Solo. Kota ini memang punya karakteristik yang unggul. Siapa yang nggak ingat gambaran putri keraton, priyayi yang halus, gandes luwes, ayu dan menarik hati? Sultan dan keratonnya yang masih agung, makanannya yang sedap, tempat wisata yang asyik dan batiknya yang indah ... mengesankan!
Emmmm. Jalan-jalan ke taman Sriwedari sudah, mall pasti-pasti lah, sungai bengawan Solo sudah, pasar Triwindu (barang antik) sudah. Saatnya kami ke kampung Laweyan....
Jalan Satu Arah
Dari Novotel, kami menuju kampung laweyan. Lewatlah kami di Jl. Dr. Radjiman yang satu arah. Hedehhh ... kebablasan masuk gang Kampung Laweyannya. Maklum, gangnya sak upil, nggak kelihatan. Ketimbang nanti suruh bayar lagi, repot ... kami muter lagi. Enak duit tilangnya buat jajan sendiri. Hahaha.
Begitu muter di jalan satu arah itu, kami segera memperlahan kendaraan, supaya nggak kelewatan gangnya yang di titik tadi. Begitu lihat plang butik di jalan besar dari jauh, kami ancang-ancang. Jalan pelan-pelan. Slaman-slumun-slamet! Sampai.
Jalanan di Indonesia sekarang banyak yang satu arah. Alasannya pasti bisa dimengerti, supaya nggak macet. Jalannya jadi lebih lebar untuk kendaraan menuju satu arah bukan dua. Nggak dibagi. Pengguna jalannya yang harus awas.
Gang di Kampung Laweyan mengingatkan saya pada gang senggol di Venezia atau di kota-kota lama seperti Lindau atau Ulm di Jerman atau Schaffhausen di Swiss. Gang sempit yang nggak bisa dilewati mobil. Pakai motor, sepeda atau jalan kaki saja. Romantis, bukan rokok-makangratis.
Begitu masuk kampung, seorang tukang parkir sudah kasih aba-aba supaya kami memarkir di depan gang saja. "Prat-prit ... prat-prit." Dengan sigap si mas membantu suami parkir. Selesai parkir, dia tanya apa kami mau masuk ke kampung Laweyan. "Cari apa, buk? Beli batik bisa, mbatik juga bisa."
Bak guide di Bali, ia mengajak kami menyusuri gang sempit yang dindingnya 2 meteran. Haaaaaa ... serasa di Labyrinth. Untunglah, kami pun sampai di Graha Batik Cempaka, Setono 22. Mereka ini punya workshop, showroom, meeting roomdan outbond batik.
Usai puas melihat-lihat baju batik, kami keluar. Huuuuh. Nyari yang sarimbit nggak ada yang cocok. Cuma beli taplak meja "bokor" (Rp 35.000) sama jarik wiron jadi "Sido Mukti" (Rp 150.000) sajalah buat oleh-oleh. Biar Mukti Palapa.
Sebelum meninggalkan showroom, kami melihat workshop Cempaka. Beberapa pria tampak sigap mencetak batik. Kami perhatikan betul prosesnya. Wah, kalau nggak kebiasa, bisa salah-salah, ya? Nggak lurus kek, mblobor lah ... nggak rata kek atau gimana. Mereka mah cool. Makanya, meski kami berlima ribut, rupanya konsentrasi mereka nggak pecah. Kerja-kerja-kerja.
Dua tahun lalu waktu di Indonesia, saya pernah belajar mbatik di Semarang. Lewat seorang guru asli Yogya yang akhirnya pindah ke Semarang itulah, saya tahu proses awal sampai akhir dari membatik. Untung saya nggak belajar mbatik pertama kali dalam hidup di Jerman. Malu belajar budaya sendiri di negeri orang.
Begitu pulang ke Jerman, saya tularkan pada anak-anak cara membatik sederhana. Karena pakai kompor bisa bahaya, saya ajari anak-anak pakai canting listrik pemberian kakak sulung. Anak-anak senangnya bukan kepalang. Sesuatu yang baru memang menarik.
Kemudian, dalam acara Malam Indonesia bersama Diaspora Baden-Wrttemberg di Konstanz, orang Jerman juga tertarik lho buat praktek juga sama kami. Sayang kompornya nggak boleh nyala dengan alasan keamanan. Hasilnya lilin wax cepat dingin karena harus digotong dari dapur menuju panggung dan seterusnya. Nggak bagus di kain. Penonton hanya dikasih tahu cara pegang canting dan pewarnaan saja.
Nah, pas di Kampung Laweyan itulah, anak-anak ingat. Mereka mau nyoba mbatik lagi. Si pemandu jadi-jadian segera mengantar kami ke tempat mas Taufik. Tokonya yang kecil itu rupanya dijadikan tempat untuk menjual hasil batiknya, workshop blangkon dan workshop batik. Maklum, satu keluarga kakak-adik. Satu bisa mbatik, satu bisa bikin blangkon (topi, tutup kepala adat Jawa).
Tanya harga kursus, cuma Rp 50.000,00 per orang. Kami mengangguk. OK, tiga anak mau belajar mbatik. Siap! Semua seperti bebek baris mengikuti bu Taufik, masuk ke dalam.
Omaigot. Ruang belajarnya sangat sederhana, berlantai tanah! Semua bahan dan alat lengkap. Tersedia kompor gas kecil, beberapa ember, panci-panci dari blek roti, pewarna, cotton but, kuas, gelas plastik bekas air minum mineral dan ember-ember hitam untuk pencucian.
Setelah anak-anak tenggelam dengan menggambar desain awal pakai pensil, kami tinggal jalan-jalan sebentar. Kami ke batik Wedelan di Setono 116. Senangnya nemu trenchcoat batik ukuran S harga Rp 130.000,00. Pernah lihat barang yang mirip di Mall Solo Square atau Progo, sayangnya besar-besar.
Setengah jam kemudian, kami kembali. Mereka sudah siap dengan proses nyanting. Canting ada tiga; untuk garis tipis, pengisi gambar-cecek dan ngeblok. Cara megang canting juga nggak sembarangan karena bisa menetes sampai panas di kulit atau mblobor, melebar nggak rata di kain mori.
Yeeee. Anak bungsu sudah nangis-nangis minta dipeluk, begitu lihat kuda poninya jadi gemuk lantaran garisnya ketebelan dari canting. Raungannya membuat bu Taufik yang gendong balita, prihatin dan menghapusnya dengan pisau panas. Pisau tanpa gerigi yang dibakar di kompor lalu ditempel ke lilin yang nakal. Nantinya, garis bisa dicanting ulang tapi isaknya masih kedengeran. Yaaaahh ... ini mau belajar mbatik atau mau ikut teater, sihhh?
Setelah selesai, cantingannya diperiksa bu Taufiq, supaya nggak ada yang bolong. Semua harus tembus di balik kain. Kalau nggak, si ibu yang lucu itu mengulanginya.
Setelah gambar kering dari cantingan lilin, anak-anak memberi warna tiap gambar. Warna jreng seperti merah, biru, hijau, kuning yang dipilih.
Selang beberapa menit, anak-anak mewarnai background. Ya, dengan warna hitam supaya kontras. Habis itu digelas, direndam di ember dengan cairan pelindung agar warna nggak ilang. Si ibu memakai tongkat untuk memutar-mutar kain. Kain terus dijemur. Anak-anak menunggu sambil makan pisang godog dan krupuk pasir, jamuan yang ada.
Tak lama, tibalah proses terakhir dengan penggodogan di kompor. Karena panas dan bahaya, anak-anak nggak melakukannya sendiri. Bu Taufiq yang sibuk. Kain dijemur lagi. Selesai!
Hasilnya, waaaaah lucu. Anak bungsu yang dari tadi cemberut, bisa senyum. Yak. Hasil bikinan sendiri memang selalu membanggakan daripada dibikinin orang.
Sebelum pulang ke hotel, suami pesan 3 blangkon ukuran 56 tiga biji, Rp 90.000 dan peta Indonesia ukuran 2x1m seharga Rp 800.000,00. Dua minggu jadi. Di Cempaka tadi ada peta sebesar itu tapi harganya 2 juting. Kalau dapat sama bagus dan lebih murah, kenapa harus bayar mahal?
Namanya saja blusukan. Harus punya kaki kuat buat keluar masuk. Belum lagi panas matahari yang menusuk kulit. Ugh. Bagaimanapun Kampung Laweyan ini memang sesuatu. Nggak hanya orang dewasa yang senang, anak-anak juga karena mereka sempat belajar batik hampir dua jam.
Kampung itu memang khusus dibuat pemda untuk sentra industri batik warganya. Konon, ini sudah ada sejak jaman kerajaan Pajang tahun 1500 an. Dari ratusan pengrajin batik yang tinggal dan usaha di sana, baru 3 yang kami datangi. Waktunya nggak cukup. Lain kali lebih lama.
Bagaimana dengan Kompasianer, tertarik untuk ke Kampung Laweyan atau belajar mbatik di sana? Kalau punya anak-anak yang masih kecil, diajak sekalian. Mereka sepantasnya dikenalkan caranya, supaya kalau besar nanti jadi bekal melestarikan budaya sendiri. Siapa tahu bisa pamer ke luar negeri?
Ohhh, saya ingat. Ada orang Hongaria yang pernah jadi mahasiswa darmasiswa di Indonesia dan sempat belajar mbatik. Begitu kembali ke negaranya sono, membuka butik batik di Szentendre. Hebat ya? Kita mungkin nggak harus buka dasaran batik kayak dia tapi setidaknya tahu caranya, pernah belajar.
Semakin ada rasa bangga saat memakai kain batik begitu tahu prosesnya rumit dan lama. Bukan dari harganya yang mahal, bukan saja dari pengakuan UNESCO pada batik Indonesia tahun 2009 tetapi lebih pada kebanggaan diri telah ikut melestarikan dengan merunut proses melalui mata kepala dan tangan sendiri. Kalau orang asing saja tertarik, kita sebagai pemilik budayanya mosok kalah?
Hari batik 2 Oktober telah lewat tapi ingatan tentang Kampung Laweyan, kampungnya batik di Solo, masihlah hangat. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H