Teman-teman pengungsi yang hadir bilang, itu pertama kalinya mereka mencicipi masakan Indonesia untuk lebaran. Sayangnya, mereka kurang suka ketupat instan dan ngabisin satu kilo nasi putih dari magic jar. Oalahhh ... nasi putih juga makanan pokok Afrika dan Iran, tho? Kirain roti ajah. Nasi putih, masakan yang netral dan sudah nggak asing lagi di lidah mereka. Pas.
Ya, udah. Alamat ketupat, saya masak sendiri, makan sendiri. Pakai opor ayam telur bisa, pakai gado-gado mantab.
Perayaan tiga hari lebaran di Afrika Selatan misalnya, ada juga tradisi makan bersama keluarga, saling memaafkan dan zakat fitrah. Sama.
Eh, iya, soal makanan lebaran. Kalau dulu di tanah air, kebiasa eneg makan ketupat opor ayam dan telur, di Jerman jadi beda. Masakan saya ludes tak tersisa sampai lebaran hari kedua.
Menyetel Musik Takbiran
Sembari makan, biar asyik... saya menyetel takbiran. Cari di youtube, ketemu yang versi house music. Oh, no! Apa komentar teman-teman pengungsi?
"When you do this in Iran, they will kill you."
"This is haram in Somalia."
....................
Kami pun tertawa. Bukan karena mentertawakan lagu itu tapi baru sadar bahwa saya nggak ngeh dengan cross cultural understanding antara negara Indonesia, Afrika dan Iran, sehingga tidak berhati-hati memutar lagu, apalagi keras-keras. Segera suami saya mengubahnya dengan versi klasik, seperti yang biasa saya dengar dari masjid pada malam takbiran atau pada pagi hari sebelum sholat Ied. Suasana jadi lebih enak.
Percakapan nggak sampai di situ saja, teman-teman pada ngejar, "Itu lagu/musik dari negara mana?" Waduh, ternyata oh ternyata... lagu dari Youtuber Indonesia. Jadi ingat lagu, "Malu aku malu...."