Sejak masa kanak-kanak, masyarakat Indonesia yang beragam Islam sudah terlatih untuk berpuasa selama sebulan di bulan Ramadan. Meski hanya setahun sekali, bulan ini banyak dinanti-nanti orang. Selain melatih kesabaran dan keimanan, bulan puasa juga melatih orang untuk banyak berbagi dan menabung kebaikan demi meraih pahala Allah untuk bekal di akherat.
Bagaimana dengan pengalaman berpuasa 13 jam Kompasianer tahun ini di NKRI? Masih keren, sehat dan bahagia bukan?
Pasti Kompasianer sudah pernah dengar atau mengalami sendiri bahwa tiap negara memiliki rentang waktu berpuasa yang berbeda satu sama lain karena bumi itu bulat. Nah, jika ada Kompasianer yang belum pernah berpuasa di luar negeri, untuk menambah wawasan, simak gambaran cerita dari lingkaran pertemanan saya berikut ini:
Jerman = 18,5 Jam
"Mbak, sebentar lagi lebaran. Aku nggak puasa, ah. Kerjaanku kasar butuh tenaga kuda. Mana hampir 19 jam lagi. Aku nggak bakalan kuat."
Seorang mahasiswi yang mengikuti program sosial, pertukaran mahasiswi di Jerman, bertandang ke rumah. Ia curhat soal Ramadan yang waktu itu segera datang. Rencananya, ia tidak akan puasa karena beberapa hal.
Saya memaklumi keputusannya. Pertama karena puasa kan kewajiban manusia pada Tuhan, jadi itu tanggung-jawabnya dia. Kedua, puasa di Jerman hampir 19 jam lamanya itu, pasti nggak nyaman dan nggak semudah waktu di Indonesia. Bukan keadaan biasa.
Jerman memang sedang mengalami musim panas ketika masyarakat muslimnya menjalankan bulan puasa tahun 2017. Imsyak dari kira-kira pukul 3.00 sampai Iftar pukul 21.30. Masa yang pendek untuk mengatur kapan buka puasa, sholat, tidur dan sahur. Pengalaman pertama saya memulai berpuasa di negeri orang 11 tahun yang lalu, juga tidak semudah kata-kata. Kalau sudah mengalami sendiri, jadi tahu rasanya.
Nah, musim panas di Jerman dimulai pada bulan Juni-Agustus setiap tahunnya. Selama tiga bulan itu, cuaca tidak selalu cerah tapi bisa juga bersuhu rendah, lain waktu panassss sekali. Jadi, Sommer tak selalu di atas angka 30 derajat C tetapi pernah juga mencapai 39-41! Tantangannya selain lemes, adalah kerongkongan kering. Sama, kan seperti di Indonesia. Beberapa kali bedanya karena di Jerman nggak musim puasa dan kadang, puanjangggg durasi puasanya.
Puasa di negeri sosis yang jatuh pada bulan dingin seperti Winter, Herbst (Fall) atau Spring, akan lebih pendek tapi banyak terasa laparnya. Perut keroncongannya kalau menurut saya sampai 8 Oktaf. Haus tidak seberapa. Tambah miris lagi kalau suhu sudah mencapai minus-minus. Contohnya minus 21 derajat C, yang mampu membuat baterei mobil Skoda keluaran VW dalam garasi, mogok tak bernyawa dan minta diganti baterei baru. Karena kita manusia, meski bisa mogok kayak mesin tetapi punya akal dan hati. Niat!
New Zealand = 11 Jam
Sebaliknya, jika di luar negeri bulan puasa jatuh pada musim Winter akan lebih pendek karena hari cepat gelap kan? Mirip di Indonesia lah, bedanya; saaaangat dingin.
Kalau Jerman lebih panjang dari negeri tanah tumpah darah kita, rupanya New Zealand justru lebih pendek. Batas terakhir makan dan minum serta pantangan lainnya adalah jam 6 pagi. Buka puasanya pada pukul 17.00. Bahkan lebih pendek dari Indonesia.
Seorang teman SD yang kini mengikuti suami bekerja di sana bercerita bahwa puasanya lancar jaya.
