Eh, bagaimana cara berdiri kalau sudah jatuh dengan papan ski?
Tongkat masih menggantung di tangan karena ada tali pengait. Saya arahkan kedua kaki sejajar, salah satu menjadi tumpuan untuk berdiri. Jika jalan turun, saya usahakan ke kanan atau ke kiri bukan ke depan atau ke belakang yang searah dengan jalur luncur, supaya tidak melorot atau meluncur begitu berdiri.
Suami masih nunggu di belakang saya dan memberi instruksi jalan lagi.
“Sendiri, ya?“
“Haaaah, sendiriii ... pijimanaaaa?“ Anak-anak ikut berhenti, dengan posisi kaki dan papan “Pizza“ atau membentuk kerucut di mana kedua ujung papan bertemu di depan. Mereka jaga-jaga di sebelah kiri, di mana jurang menunggu. Maksudnya kalau saya melorot ke sana, ada yang jagain. Mereka tahu, mamanya belum bisa dan takutnya setengah mati. Sampai kaki bergetar. Ya ampuuuun.
Segera saya coba lagi, kali ini meluncur tidak dengan posisi papan dan kaki sejajar tapi Pizza. Artinya, ada rem pakem yang saya "pasang" di kaki, atas dorongan energi dari atas meluncur ke bawah.
Pukul 14.00.
Pantat rasanya kram, kaki rasanya mau meletus, jantung dag dig dug der. Saya memutuskan untuk berhenti. Mau nafas dulu. Pilih meluncur di tempat belajar anak-anak di depan pintu pemberangkatan lift. Sayang, untuk naik ke atas, nggak ada lift ... jadinya harus melepas papan dan menggotongnya ke atas. Dipasang lagi, luncur lagi dan seterusnya. Capeekkkk, deh.
Pukul 15.00.
Memandang ke atas. Gunung di sana masih tinggi, putih dan terkesan angkuh. Huh! Saya memutuskan untuk mencoba “menaklukkan“ lagi. Sudah ada feeling lumayan antara saya, sepatu, papan dan tongkat. Sudah bisa seimbang.
“Lagi, buk?“