 yang lalu.

Selama seminggu sekali dalam sebulan sebelum hari H, kami latihan lagi, mengingat pelajaran tari merak. Seminggu sebelumnya, anak-anak sudah gelisah menanti. 

"Malam Indonesianya kapan, sih?"

Bukan, bukan karena bangga mau nari tapi karena mereka tahu akan didandani dari kepala sampai kaki. Utamanya, bulu mata palsu dan kuku tangan palsu. Halahhhh .... kemayuuuu. Mereka memang hanya boleh dandan kalau pentas tapi hari biasa nggak boleh karena komestik nggak bagus buat kulit anak-anak di bawah umur.  Begitu ada kesempatan, udah nggak sabaraaaaan.

Trio merak (dok.Gana)
Trio merak (dok.Gana)
Gerakan tangan ukel (dok.Gana)
Gerakan tangan ukel (dok.Gana)

Gerakan kaki bikin gelang kerincing berbunyi (dok.Gana)
Gerakan kaki bikin gelang kerincing berbunyi (dok.Gana)

Terbang bebas tanpa hujan plastik (dok.Gana)
Terbang bebas tanpa hujan plastik (dok.Gana)
Tari merak dari Jawa

Mengapa tari Merak yang saya pilih untuk ditampilkan? Pertama karena anak-anak pasti suka dengan bajunya yang wow, hijau kelap-kelip. Kedua, penonton akan tertarik melihat bajunya (dari mahkota sampai gelang kaki kerincing) lalu tarinya dan gerakannya yang menirukan binatang. Ketiga, kebetulan acara malam Indonesia kali itu adalah untuk mendukung program Hilfe fuer Sumba", sebuah pulau di Indonesia dan "Making ocean plastic free" yang getol menggemborkan pelestarian lingkungan dengan tidak menggunakan tas belanja dari bahan plastik. Kalau burung punya habitat alam yang mendukung tanpa polusi pasti mereka bisa lestari dan bebas ke mana saja. Terbaaaaang.

Jenis tari merak sendiri ada banyak. Yang dari Sunda ada. Kebetulan, saya dari kecilnya belajar yang gaya Jawa dan sesuai baju yang dibelikan ibu di Semarang, 3 set. 

Meskipun kami bertiga berjenis kelamin wanita, tetapi gerakan tari merak menirukan merak jantan. Tahu kann, untuk menarik perhatian merak betina, merak jantan akan membuka bulu-bulunya sampai setengah lingkaran. Byakkkk! Wowww, indah!!! Kalau mata kita saja merasa dimanjakan dengan pemandangan merak jantan merak ati, bagaimana dengan merak betina, pasti mau dong buat uhuy. 

Biru, hijau, emas, hitam ... itulah dominasi warna asli bulu-bulu merak jantan. Cuantikkk.

Kata suami saya,"Dalam dunia kebun binatang, laki-laki selalu cantik. Lihatlah bebek atau merak. Mana yang cantik? Yang jantan, kann?"

"Kalau dunia manusia nyata, bisa jadi berbeda kan, pak?" Sindir saya sambil mau ambil sandal buat mbalang.

Suami pun memandangi wajah saya, "Nggak, nggak bu, kita sama-sama cantik, nggak ada yang jelek."

Ya sudah, nggak jadi ngeplak. Ah, itu yang saya suka dari suami saya, meskipun saya jelek, bau belum mandi, belum sikat gigi atau baru bangun tidur, hitam dan pendek pun ia akan menyanjung miliknya. "Kamu cantik, bu." Nggak pernah bilang saya mukanya jelek. Hahahaha .... mungkin takut disikat atau dibalang sandal.

Pikiran saya segera melayang-layang. Iya, ya. Sepertinya, begitulah kenyataan yang akan digambarkan oleh pencipta tari merak. Tari kreasi baru yang dibuat oleh Raden Tjeje Soemantri pada tahun 1950-an. Beliau mencoba melukiskan gerakan merak jantan yang menawan lewat gerakan musik Sunda dan tari. Astagagagana, indah, indah sekali tarian tradisional Indonesia ituh.

Tari merak biasa ditampilkan dalam acara kawinan. Hahaha, apakah supaya pengantin pria ingat harus romantis sama pasangannya, jangan asal terkam "haum" pada malam pertama? Pada perkembangannya, tari dengan kostum dominasi warna hijau itu banyak disuguhkan di segala acara dari tujuhbelasan sampai acara internasional. Siapa Kompasianer wanita yang pernah menarikannya? 

Akhirnya, nggak heran kalau kami tampilkan keindahan tari merak di Freiburg, Jerman baru-baru ini. Kalau kami bisa, pasti yang di Indonesia tambah bisa. Ayo, semangat lestarikan tari Indonesia di manapun Anda berada. (G76)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun