Kepala saya bergidik beberapa kali. Winter alias musim dingin dengan berhawa minus. Musim yang banyak ditaburi salju itu mampu membuat keinginan orang jadi begitu saja patah. “Klek“. Entah berlindung di dalam selimut, kantor, toko, pabrik, gudang atau rumah, menjadi pilihan orang seperti saya yang selalu rindu matahari. Oh, salaaaaah! Masih banyak orang Jerman yang giat jual-beli di pasar rakyat, kok! Onkel dan suami saya contohnya. Lainnya? Banyak. Saya sudah pernah mendengar pendapat mereka selama bertahun-tahun tinggal di negeri sosis ini.
Oh, suami mau beli sosis, saya ditawari borong lumpia. Kalau disuruh borong lumpia, saya lebih baik membuat sendiri. Selain lebih enak, juga murah dan bahannya selalu tersedia di gudang makanan kami. Pria ganteng saya itu masih juga memaksa. Mengapa harus beli sosis di sana? Katanya dieetttttt? Huuuh!
Ah, ya. Saya tahu.
Pertama, seperti pendapat kebanyakan generasi 60 plus atau mereka yang ada di umur pensiunan, mereka mengaku bahwa mengunjungi pasar rakyat pada hari Jumat sudah jadi tradisi sejak dulu. Bahkan saya yakini sudah ada sejak jaman tengah (Mittelalter), di mana orang-orang jaman itu sudah berduyun-duyun ke Marktplatz alias alun-alun kota.
Jadinya, jaman sekarang, orang seperti minum sup tanpa garam, kalau tidak ke pasar rakyat itu. Bahkan saya ingat sekali, suami saya pernah cerita, dulu sewaktu masih kecil dan tinggal di sekitar alun-alun, ada pancuran bentuk piramida di tengah-tengah, taman bermainnya. Nostalgia. Pergi ke pasar rakyat sekali seminggu, saya bayangkan seperti minum obat. Hari Senin orang bisa agak malas karena trend “I don’t like Monday“, tidak suka hari Senin. Pasar rakyat yang hari Jumat, menurut hemat saya, mengingatkan masyarakat “Hey, sudah hari Jumat, sebentar lagi akhir pekan. Ayo rayakan dengan berkumpul!“. Betul! Dibandingkan dengan orang Indonesia, orang Jerman sangat menikmati liburan. Bahkan dengan berbagai cara, mencari liburan. Selain itu, alasan lainnya, pasar rakyat hari Senin di Tuttlingen, ditiadakan pada bulan Januari-Februari. Pasar Rakyat hari Jumat, tak pernah absen.
Kedua, rasa sosis yang dijual di sana beda. Produk bio. Produk yang semakin ngetrend di Jerman dan semakin dipilih orang karena dikatakan lebih sehat, lebih segar, meski harganya belum tentu murah. Untuk orang yang wawasannya kurang cocok tentang trend “bio“ ini pasti geleng kepala.
Produk pasar rakyat Jerman itu memang kebanyakan hasil lokal dan asli produk rumah tangga, bukan massal pabrikan. Pernah suami saya memegang jabatan sebagai manager produksi sebuah pabrik, tentu ia berlimpah tugas. Akibatnya, tak banyak waktu untuk mendatangi pasar rakyat hari Jumat. Ia ada akal, titip beli sosis pada anak buahnya yang perempuan (ah, makanya dulu gendut!). Akhirnya, kebiasaan titip barang-barang dari pasar rakyat, tak hanya menjadi kebiasaan suami melainkan juga staff dan pekerja lainnya.
Produk rumah tangga di pasar rakyat Jerman itu tak hanya sosis. Ada beragam keju, sayur-mayur, buah-buahan, macam-macam coklat, dekorasi rumah, alat rumah tangga, beraneka bunga dan masih banyak lainnya yang merupakan hasil rumah tangga. Biologis! Bahkan kalau saya pisah menjadi Biologi (barang alami) dan logisch (masuk logika).
