Jiahh, punya saya disulap gimana? Dioperasi mah baru cling. Makanya begitu dipermak si mbak, wajah saya nggak berubah. Ajegggg.
Begitu pula anak-anak. Mereka protes "Kok, wajah kita sama saja ya, kayak nggak dimake-up?"
Barangkali karena tipis polesannya. Ingat, Jerman sangat peduli akan kesehatan dan kebersihan. Make up tebal nggak bagus untuk kulit apalagi bagi anak-anak.
Dua staff fotografer mempersilakan kami untuk duduk setelah didandani. Antri, peserta lain juga masih antri di sofa lain.
Yahhhh, kalau tahu mau difoto saya pasti pakai batik kek atau kebaya biar kesannya "wow" dan Indonesia banget. Karena ikut casting dadakan, nggak siap. Ahhh, sayang sekali, peristiwa yang nggak bisa diulang.
Setelah peserta sebelumnya selesai, giliran kami maju. Anak-anak ditanya siapa yang mau duluan. Si bungsu ngacung. Lalu yang gede gantian difoto. Selanjutnya, keduanya barengan.
"Anda mau ikut foto bertiga?" Tanya fotografer yang rambut blondenya dikepang putar kepala seperti orang Yunani kuno.
Sebelumnya, saya tanya anak-anak, apa mau foto sama emaknya. Namanya anak-anak, kalau nggak berkenan, takutnya ngambek lagi. Bujuk lagi. Syukurlah mereka mengangguk. Kami pun foto bertiga. Adu-duuh, bingung juga mau gaya orang nggak pernah lomba foto casting.
Saya ingat waktu SMA pernah dijawil teman SMP, Iwan Ryanto buat jadi model gratisan seorang fotografer muda yang lagi belajar motret. Saya lupa namanya. Yaelahhh, kayak model sabun colek. Untung hanya untuk coba-coba dan koleksi pribadi. Time flies.
Di depan kamera dengan ribuan watt lampu di sanalah, kami diaba-aba suruh ketawa, berdiri seperti barisan tangga dengan tangan satu di pinggang dan lainnya. Kok, ngerasa kayak grup koor.
Tadi anak-anak disuruh berdiri, duduk, mendongak, close-up dan lain-lain. Begitu pula giliran saya casting. Tentu itu dilakukan setelah difoto gaya KTP dengan nomor dada.