Indonesiaaaaaa. Apa yang paling ngangeni dari tanah tumpah darah ini? Lebaran bersama keluarga. Mulai dari jalanan sesak karena semua pada mudik, semua berbondong-bondong menuju rumah orang tua, sholat Ied, berkunjung ke sanak-saudara atau tempat wisata keluarga dan ziarah ke makam leluhur.
Berada di Jerman, apa yang harus saya lakukan? Sebenarnya pengen merayakan bersama teman-teman Indonesia yang dekat dengan rumah. Ah, sayang, pada nggak bisaaaa. Hiks. Acara ditunda.
Hmm... masih ingat pepatah "tetangga adalah saudara yang terdekat"? Itulah sebabnya, saya segera undang tetangga. Karena kebanyakan mereka tidak merayakan lebaran, saya lebih memilih mengundang tetangga jauh, teman-teman pengungsi yang saya kenal tahun ini. Mereka adalah warga Iran, Somalia dan Eritrea. Cocok! Undangan lewat SMS sudah terkirim. Mereka mau dan bisa datang.
Bagaimana rasanya lebaran bersama mereka. Sebuah pengalaman baru penuh ilmu dan seru!
Ketupat, Opor Ayam dan Sambal Goreng
Promosi masakan Indonesia sudah biasa saya lakukan sejak kedatangan ke negeri Bundes Republik Deutschland yang punya 16 negara bagian. Mulai dari mengundang teman Indonesia sampai penduduk asli Jerman. Kesannya selalu menyenangkan.
Dan Minggu, 25 Juli 2017 adalah masa-masa istimewa dan bahagia, menyuguhi teman-teman dengan masakan khas lebaran yang biasa dimasak ibu saya; ketupat, opor ayam dan sambal goreng ati.
Sembari menunggu ketupat masak, saya siapin bahan-bahan opor. Ketumbar, kemiri, merica, bawang merah, bawang putih, garam, serai, dan kunyit ditumbuk. Setelah digongso dengan sedikit minyak, siram dengan sedikit air. Saya tuang perasan kelapa instan dari kaleng. Setelah diaduk, beberapa daun jeruk ikut masuk.
Giliran ayam yang sudah direbus 30 menit, dimasukkan ke panci. Diaduk-aduk, saya biarkan opor sampai 30 menit. Setelah selesai, telur rebus yang sudah dikupas segera saya masukkan. Jadi!
Seterusnya, sambal goreng. Hati ayam sudah digoreng dan dipotong dadu, begitu pula kentang. Bumbu yang kudu disiapin antara lain bawang merah, bawang putih, garam, cabai merah ditumbuk halus. Daun jeruk masuk belakangan, setelah bumbu disiram sedikit air dan air santan. Hati dan kentang goreng masuk ke wajan, diaduk-aduk dan diangkat setelah 20 menit. Horeeee... selesai! OMG, dapur berantakan! Dilap, dipel.... sret-sret-sretttt. Beres! Giliran mandi.
Lima menit kemudian, kami sudah sampai di rumah kami. Melewati kebun belakang, di mana-mana mawar warna-warni menyapa nan wangi adalah sesuatu.
Great. Anak-anak rupanya sudah menyiapkan piring dan alat makan lainnya. Sehingga saya tinggal mindahin panci dan wajan dari kompor ke atas meja. Masih panas!
Teman-teman pengungsi yang hadir bilang, itu pertama kalinya mereka mencicipi masakan Indonesia untuk lebaran. Sayangnya, mereka kurang suka ketupat instan dan ngabisin satu kilo nasi putih dari magic jar. Oalahhh ... nasi putih juga makanan pokok Afrika dan Iran, tho? Kirain roti ajah. Nasi putih, masakan yang netral dan sudah nggak asing lagi di lidah mereka. Pas.
Ya, udah. Alamat ketupat, saya masak sendiri, makan sendiri. Pakai opor ayam telur bisa, pakai gado-gado mantab.
Perayaan tiga hari lebaran di Afrika Selatan misalnya, ada juga tradisi makan bersama keluarga, saling memaafkan dan zakat fitrah. Sama.
Eh, iya, soal makanan lebaran. Kalau dulu di tanah air, kebiasa eneg makan ketupat opor ayam dan telur, di Jerman jadi beda. Masakan saya ludes tak tersisa sampai lebaran hari kedua.
Menyetel Musik Takbiran
Sembari makan, biar asyik... saya menyetel takbiran. Cari di youtube, ketemu yang versi house music. Oh, no! Apa komentar teman-teman pengungsi?
"When you do this in Iran, they will kill you."
"This is haram in Somalia."
....................
Kami pun tertawa. Bukan karena mentertawakan lagu itu tapi baru sadar bahwa saya nggak ngeh dengan cross cultural understanding antara negara Indonesia, Afrika dan Iran, sehingga tidak berhati-hati memutar lagu, apalagi keras-keras. Segera suami saya mengubahnya dengan versi klasik, seperti yang biasa saya dengar dari masjid pada malam takbiran atau pada pagi hari sebelum sholat Ied. Suasana jadi lebih enak.
Percakapan nggak sampai di situ saja, teman-teman pada ngejar, "Itu lagu/musik dari negara mana?" Waduh, ternyata oh ternyata... lagu dari Youtuber Indonesia. Jadi ingat lagu, "Malu aku malu...."
Jikalau Lebaran Datang, Bolehlah Kami Bertemu Lagi
Setelah makan, anak-anak dapat es krim dan bermain di kebun. Yang perempuan bermain pasaran, yang laki-laki bermain sepak bola.
Sementara itu, bapak-bapak dan ibu-ibu ngobrol soal hal-hal ringan tentang antar negara sampai yang lucu-lucu, sambil nyemil makanan khas lebaran seperti nastar bikinan gendhuk ragil, emping mlinjo, kacang, roti blek dan teh melati. Tuh, kan. Senang rasanya mengundang mereka. Nggak sendirian merayakan lebaran, capek-capek masak ada yang makan, banyak ilmu baru dan nyenengin orang. Home sick-pun jadi mendadak ilang.
Yup. Rasanya selangiiiit, begitu tahu para tamu bener-bener seneng diundang. Buktinya, selain wajah ceria, mereka ngomong "Danke" udah berapa kali coba. Nggak pernah ada kata sia-sia karena feedback-nya wow, luar biasa. Belum pernah diundang makan penduduk lokal soalnya, namanya juga pendatang baru, di negeri orang lagi. Nggak mudah, butuh waktu.
Ngobrol ngalor-ngidul, nggak terasa sudah pukul 16.00. Tamu sudah kasih tanda mau pulang. Tamu dari Iran membantu mengusung apa yang ada di meja, ke dapur. Meja sudah bersih, kami pun berangkat. Saya antar sampai ke perkampungan pengungsi di bawah sana. Jumpa lagi, ya! (G76)
PS: Selamat lebaran, maaf lahir batin. Bagaimana dengan lebaran Anda?