Ah, sutra. Yang menarik, begini percakapan antara suami saya dan polisi yang pakai motor setelah memperlihatkan STNK.
"Anda melanggar arah dan tidak membawa SIM. Silakan Anda sidang tanggal 8 September di PN Solo." Walahhhh. Tanggal segitu kami sudah meninggalkan Indonesia, Oooom. Repot.
"Kalau ambil SIM di hotel boleh?" Saya nganyang, menawar lagi.
"Nggak usah, nanti malah nggak balik. Atau kami bisa bantu. Sidang di tempat. Biasanya habis 200 ribu, habis perkara. Silakan ke pos di sana. Ikuti saya." Polisi tancap gas. Ngeng.
Seperti sapi dicocok hidung. Kami pun menuju pos di Jalan Slamet Riyadi dekat Denkesyah 04.04.04. Di sana, sudah banyak orang yang salah arah. Termasuk mobil plat H yang diikuti suami saya dan beberapa pengendara mobil sebelumnya. Wihhh. Urusan mereka cepat selesai dan giliran kami masuk.
Polisi muda tadi lapor pada polisi di gardu dan meneruskan tugasnya, membuntuti mobil yang lagi-lagi salah arah. Gardu sepi. Hanya kami berdua dan bapak polisi yang lebih berumur. Saya bersikeras untuk mengambil SIM suami karena hotel tidak jauh dari gardu. Suami saya geleng kepala.
"Kami bantu, biar urusan cepat selesai." Pak polisi pasang muka ramah. Sembari membuka STNK.
"Maksudnya denda? Berapa, Pak?" tanya saya nggak sabar. Kalau sudah urusan duit, telinga saya berdiri.
"Ini...." Si Bapak polisi menunjukkan lembaran kertas nota berwarna jambon. Tertulis Rp 250.000 tapi belum juga saya baca semua kalimat di dalam nota, buku sudah ditutup.
"Kata mas polisi tadi cuma Rp 200.000." Saya protes. Biasa, ibaratnya ibu-ibu yang belanja. Beda Rp 1.000 saja sudah cerewet. Suami saya memang salah dan kudu bayar denda tapi hak saya simpan nota, kan?
"Ah, orapopo," tekan suami saya. Ia sudah nggak jenak di dalam gardu, mau jalan-jalan, takut waktunya habis karena hari makin siang. Di Jerman, kalau nyetir nggak bawa SIM urusannya panjang. Kalau bisa bayar seperti di Indonesia lebih mudah, aku suami saya. Huh!