"Mbak, kata bu Andi, kamu bisa nembang ya? Nyumbang nyanyi bisa?"
Sebuah pesan di Whatsapp meluncur dari dik Rachma, mahasiswi Sekolah Tinggi Konstanz di Jerman. Gadis manis yang baru setahun di Jerman itu adalah salah satu dari panitia Interkulturelle Woche, khususnya acara, Interkulturelles Buffet mit Tanz und Musik di Wolkensteinsaal, Konstanz, Jerman tanggal 30 September 2017.
"Hahaha ... iya kali. Tapi mikir dulu nembang apa, ya?"
Campur antara senang dan bingung, saya minta waktu. Mikir dulu tembang apa yang pas untuk dipamerkan pada tamu yang kebanyakan orang Jerman. Akhirnya, ketemu! Saya mau nyanyi lagu Jawa "Maskumambang" saja. Meskipun itu biasa dinyanyikan pria tapi saya ingat ada lagu yang pernah didapat dari guru SD, lucuuuu dan perlu dipamerkan.
Selanjutnya, hari H, saya sudah siap dengan dua tarian dari tiga tarian yang saya tawarkan. Pertama nari jaipong Bajidor Kahot. Tarian itu yang pernah saya ajarkan pada Kompasianer di acara ngoplah buku "I'm happy to be 40" tahun 2015 di mabes Kompasiana. Wkkk ... Kompasianer waktu itu mau nari apa breakdance cobaaaa. Pak Axtea, mbak Tamita, Syifa, mbak Marla, mas Dizzman, dan tak ketinggalan para admin K. Heboh.
Balik ke Konstanz. Tarian kedua merak, saya bawakan barengan sama dua gadis. Satunya belajar 2 bulanan satunya lagi iri, terus ikut sekalian seminggu latihannya. Meski nggak seluwes ibunya (uhukk) paling enggak mereka sudah mau dan bisa belajar tarian yang nggak bakalan mereka dapatkan dari sekolahan Jerman. Siapa tahu, mereka ikut melestarikan budaya Indonesia itu di Jerman, sampai anak cucu.
Maskumambang
Oiii. Habis nari merak, anak-anak sudah ribut. Yang gatal kupingnya karena dari kuping pasangan berbahan kulit, sumuk kegerahan lah, sumpek badannya dibalut kek ... byuhhh ... ya, udah dicopot. Sayanya yang bingung mau ganti baju karena waktunya takut nggak keburu. Jadwal berubah, jam saya dimajukan. Ya, sudah, baju merak masih dipakai. Sekalian buat tampilan nyanyi lagu Jawa, deh. Ketimbang kepontal-pontal, pilih duduk manis menikmati sajian Gesang, musik dari anak-anak mahasiswa yang jadi Iwan Fals dadakan. "...Yang penting aku menang, aku senang. Persetan orang susah karena aku. Sebut tiga kali namaku ... Bento-Bento-Bento. Asyik ..."
Lagu-lagu sudah didendangkan. Grup bubar. Layarpun menayangkan promo Tasini. Ceritanya nanti ya, yang soal itu. Selama sekitar 10 menit berlalu, tayangan usai. MC yang pakai baju batik sarimbit warna kuning kembali ke panggung. Mereka mempersilakan saya untuk nembang. Eaaaaa.
"Mas bedeutet Bruder oder Man," seru saya. Tadi MC yang cowok tanya apa artinya Maskumambang. Dari kata Mas, panggilan untuk kakak (laki-laki) dan kumambang, tergantung pada ibunya atau sedang berkembang menuju masa dewasa.
Maskumambang memiliki formula akhiran per kalimatnya (12i, 6a, 81, 8a). Kali itu yang saya pilih adalah Maskumambang dengan bahasa ngoko keseharian:
Duh duh aduh, untuku kaya digraji (12i)
Lara sewu lara (6a)
Mremen-mremen tekan gusi (8i)
Gelagepan wis meh pejah (8a)
Artinya;
Aduh-aduh gigiku seperti digergaji.
Sakitnya seribu sakit
Menjalar sampai gusi
Rasanya sakit seperti mau mati.
Nah ... jadi nggak benar lagunya Meggy Z ya ... "...lebih baik sakit gigi daripada sakit hati." Sekali sakit gigi, dunia serasa runtuh. Iya, sejak kecil langganan sakit gigi. Ampun, sekarang hati-hati. Biayanya mahal di Jerman dan rasanya mau mati kalau sakit gigi, tuh. Begitu prakata saya di depan para penonton.
Holobis Kontul Baris
Hoppala. Maskumambang kelar. Tepuk tangan dari mereka melegakan. Haha ... sorry, suara saya sungguh nggak mirip sinden sama sekali, lebih ke arah metal nge-rock malah tetapi senang dan berterima kasih bahwa panitia kasih kesempatan dan penonton mendengar kalimat-kalimat asing berbahasa Jawa yang di Jerman nggak ada. Langkaaaa.
Ehem. Iya, sudah. Saya sudah nyanyi. Nyanyi Jawanya tadi nggak ada 5 menit padahal dikasih waktu 10 menit. Kurang seru kalau nggak ngajak tamu interaktif. Nah, makanya dari rumah, saya sudah siapin sebuah kertas besar bertuliskan "Holobis Kontul Baris." Itu potongan dari Reff lagu yang ditulis Ir. Soekarno, presiden pertama RI dan aransemen musik oleh Ki Nartosabdo, dalang Semarang tempat bapak saya pernah nyantrik. Maksud saya biar nanti bisa dibaca hadirin dan mengikuti nyanyian.
Sisa menit saya gunakan untuk nyanyi bareng-bareng. Kalau saya nyanyi "Rambate Roto Hayu", penonton menyambung dengan "Holobis Kontul Baris" yang artinya gemeinsam sind wir starkalias bersatu kita teguh. Kontul, nama burung berwarna putih (burung kuntul). Saya pesan kepada para hadirin untuk tidak salah mengucapkan karena maknanya jadi beda. "Jangan ganti u dengan o," tegas saya.
Gelegar tawa menyambut kalimat yang meluncur dari mulut saya yang bergincu. Tja. Mereka, pastilah beberapa yang tahu maksud saya itu.
Sekarang, selamat menikmati nyanyian Jawa kami. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H