Dulu waktu masih dan bekerja di Indonesia, berangkat pagi-pulang malam, saya terbiasa memakai sepatu hak tinggi. Ya, higheels, man. Mau ngetril pakai motor, gandulan angkutan umum atau manis-manja diantar jemput mobil sama sopir pribadi dan/atau suami tetap saja PD pakai itu. Baru ganti sepatu kets saat olahraga, berlibur atau memanjat (tapi bukan pinang).
Begitu pindah Jerman, alamaaaaak. Ke mana-mana butuh jalan kaki. Parahnya, alun-alun di beberapa kota di Jerman itu ya, satu paving blok dengan paving blok lainnya berjauhan. Lubangnya selalu merampas hak sepatu. Huh, macam Cinderella yang ketinggalan satu sepatu, padahal jam belum menunjukkan pukul dua belas teng.
Mengapa harus jalan kaki? Contoh, nih, tempat parkir durasi dua jam dan gratis yang dekat dengan pusat kota kami, harus jalan cepat paling tidak 5-10 menit dulu supaya sampai di sana. Yang persis di depan pintu toko/kantor biasanya sudah penuh dan bayar. Yang gratis, terbatas sekali waktunya.
Ditambah, kebiasaan orang Jerman yang lebih suka jalan kaki ketimbang menggunakan transportasi pribadi atau umum, mengajak saya ikut-ikutan. Jalan kaki memang sehat untuk badan sendiri dan ramah lingkungan!
Eh, ada apa seh memang dengan pakai sepatu hak tinggi? Kalau saya bekerja seharian sejak umur 19 tahun dan baru insyaf pakai sepatu wanita yang syantik (saking lancip, sempit, warna dan modelnya yang cantik) pada umur 30 tahun, berarti saya sudah membahayakan kesehatan kaki saya terlalu lama dan terus menerus selama 11 tahun. Kasihan banget kakinya.
Untungnya, sejak tinggal di Jerman, sepatu yang bentuknya lancip hanya saya pakai dalam hitungan jam pada sebuah pesta. Selain capek, kok saya seperti acara midak endog pada perkawinan orang Jawa. Takut jatuh dan jalannya tidak biasa alias satu langkah, tiga goyang. Namanya musim salju, jalan licin ada Eisglatt, lapisan es transparan yang nempel di jalan karena suhu o atau minus, sehingga kadang kaki bisa tergelincir kalau tidak awas. Tidak ada kemungkinan untuk memakai sepatu hak tinggi setiap hari, apalagi berjam-jam lamanya.
Begitulah, kaki memang bagian tubuh yang harus dirawat. Kalau sakit, wah... repot poll! Apalagi di Jerman semua harus mandiri, dilakukan sendiri. Jika tidak ada yang melakukannya, a-a-a amburadul semua.
Mengeluh Ibu Jari Kaki Sakit? Cepat Periksa ke Dokter
Sudah sejak 4 tahun lalu, saya jadi pasien dokter orthopedi. Pertama karena merasa kaki keseleo pada ibu jari dan nyeri rasanya. Kata dokter di kota T, itu biasa, anugerah dari Tuhan dan sepatu tidak serta merta 100% penyebab utamanya. Kemudian, saya disuruh mengecap kaki dan memberi resep untuk membeli Einlage atau alas kaki khusus yang menunjang tulang kaki agar sempurna. Setelah saya serahkan kepada tukang sepatu dan seminggu kemudian jadi. Bahannya dari kulit, harga 26 euro.
Selang 4 tahun, bulan ini, saya merasa keluhannya sudah hilang tapi kenapa kambuh lagi akhir-akhir ini? Bisa jadi karena kebiasaan memakai sepatu perempuan yang lancip masih ada, meski hanya sekali dalam sebulan misalnya. Belum bebas dari sepatu lancip dan hak tinggi.
Lantas? Saya putuskan untuk ganti dokter lantaran ingat betul bahwa di Jerman ada peribahasa der Kunde ist der Knig atau pembeli adalah raja. Puas-tidak puas, mau pilih yang mana, boleh.
Begitu datang, dokter yang ngomongnya cepat seperti kereta ICE itu menyuruh saya melepas kaos kaki dan sepatu lalu disuruh berjalan layaknya di catwalk. Dari gaya berjalan, dokter itu langsung tahu saya punya kesalahan apa pada tulang kaki. Wih, matanya awas sekali. Kalau saya waktu SD, tahu anak laki-laki barusan disunat dari cara berjalan mereka yang mbegagah, dua kaki melebar dan karena pakai sarung.
