Sudah 74 kali suami saya pergi ke Pakistan, mengapa saya belum pernah sekalipun ke sana? Apa saja yang dikerjakan selama bekerja di sana? Bagaimana dengan keselamatannya? Apa yang dia lihat dan rasakan selama tinggal? Bagaimana masyarakat dan budaya yang ada? Saya ingin tahu. Saya ingin ke sana. Begitu ucap saya berkali-kali. Tetapi tentu saja itu tidak mudah karena dulu waktu di Indonesia suka menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan dan saat hidup di Jerman semua harus dikerjakan sendiri "home alone." Sayapun jadi sering nyanyi "Impossible" punya James Arthur.
Tuhan memang Maha Mendengar. Tahun 2018 jadi saat yang tepat karena selain bos besar sendiri yang meminta bahwa saya harus ikut, anak-anak sudah besar dan sudah bisa ditinggal atau dititipkan dalam jangka waktu lama. Biasanya kalau suami pergi ke luar negeri/luar kota/luar rumah, saya jaga rumah. Begitu sebaliknya. Selalu ada yang mengawasi mereka secara pribadi. Yup, akhirnya, saatnya saya terbang bersama suami ke Pakistan.
Nah, sampai hari ini sudah hampir seminggu saya berada di Pakistan. Negara yang penduduknya sudah mencapai 200 jutaan orang itu hampir mirip dengan Indonesia tapi tentu sangat jauuuh berbeda dengan Jerman, tanah kedua saya.
Sebagai negara yang baru merdeka tahun 1947, negaranya memang sedang giat berkembang. Pembangunan di sana-sini adalah sebuah prestasi yang bukan main-main. Hanya saja, perasaan selalu pengen nangis melihat begitu banyak masyarakat yang masih ada di bawah garis kemiskinan, selalu hadir di hati. Sungguh melankolis. Saya bisa apa?
Paspor Hijau susah travel?
Sudah banyak teman-teman (orang asing) di Jerman yang sudah memegang paspor merah Jerman. Suami saya paling sebel karena ketika dibujuk pun saya hanya melengos diam lalu nyengir kuda. Katanya, paling kesel ngajak jalan-jalan istri yang paspornya hijau. Sedikit-sedikit visa, sedikit-sedikit visa. Beli tiket murah dan belinya jauh-jauh hari tapi bisa jantungan karena visanya dibuat kemudian dan nggak tahu keburu atau nggak alias tiketnya bisa jadi gosong.
Begitu pula dengan visa Pakistan. Meski Indonesia sudah membuka pintu lebar untuk Pakistan dan membuat kesepakatan mempermudah hubungan diplomatik kedua negara, suami saya takutnya setengah mati kalau benar visa jadi dalam 3-6 minggu. Lama amaaat. Mau berangkat, nih.
Sekali lagi Tuhan memang Maha Pengasih dan Penyayang karena hanya dalam waktu 10 hari sudah jadi. Tadinya, kedutaan Pakistan di Jerman ditelepon susahnya minta ampun. Semua dokumen dikirim lewat pos, tidak datang sendiri seperti di kebanyakan kedutaan besar di tanah air.
Tiba di imigrasi bandara Pakistan juga ditahan sebentar 30 menit di meja tersendiri karena petugas harus memeriksa lagi dokumen yang kami bawa (invitation letters, paspor, visa). Apalagi sistem pemeriksaan ulang masih manual nggak pakai komputer, dilempar-lempar petugas satu ke satunya lagi. Sampai-sampai petugas harus menuliskan informasi yang dia butuhkan dalam selembar kertas ukuran HVS dan mata kami menyapu ruangan, mencari mesin foto kopi. Sayang tak ada.
Rambut blonde mata biru
Saya adalah wanita kedua yang pernah dibawa suami dari Jerman ke Pakistan. Siapa wanita pertama itu? Bersyukur dia bukan wanita lain atau wanita kedua atau WIL dari suami saya. Bayangkan kalau wanita yang terbang bersama suami orang karena ia dikirim pesan whatsapp "Aku rindu kamu, ayo terbang bersamaku." Ihhh. Coba kalau benar-benar begitu, bisa-bisa ada adegan sebar daun, bukan uang (seperti bu Dendy). Sebabnya, uang saya nggak sebanyak bu Dendy juragan kopi. Ahhhh, peluk pohon.