Kompasiana yang lahir pada tanggal 22 Oktober 2008, baru saja berulang tahun. 9thKompasiana; semoga jaya, semakin menggemaskan dan sukses selalu. Bagi admin perempuan, peluk jauh dari Jerman satu-satu. Yang admin laki-laki, peluklah pohon dan rasakan sensasi alam.
Teman-teman, meski sudah jadi pembaca alias silent reader sejak tahun 2009, saya baru mendaftar jadi anggota pada tanggal 30 April 2011. Maklum anak-anak waktu itu masih balita dan sering membuat rambut saya seperti tersengat listrik. Mengorganisasi waktu tidak semudah kata-kata. Apalagi menguasai diri dari bahaya laten post power syndrom, kehilangan semua yang pernah saya raih di Indonesia dan memulai dari nol di negeri orang.
Pakailah bahasa Indonesia (yang baik dan benar)
Oh, ya, artikel pertama saya tayang tanggal 1 Mei 2011. Sampai hari ini, selain tulisan, sudah banyak kenangan yang saya alami selama berkompasiana. Saya akan bagikan apa saja suka duka selama berinteraksi di Kompasiana itu lain kali.
Kini, saya mau berkisah rasanya jauh dari tanah tumpah darah dan jarang menggunakan bahasa Indonesia melainkan bahasa Jerman dan bahasa Inggris, membuat saya bersikeras untuk selalu rajin menulis di Kompasiana, supaya tidak pernah lupa.
Ya, bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Meski masih banyak yang tidak pakai EYD seperti saya, paling tidak semaksimal mungkin dijauhkan dari bahasa alay. Hahaha, pusing seperti gasing.
Mau Kompasianer yang dari Batak, dari Jawa, dari Flores, dari Makassar, dari Banjarmasin, dari Ambon atau diaspora di seluruh dunia, mereka semua menggunakan bahasa yang sama dan saya mengerti. Indah, indah sekali karena berbeda tetapi tetap satu dan bermanfaat serta menginspirasi tulisan mereka yang terbaca.
Sudah ada 1164 artikel yang saya tulis selama 2011-2017 ini. Lumayan banyak untuk ukuran ibu rumah tangga yang terbiasa dengan (mayoritas) rutinitas dapur, kasur, sumur. Bahkan untuk kebanyakan Kompasianer, itu sudah bagus dan bisa jadi melampaui jumlah tulisan Anda. Bolehlah saya bangga kalau saya ini rajin menulis di antara kesibukan di rumah yang pekerjaannya 24 jam tak pernah usai. Saya akui, masih banyak kesalahan di tulisan-tulisan saya, baik saltik atau isi. Mohon jangan lempar saya pakai sepatu seperti adat bapak yang itu. Jangan pernah jemu menyimak aliran informasi dan kisah tentang Jerman dari kacamata saya.
Eh, apakah tulisan saya itu jadi sampah? Oh, tentu tidak. Tulisan sejak tahun 2011 sampai 2014 saya di Kompasiana, baru saja diterbitkan menjadi "Unbelievable Germany" tahun 2017. Ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya sudah ada kolaborasi buku diaspora "Kami (Tidak) Lupa Indonesia" yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka Yogyakarta pada tahun 2014. Itu kerjasama dengan managemen Kompasiana. Di sana, 4 artikel saya yang ditayangkan di Kompasiana turut serta. Yang belum punya bukunya, silakan ke toko buku. Warna sampulnya oranye dengan gambar burger tempe, sangat menarik!
Kalau tadi saya promo, tulisan saya jadi buku solo lalu ada yang komentar "wow, asyik," sebentar, perjuangannya tidak mudah. Begini ceritanya: