Judul di atas bukan kalimat saya. Itu kalimat yang meluncur dari turis Jerman totok yang berkunjung ke pulau panjang pada tanggal 21.8.2017. Hiiihhh. Sebagai orang Indonesia jadi malu sendiri mendengarnya. Pertanyaannya menohokkkk. Tambah ngenes lagi, yang nyeletuk gitu, suami saya. Hataaaah, sakitnya tuh, di sini. Malu.
Kok, bisa suami saya komentar begitu?
Begini. Sejak dulu, suami saya memang paling ngefans sama Jepara, selalu ngajak berlibur ke sana. Selain hanya satu jam-an dari Semarang, pantainya lembut dan putih, resortnya kece dan makanannya oke. Ada kampung ukir, kampung perhiasan monel, kampung kain tenun Troso. Seruuu, wisata unik padu-padan dan nano-nano di kota ibu kita Kartini. Nggak heran, sebulan traveling di tanah air, Jepara jadi daftar wajib. Berangkaaatttt!
Hari pertama dipuasin di pantai sampai matahari terbenam. Duuuh, cantiknyaaaa ngalahin Syahrini.
Lalu, hari kedua pengen jalan-jalan. Saya usul ke pulau Panjang saja karena sepuluh tahun yang lalu teman ada yang ke sana dan bilang bagus. Cari-cari informasi, dapat, booking kapal nelayan dari pelabuhan ke pulau Panjang! Berlima, kami bayar Rp 350.000 (selama apapun, ditunggu). Ditawar Rp 200.000 nggak dikasih. Yah, namanya harga buleee. Sebenarnya bisa menunggu penumpang lain dan hanya bayar Rp 25.000 per orang alias Rp 125.000 berlima tapi sampai kapan nunggunya? Jangan bilang "Kapan-kapan." Itu punya Koes Ploes. Time flies.
Kami naik kapal "Wisata Bahari" dari Pantai Bandengan, nelayan minta uang di bayar di muka sedangkan yang antar, temannya. Tali dilepas, kamipun berlayar sampai pulau. Butuh waktu sekitar 30 menit. Ya amplop, bunyi motornya kenceng banget ngalahin dangdutan di kampung. Ya, udah, agak jauhan deh saya. Saya duduk di tengah, biar nggak mabok. Suami sudah gaya paling depan di moncong kapal. Bahaya bisa jatuh atau ... gosong.
Sampai pulau, sepi. Hanya ada satu kapal "Sapta Pesona" (yang biasanya berlayar dari Pantai Kartini) yang bersandar. Hmm, alamat nggak ada orang? Memasuki gerbang, kami senyam-senyum, ada banyak tanda peringatan untuk nggak buang sampah. Apa iya, dengan begitu pulau bersih bebas sampah? Belum tentu?
Kami lewat. Waduhhhh. Bau busuk mulai menyengat. Ada mayat? Bukaaaan! Itu dari hamparan ikan asin yang dikeringkan dan dijual di sebuah kedai. Stand lainnya tutup. Mlipir, teruskan mengikuti jalan setapak.
Duh, perut saya makin mules dari makan pagi di resort tapi dikuat-kuatin, nggak boleh bocor. Ya. Kaki tetap melangkah. Kamipun ngobrol sambil bercanda, mengingatkan perjalanan di pulau Rinca.
"Srettttt." Bunyi gesekan dedaunan dan sesuatu yang lewat secepat kilat.
"Awas Komodo!" teriak suami saya.
"Whaaaa ...." Mak jenggirat. Anak-anak terperanjat dan melompat. Rupanya yang lewat apa teman-teman? Kadalllll! Hampir mirip Komodo tapi bentuk mini. Hahaha, semua tertawa. Perjalanan lanjooott.
Wow. Lihat! Pohon-pohon besar di sana-sini; Asam Jawa, Dadap, Kapok, Ketapang, Pinus dan lainnya. Begitu pula dengan ... sampah. OMG! Sampah berserakan di mana-mana. Bikin hati saya menciut, malu sama keluarga. Mana keindahan pulau Panjang yang pernah saya dengar? Mannnaaa???
Hiks. Kaki saya berhenti di situs makam Syekh Abu Bakar bin Yahya Ba'Alawy. Dua nisan di sebelah kiri, masjid di tengah dan sebuah padasan air suci (dengan dua gentong dan dua gayung) di seberang kanan. Konon, beliau dulu adalah tokoh penyebar agama Islam dan penemu pulau Panjang. Di pertigaan jalan menuju makam, ada monumen yang sedikit menuliskan tentangnya. Kotak amal tersedia di depannya. Juru kunci makam namanya Mbah H. Ali Kromo. Menarik. Ada yang bilang, banyak turis yang ziarah ke desa Bulu itu. Sayangnya, menurut saya, fasilitas pendukung kurang sekali. Kurang maksimal. Halahhh.
Setelah jeprat-jepret dan meresapi jejak peninggalannya, baru sadar kalau saya sendirian. Tempat itu tidak menarik perhatian suami dan anak-anak. Kepala dan anggota keluarga saya sudah nggak keliatan. Tidak seorangpun. Ihhh, berdoa nggak ketemu orang jahat atau hewan liar.
"Pak, lihat 4 bule lewat nggak?" Tanya saya pada seorang bapak-bapak yang diam di tengah jalan.
"Nggak tahu, mbak, mungkin ke sana." Tangan si bapak menunjuk ke arah garis pantai. Dari jauh, sudah saya dengar suara para gadis yang khas cemengkling dan kenceng. Yuhuu, syukurlah ketemu. Hati riang karena mengira mereka sudah menikmati air. "Gimana, pantainya bagus? Udah renang? Lihat koral atau Nemo nggak?"
"Lihat ikan Aqua sama Bimoli." Celetuk suami sambil bersungut-sungut dan meninggalkan pantai. Lantaran nggak percaya, saya menuju pantai. Ada karang dan mangrove. Hiyyy ... pasti ada ular. Kaki saya segera minggir dan melewati tumpukan sampah di sana-sini. Iya, sampah terutama plastik, mengapung di air dan berserakan di tanah pula. Sediiih.
Ughh. Untungnya, mengelilingi pulau Panjang tetep asyik karena hangat dan nggak jauh (luas 19 hektar). Ya, cuma sampah tadi yang bikin mata sepet dan hati bagai teriris sembilu. Pemandangan yang sungguh tidak sedap. Pulau ini kurang siap didatangi wisawatan. Jangankan turis manca, turis lokal seperti saya jadi ogah. Haha gaya, yaaa.
Hmm. Siapa yang bikin pulau jadi begitu? Penduduk sekitar yang jualan makanan dan minuman? Turis yang menginap di tenda-tenda atau turis yang hanya lewat dan membuang sampah tidak pada tempatnya? Kiriman sampah dari Jepara yang berenang dan nyangkut di pulau? Manajemen sampah di Panjangan khususnya yang kurang hit? Atau apa? Tell me, please.
Huh. Ya, gitu. Lantaran kelihatan jadi pulau Sampah, suami dan anak-anak ogah bermain air padahal dari tadi handuk sudah menggantung di tengkuk mereka.
"Ayo, dong, sini kita snorkeling," ajak saya. Semua geleng kepala sambil meninggalkan saya sendiri. Hawanya males. Banyak sampah. Sudah saya bujuk-bujuk teteeep saja pada nggak mau. Hiks. Ya, sudah, cuma sejam muter jalan-jalan lalu kembali ke resort.
Selamatkan Pulau Panjang
Guemessss. Saya cuma bisa sharing cerita. Nggak punya daya, tangan dan kaki saya pendek. Barusan saya hubungi teman baik, satu LSM di Semarang yang juga concern di jagadnya lingkungan hidup, sang ketua cerita pengalaman serem waktu di Karimunjawa. Sudah repot mendatangkan relawan asing dan lokal, penduduk setempat sendiri kurang mendukung upaya baik seperti pembuangan sampah dan managemennya. Transportasi untuk relawan juga belum memadai sehingga program distop. Sampai ada relawan asing yang nggak tahan dan kabur sewa pesawat. Prihatin.
Barangkali kalau ada yang baca artikel ini, ada yang bisa membantu mewujudkan pulau Panjang yang indah. Mungkin saja, ada tindakan pemda Jepara yang cancut tali wanda segera melakukan sesuatu, mengajak masyarakat setempat dan tentu keterlibatan (lagi-lagi) LSM. Masih ada waktu tapi kalau dibiarkan, pulau Panjang akan rusak dan flora faunanya musnah dimakan sampah plastik. Eh.
Pemda setempat harus menganggap serius tentang ini dan nggak boleh menganggap enteng penanganan/pengelolaan pulau Panjang. Indonesia kaya akan flora dan fauna tapi nggak bisa rawat. Wisatawan asing biasanya paling rewel soal sampah.
Tja. Semoga baliho gede di depan pintu masuk tadi bukan hanya embel-embel. Keseriusan menggarap pulau Panjang sebagai obyek wisata semenarik Karimunjawa dan pulau cantik di tanah air lainnya, sangat dinantikan. Eman-eman. (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H