"Alhamdulillah, aku gak bolong blas ... adem, enak. Ing Indonesia hot, ngelak." Puasa teman saya 30 hari full! Hawa di NZ adem, lain dengan di tanah air yang bisa kehausan karena panas.
"Mosok rak bolong, emange menopouse? Nggak mens po?" Merasa keheranan karena setiap perempuan biasanya akan bolong seminggu karena datang bulan nggak wajib puasa.
"Hamil."
Saya salto. Lah iya lah, orang kalau hamil ya nggak bakalan datang bulan. Jadi bisa ikut berpuasa jika mampu. Daripada untuk membayar fidyah, kata dia, lebih baik untuk jalan-jalan keliling dunia. Lapar dahaga bisa ditahan, bahkan melatih kesabaran dan keimanan. Menahan piknik? Mana tahaaan. Saya kira, saya setuju dengan opininya. Tetaplah sehat dan bahagia, friend.
Philippina = 15 jam
Lain waktu, entah mengapa, saya ambil HP begitu saja dan mengajak chat seorang Kompasianer yang saya kenal. Ketika menanyakan kemungkinan membuat talkshow di universitasnya selama kunjungan saya ke Indonesia summer nanti, ia mengaku sedang berada di Philipina. Maklum kalau sibuk, belum bisa mikir. Xixixi ... dik, semoga nggak sibuk mikir "Ya, ampun ... kapan buka puasanya?"
Pria yang juga dosen sebuah universitas negeri itu sedang mengikuti sebuah pertemuan dosen se-ASEAN di negara kepulauan yang pernah dipimpin Ferdinand Marcos itu. Karena sedang dalam bulan Ramadan, saya tanya-tanya tentang puasa:
"Hehehehe ... alhamdulillah normal koyok ndek omah." Tulisnya dalam whatsapp.
"Wah iyo, kan meh podoIndonesia." Saya pernah dua kali ke negeri itu. Hawa dan matahari terbit dan tenggelamnya nggak jauh bedanya dengan Indonesia, sesama Asia Tenggara. Puasa akan terasa seperti di kampung halaman sendiri. Bedanya, masyarakatnya mayoritas adalah umat Katholik Roma.
"Latihan sek iki, mbak." Dia pikir, itu adalah masa yang penting untuk melatih diri jika suatu hari nanti akan menuntut ilmu di Jerman di mana Islam menjadi golongan minoritas.
Kanada = 19 jam
Beberapa waktu yang lalu, saya baru saja dipertemukan facebook dengan kakak kelas masa SMP. Setelah mengucapkan selamat lebaran, mohon maaf lahir batin lewat whatsapp, kami membahas soal puasa.
"Alhamdulillah, aku puasa, meskipun panjang banget puasanya. Bedanya 11 jam dengan Indonesia."
Negeri yang punya simbol Mapel, daun mirip telapak tangan itu punya masa puasa cukup panjang. Imsyak jam 01.00 dan berbuka puasa sekitar pukul 20.00. Yang artinya, puasa 19 jam lamanya, seperti di Jerman. Saya bangga tahu kakak kelas nikmat menjalaninya meski lama dan jauh di negeri rantau.
Oh, ya, baru tahu kalau negara tetangga Amerika Serikat itu rupanya memiliki jumlah penduduk beragama Islam mencapai satu jutaan atau 3,2 persen dari jumlah penduduknya. Mengapa? Sepertihalnya Jerman, Kanada memiliki tambahan imigran yang cukup banyak. Bedanya, Kanada lebih unggul karena mengatur konstitusi HAM yang ada pasal tentang kebebasan warga dalam menjalankan perintah agamanya, antara lain pemakaian jilbab di sekolah dan tempat kerja. Di Jerman, dulu pernah heboh soal larangan berjilbab di sekolah menengah dan masalah sejenisnya.
Inggris = 18,5 jam
Minggu lalu, teman baik saya di organisasi, posting di wall FB nya. Aih, senangnya melihat gambaran kehidupan di Inggris. Pengen banget ke sana buat jalan-jalan dan belajar bahasa Inggris. Kapan, yaaaa?