Pertama, kaki saya dikatakan ceper. Bentuk kaki datar akan menyebabkan masalah pada kesehatan kaki.
Kedua, disarankan untuk tidak memakai sepatu yang sempit tapi longgar dan berbahan kulit atau memang sepatu khusus untuk kesehatan supaya lebih nyaman. Ia menyebut merk produser sepatu tertentu tapi saya lupa. Hahaha, sudah puyeng membayangkan harganya.
Ketiga, kaki saya disebut kena bunion (mild), belum parah betul.
Keempat, diberikan resep untuk memakai Einlage, alas kaki khusus (karena yang lama dikatakan sudah rusak) yang dimasukkan ke dalam sepatu sehari-hari dan korektor jempol kaki.
Menuju lantai atas, saya bertemu petugas. Pria lucu itu me-scan kaki saya. Kalau dengan dokter terdahulu memakai gabus atau busa empuk yang bisa mencetak bentuk kaki empat dimensi, petugas di sana menyuruh saya untuk naik di laci mejanya. Hah? Laci? Iya, scan ada di laci meja bagian paling bawah jadinya harus berdiri di sana. Bentuknya sama seperti mesin scan kalau kita memindai kertas. Begitu proses selesai, scan masuk laci lagi dan gambar kaki tampak di layar komputer dan dicetak dalam kertas.
Menurut Paul Ingraham, mantan massage therapist dari Painscience bahwa sesuai pengalamannya merawat pasien, orang-orang yang membutuhkannya biasanya adalah pemilik kaki ceper, penderita diabetes, arthritis (radang sendi tulang) dan metatar (telapak kaki bengkok).
Apa itu Bunion?
Kata dokter saya, valgus atau hallux valgus disebut juga bunion. Namanya terdengar bagus tapi penampakannya buruk. Itu adalah kondisi ibu jari kaki yang tulang bonggolnya menonjol ke samping sisi luar telapak kaki dan ibu jari miring (nempel ke jari kelingking dan lainnya). Kalau kaki kanan berarti ke arah kanan, kaki kiri ke arah kiri. Seperti ada magnetnya. Serem, ya?
Pada kondisi akut, biasanya tingkat kemiringan ibu jari kaki sangat mengkhawatirkan. Ditambah, bonggol ibu jarinya merah! Huhuhuuuu .... semoga kaki saya tidak sampai begitu dan segera sembuh.
Kata dokter kedua saya, bunion saya disebabkan bentuk kaki datar saya. Yang artinya, ini juga keturunan (gen). Saya lihat, salah satu anggota keluarga saya ada yang mengalami bunion.
Saya sudah periksa ke dokter karena sakit berlanjut.
Selanjutnya memakai bunion corrector (korektor bunion) dan foot orthotics atau Einlage (alas kaki untuk sepatu) secara reguler, demi menstabilkan persendian kaki. Lalu, berusaha tidak pakai sepatu yang depannya sempit atau memakai sepatu yang depannya luas. Maklum, kaki ceper. Jika jari-jari melebar lalu dipaksa untuk bersatu, mengerucut pastilah tersiksa dan sakit. Oh, berjuang keras untuk program "bye-bye, high heels" memang tidak 100% mudah.
Selain itu saya harus bagaimana lagi? Orthopolist (Ortotics prostetic specialist) dalam web-nya, punya tips bagus bagi yang terkena bunion. Selain pakai alas sepatu khusus tadi, ada terapi fisik-olahraga jempol. Menggerakkan jempol ke berbagai arah dalam hitungan 10-15 detik secara bergantian dan teratur. Jika bonggol ibu jari kemerahan, kompress dengan es atau kalau tidak hilang juga, minum obat penghilang rasa nyeri.
Beberapa pasien bunion akut ada yang dioperasi. Ngeri membayangkan operasinya, bea dan penyembuhannya.
***
OK, sekarang sudah selesai menyimak? Silakan periksa ibu jari kaki Anda. Ingat, selain faktor keturunan, kata dokter saya "Meski sebagian besar penderita bunion di dunia ini adalah perempuan, tetap ada laki-laki yang suka pakai sepatu syantik dan menjadi salah satu pasiennya."
Ya, selain sepatu yang ujungnya sempit itu membuat ujung jari terpenjara, sepatu berhak tinggi pun juga membuat tumpuan pada ibu jari dan kawan-kawan. Disarankan tidak dipakai, apalagi untuk jangka waktu lama.
Salam sehat dan bahagia. (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H