Ketiga, di sana, suami saya kadang tanpa rencana bertemu dengan teman, saudara atau kenalan. Pernah beberapa kali saya ikut. Sebuah pemandangan yang indah ketika menikmati mereka bercakap-cakap. Maklum, untuk ukuran saya orang Indonesia, hubungan antar manusia di Jerman sangat jauh berbeda dengan di tanah air. Di Indonesia lebih hangat karena iklimnya tropis. Di Jerman, intensitasnya menurun karena empat musim, di mana salah satunya super dingin yakni musim salju. Pasar rakyat tradisional ini saya kira, mampu menjadi sarana masyarakat Jerman untuk meninggikan intensitas pertemuan orang atau setidaknya, melestarikan silaturahim.
Keempat, pasar digelar di sepanjang jalan Königstraße, jalan Jägerhofstraße, deket Seltenbach dan jalan Rathausstraße. Artinya, untuk mencari sesuatu yang diinginkan harus berjalan kaki agak jauh dari satu ujung ke ujung yang lain. Ingat, orang Jerman paling suka berjalan kaki. Olah raga murah meriah dan menyehatkan ini terlaksana, sembari belanja dan silaturahim tadi. Istilahnya, sambil menyelam minum soda. Sungguh sangat istimewa!
Begini gambaran pasar rakyat idaman Tuttlingen
Pasar Krempyeng di tanah air, mulai Subuh dan bubar bersamaan dengan terbitnya matahari pagi. Sedangkan pasar rakyat Jerman ini dimulai pukul 07.00-13.00. Ke pasar rakyat Tuttlingen harus berangkat pagi-pagi, takut pasar bubar dan barang habis.
Berjalan dari tempat parkir di tepi sungai Donau (Danube) menuju pasar, tangan saya tak lepas menggandeng tangan suami yang kekar. Sungai itu berujung dari Donaueschingen, tak jauh dari Tuttlingen dan mengalir ke 10 negara Jerman, Austria, Slovakia, Hongaria, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Rumania, Moldavia dan Ukraina. Bayangkan, betapa luhur budaya pasar rakyat itu, lestari layaknya aliran sungai Donau. Sungai Donau pernah menyusut airnya tapi tak pernah kering. Benar, seperti gambaran pasar rakyat idaman Tuttlingen itu!
Nah, perbedaan yang kentara antara pasar rakyat Indonesia dan Jerman adalah kebersihannya. Kesan dari pasar rakyat Indonesia masih kotor, becek, tidak teratur dan bau. Berbeda dengan pasar rakyat Jerman yang bersih, sehat, kering, teratur dan tidak bau. Paling bau dari minyak Imbiss, stand makanan siap saji seperti makanan Turki (Kebab) dan makanan Vietnam (Chinese food).
Orang Jerman terkenal tidak membuang sampah sembarangan. Kalau dilakukan studi pasti adalah orang Jerman yang serampangan. Hanya saja, penempatan sampah pada tempatnya (yang plastik ke plastik, yang bio ke bio, yang kertas ke kertas) sudah otomatis dilakukan dalam kehidupan. Begitu pula di pasar rakyat Jerman. Istilahnya, meludah saja, orang tidak berani! Bukankah air ludah itu alami? Tetap saja, tidak dibuang sembarangan!
Belum lagi soal keteraturan. Jajaran stand masing-masing penjual tidak sembarangan. Kerapian akan sangat terlihat dari pasar rakyat Jerman. Tak harus melulu dengan tenda berwarna sama, berwarna beda pun tetap rapi.
Ada lagi soal kesehatan. Ada petugas yang memeriksa barang-barang yang dijual. Apakah sudah kadaluwarsa, apakah tidak memenuhi standar kesehatan masyarakat Jerman dan seterusnya. Pembuangan barangnya juga tidak begitu saja. Ada dendanya! Efek jera bagi penjual yang mau untung sendiri dan mencelakakan pembeli. Sungguh sangat tidak terpuji, makanya harus dihindari.
Pasar Rakyat Jerman mampu bersaing sehat dengan mal
Karena lama tinggal di Jerman, saya pikir, pasar rakyat Jerman patut menjadi contoh sebagai pasar rakyat idaman. Pasar yang memang tidak diselenggarakan setiap hari itu mampu menghipnotis penjual dan pembeli untuk bergairah menjalankan roda ekonomi.