Nah, dalam kolom komentar, banyak yang menanyakan keadaan di sana. Saya, salah satu yang menanyakan tentang info terbaru. Iya, tentang puasa.
Masyarakat Inggris sudah multikulti seperti di Jerman. Nggak heran kalau penduduknya nggak hanya orang asli tapi juga pendatang seperti dari India dan Pakistan. Mereka yang beragama Islam ada yang menjalankan puasa di bulan Ramadan kali ini.
"Piye poso ning Inggris?" pertanyaan saya tentang bagaimana puasa di negeri orang terlempar.
"Aku milih sing pendek wae." Perempuan yang menutup rambutnya sejak kuliah itu mengaku puasa 18,5 jam sangat berat. Untuk itulah, ia menyesuaikan dengan Indonesia, 13 jam saja cukup.
Aktivitasnya dilakukan normal seperti biasa; mengurusi rumah dan keluarga, kerja dan masak untuk sahur dan berbuka.
Belanda=19 jam
Kemarin, saya iseng tanya teman seperusahaan dulu. Sudah beberapa tahun ini, dia pindah ke Den Haag Negeri Belanda. Sayangnya, meski hanya dalam jarak 5 jam perjalanan mobil, kami belum bertemu.
Kemudian obrolan mengalir sampai soal puasa kemarin.
"Alhamdulillah, ada bolong cuma 6 hari je."
"Suwi rak mbak posone?"
Saya tanyakan berapa lama durasinya. Puasa di negeri kincir air itu memulai Imsak pukul 2.55 dan Maghrib 22.08. Sahur memang paling berat dilakukan karena rasa ngantuk yang menerpa seharian berpuasa dan jarak berbuka dan sahur yang pendek. Makanya, daripada nggak tidur dia nggak sahur. Jadi begitu berbuka, maghriban-Isyak lalu bobok. Pernah, sih beberapa kali sahur dengan menu porsi kucingan, malah rasanya tetep mau lairan.
Menurutnya, rasa lapar nggak terasa, cuma rasanya kliyengan kepala mau menggelinding karena serasa kekurangan oksigen sejak jam 20.00 itu lho yang nggak nahan.
***
Jadi musafir. Puasa di luar negeri memang keadaan yang luar biasa. Semoga kita tidak termasuk golongan orang yang suka meremehkan karena akan tahu sendiri rasanya jika sudah menjalani sendiri.
OK, dari pengalaman teman-teman saya tersebut, semoga Kompasianer semakin tambah rasa bersyukurnya selalu diberi kesempatan berpuasa di tanah air Indonesia, termasuk tahun ini. Selain ramai-ramai puasanya nggak sendirian, suasananya istimewa, nggak ada duanya nggak ada matinya. Apalagi lebaran di tanah tumpah darah itu ya ... amboiii hebohnya. Kangen. (G76)
Note:
Menurut Aljazeera, puasa terlama di Greenland= 21 jam disusul Norwegia dan Finlandia=20 jam.
Swedia, Rusia, Jerman dan Denmark = 19 jam.
Polandia, Canada, Kazakhstan, Belgia dan Inggris =18,5 jam.
Swiss dan Perancis = 18 jam.
Romania = 17,5 jam.
Italia = 17 jam.
Spanyol, Yunani, USA, Korut, Turki dan Portugis = 16,5 jam.
Jepang, Iran, Irak, Afghanistan, Maroko, Pakistan, Libanon dan Suriah = 16 jam.
Palestina, Mesir dan Kuwait = 15,5 jam.
India, Oman, Arab, Qatar, UEA, Hongkong dan Bangladesh = 15 jam.
Sudan = 14,5 jam.
Yemen, Etiopia, Sri Lanka, Thailand, dan Myanmar = 14 jam.
Malaysia dan Singapura = 13,5 jam.
Angola, Brasil, Indonesia dan Kenya= 13 jam.
Zimbabwe = 12,5 jam.
Afrika Selatan (Pretoria) = 12 jam.
Selandia Baru, Argentina, Afrika Selatan (Capetown) Australia = 11,5 jam.
Cile = 10 jam.
Lain-lain ... tambahkan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H