Kerokan dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Ini mirip kerokan Gua sha dari China, kerokan Cao Gio Thailand atau Goh Kyol Vietnam. Bedanya, Indonesia memakai alat berupa (mayoritas) koin uang sedangkan negara tetangga lebih memilih alat dari kayu, sendok keramik, lempengan, giok atau obyek lain.
Bagaimana dengan tanggapan barat terhadap tradisi kerokan negara-negara Asia?
Pro-kontra Kerokan di Negeri Barat
Tahun 2001, Jerman sempat heboh karena ada anak Vietnam umur 7 tahun diberitakan mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya. Mengapa? Karena badannya merah-merah seperti habis dihajar. Meski sudah dijelaskan bahwa itu adalah Cao Gio, pihak sekolah dan dokter tentu belum bisa memahaminya waktu itu. Saya masygul, lain ladang lain belalang. Lain yang sakit, lain obatnya.
Adalah Dr. Jan Sperhalke dari Institut kesehatan Universitas Hamburg yang mengadakan penelitian dan menuliskannya dalam jurnal. Dilema antara apakah Cao Gio itu sebagai Kindesmisshandlung (kekerasan pada anak) atau Heilbehandlung (proses penyembuhan), dibahas di sana. Hasilnya? Ia menyarankan supaya tenaga kesehatan profesional sebaiknya berhati-hati dalam memandang fenomena itu dan dalam menjatuhkan diagnosis atau tuduhan. Mengapa? Karena meski terapinya menyebabkan kulit merah tetapi tidak ada alasan untuk menuding itu sebagai kekerasan kepada anak. Apalagi warna kerokan akan hilang dalam 1-2 hari saja.
Dari Eropa, saya ajak Anda ke Amerika. Masih ingat film yang mengangkat gambaran seorang kakek yang dipenjara gara-gara mengerok cucunya yang sakit dan dilaporkan pihak sekolah? Saya lupa judulnya tapi kisah nyata itu sebagai bukti betapa kontra dunia barat terhadap tradisi kerokan masih tinggi. Kerokan masih dianggap sebagai penyiksaan.
Tanggal 5 Mei 2015, Dr. Arya Nielsen menulis teori ilmu Gua sha dalam press release web Pacific College of Oriental Medicine. Sebelumnya, ia dan tim (Beth Israel Medical Center di New york) mengadakan penelitian tentang Gua sha (Gwa shar) dan belakangan, merekomendasikan teknik itu kepada dunia kesehatan barat.
Membaca tulisan beliau, saya terkejut. Rupanya ilmu pengetahuan yang ia dapat dari studi itu berasal dari Dr. Gustav Dobos, yang mengundangnya untuk melakukan penelitian tentang Gua sha di Universitas Duisburg-Essen di Essen, Jerman.
Jerman? Bukankah mayoritas masyarakat Jerman masih tidak setuju dengan tradisi Gua sha China dan kerokan dari Indonesia? Menurut mereka, korelasi antara dikerok dan jadi sehat, belum bisa dibuktikan secara medis. Bukankah itu sadis dan penyiksaan? Bagaimana mungkin terapi tradisional itu bisa menyembuhkan orang? Begitu pertanyaan jamak yang muncul dari negeri tumpangan saya, yang terkenal dengan peralatan kedokteran dan teknik canggihnya itu.
Siapa Dr.Arya? Beliau adalah seorang ahli akupuntur dari USA yang lulus Acupuncture college tahun 1977. Selama lebih dari 35 tahun praktek gua sha, sebenarnya perempuan itu telah membukukannya dalam "Gua Sha: A Traditional Technique for Modern Practice" tahun 1995 dan 2014. Saya yakin, ia membuka wawasan pembaca dan dunia kedokteran orang barat.
Tanggapan dari para pembaca beragam. Stefanie, fans yoga dan gua sha memberi komentar positif "Oh, Lordy do I love Gua Sha!" Sementara Foxthyme menulis " Excellent book, and while I'd love to bring the techniques into practice, I just can't bring myself to discolour the skin of clients with a bruise-like hue. Not good." Meskipun buku Dr. Arya itu bagus tapi gua sha dianggap kurang bagus dan tidak bisa ia terapkan kepada pasiennya.