Pasar rakyat Jerman juga mampu menunjukkan kelasnya, mampu bersaing sehat dengan mal. Tak ada istilah “toko swalayan atau mal mematikan pasar rakyat“ atau sebaliknya. Pasar rakyat dan toko swalayan atau mal di Jerman justru berjalan seiring dengan jaman. Bukankah itu bagus?
Saya pernah membaca sebuah skripsi, sebuah hasil studi di pasar Manado tahun 2005. Di sana disebutkan bahwa jika pasar tradisional di sana tidak direvitalisasi akan tergilas jaman dan kalah dengan mal. Saya kurang yakin itu akan terjadi tahun 2017 ini. Meski belum ada studi teranyar, tetap saja saya ingin menyangkal kenyataan bahwa kehadiran mal akan mematikan pasar rakyat.
Sebagai gambarannya, di Semarang. Sekitar tahun 1994, pasar Raya Sri Ratu berdiri berdampingan dengan pasar Peterongan. Banyak orang khawatir, mereka mengatakan “Wah, kalau semua orang belanja ke PRSR, pasar Peterongan akan tutup.“ Bulan Oktober 2016 kemarin, saya pulang. Melihat kenyataan bahwa justru PRSR tutup dan pasar Peterongan masih seperti dulu. Bagaimana?
Nah, makanya jika Jerman mampu menyelenggarakan dan menghidupkan keduanya (pasar rakyat dan swalayan/mal), masyarakat Indonesia yang lebih tradisional, berpopulasi banyak dan berpotensi sebagai pelaku ekonomi juga harus lebih bisa. Ya, kita bisa!
Hari pasar rakyat di Indonesia? Mengapa tidak?
Berangkat dari gambaran pasar rakyat Tuttlingen, yang mirip dengan pasar rakyat di daerah lainnya di Jerman (Hamburg, Bremen, München, Stuttgart), saya menyambut baik ide lahirnya hari pasar rakyat nasional di Indonesia.
Sebelumnya, tentu berharap bahwa selama revitalisasi sekitar 5000 pasar di tanah air seperti proyek pak Jokowi, akan terlihat banyak perubahan yang berarti dan meniru yang baik dari pasar rakyat Jerman yang bersih, teratur, rapi, sehat, kering dan tidak bau. Tak ayal pasar rakyat idaman akan menjadi milik Indonesia. Mengapa tidak? Jika ada solusi dari pengembangan pasar di tanah air, tak perlu mencari kesalahan dari gagasan brilian yang mampu membawa Indonesia dalam kemajuan dan mengingatkannya pada hari H itu.
Hari yang diharapkan mampu menumbuhkan rasa cinta dan bangga masyarakat terhadap keberadaan dan esensi pasar rakyat, jauh dari euforia “swalayan/mal lebih hebat dari pasar rakyat“, merefleksikan eksistensi pasar rakyat sebagai simbol kehidupan dan peradaban masyarakat Indonesia. Hari yang sangat menarik dan bisa diperingati serentak dari Sabang sampai Merauke, dengan festival pasar rakyat di daerah-daerah, lomba pasar rakyat terbaik/terbersih/tersehat, lomba foto candid camera di pasar, sidak pasar oleh pejabat tak hanya pra pemilihan dan sejenisnya.
Hari pasar rakyat nasional akan bisa menghilangkan lupa, sifat manusia yang manusiawi dan mengingatkan keberadaan pasar rakyat dalam kehidupan itu teramat penting.
Dengan melibatkan para pelaku pasar rakyat dari masyarakat, pejabat teras, generasi muda dan pihak yang berkepentingan, beragam kegiatan pada hari pasar rakyat itu saya yakin akan mampu mengundang wisawatan dan gairah para pelaku pasar rakyat sendiri. Siapa tahu, semakin banyak orang yang akan merindukan pasar rakyat seperti orang Jerman.
Yang tradisional, belum tentu jadul. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H