Anak ragil kami yang bersekolah di SD Katholik setempat memang rajin ikut ekstra koor. Meski kalau saya intip, nyanyi dengan group suka klemak-klemek pelan banget, di rumah nyanyinya kencaaaang. Idih. Beraninya di rumah.
Nah, sebelum liburan natal sudah dikasih edaran sekolah, apakah mau ikut Sternsinger atau tidak. Anaknya mau, ya formulir ditandatangani dan dikumpulkan. Eeee ... waktu mau Anprobe, mencoba kostum yang harus dipakai Sternsinger di balai gereja setempat sebelah gereja, lupa!
Usai pulang liburan ski, kami menelpon Herr Martin. Beliau yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan tradisi yang sudah turun temurun ada di kampung kami yang indah ini. Indah? Iya, dikelilingi hutan dan gunung, hewan-hewan dan tentu ... masyarakat yang masih sosialis.
Dalam sambungan telepon, istri beliau mengatakan, si bapak sedang pergi tapi kalau anak mau datang pada hari H, tetap boleh, asal lebih awal untuk coba kostum.
Hari tiga raja memang 6 Januari tetapi tradisi keliling tiga raja dimulai dari 3 Januari, ditutup ibadah masyarakat di gereja pada 6 Januari). Tepat pada tanggal 3 Januari, saya antar anak untuk ke sana. Didandani sama seorang nenek-nenek. Tadinya ia agak takut, jadinya saya tunggui. Nah, syukurlah lama-lama mencair, apalagi ada tetangga dan teman-teman yang ia kenal.
Mula-mula pakaian lengkap (baju dalam untuk main ski, hem, pullover dan jaket) yang dikenakan anak, ditutupi dengan kain putih, lalu dipasangi mantel indah berwarna keemasan (belakangnya diberi bintang berwarna scotch lite demi keamanan dalam perjalanan), berbordir bunga dan hewan. Topi kuncung dari wol yang dipakai, ditutupi kain panjang warna ungu, kemudian dipasangi topi warna hitam. Oiiii. Mirip orang Arab!
Tangannya yang dipasangi sarung tangan tebal, memegang buku kecil berisi teks lagu. Kali saja lupa, bisa mengintip.
Dengan sepatu musim dingin yang tahan salju, 3 kaos kaki dan 1 stocking tebal, kaki anak saya empat jam selama dua hari (tanggal 3 dan 4) keliling kampung. Kaki-kaki kecilnya yang suka rewel diajak hiking atau tour kota-kota itu, mendadak jadi kuat dan ringan!
“Aku mau berbuat baik, mengumpulkan uang untuk anak-anak di Kenya!“ Pesannya pada sang kakak yang waktu itu sedang pilek berat. Barangkali itu yang membuat kemalasan berjalannya sirna. Semangat kebersamaan dan berbagi.
“Hati-hati, ya.“ Melepas sang bungsu dengan lambaian tangan dan jepretan kamera HP. Saya tancap gas, cabut dari balai.
Angin berhembus menusuk kulit. Serpihan salju beterbangan menampar muka. Hari memang sangat dingin. Salju berserakan di mana-mana. Pintu demi pintu dibuka pemiliknya, mempersilakan Sternsinger untuk bernyanyi dan salah satu memberi berkah pintu dengan menuliskan C+M+B+17 – Caspar, Melchior, Bhaltasar dan tahun 2017. Nama tiga raja yang diceritakan, menengok Yesus waktu lahir. Sternsinger mendoakan rumah dan pemiliknya dilindungi Allah.
Sternsinger baru saya kenal di Jerman. Sebelumnya, sewaktu di tanah air, itu tak pernah saya dengar atau lihat sendiri.
Saya memandangnya tidak semata kegiatan agama atau gereja yang tentu berbeda dengan agama yang saya anut atau masjid tempat saya biasa ibadah. Satu lagi, tradisi yang ditanamkan generasi tua kepada anak-anak sejak dini itu bagus! Ada pesan terselip “....bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.“ Sembari mengumpulkan uang sumbangan dari masyarakat di antara jarak jauh dan hawa dingin, banyak gula-gula dan coklat akan diberi. Akhirnya, tiap anak yang ikut akan dapat jatah banyak coklat. Coklat bikin Hormon happy.
Sungguh, sangat hormat dan kagum waktu asisten pastor melepas grup Sternsinger dengan pidato pendek dan menyebut tujuan Sternsinger itu adalah untuk membantu anak-anak di Kenya. Ribuan mulia. Contohnya tahun 2011, dana terkumpul 5.000 an euro. Lumayan banyak untuk membantu anak-anak kurang beruntung di belahan dunia yang lain, melalui kegiatan positif tadi. Bahkan ada anak-anak asal Turki yang ikut. Waktu saya tanya, tetap ada tanggapan positif dari orang tuanya.
Menurut saya, mayoritas anak-anak Jerman sangat berkecukupan. Entah dicukupi oleh negara dan atau orang tua. Bahkan kalau saya pikir lagi, berlebihan supportjasmani rohaninya dibandingkan dengan di tanah air. Ya, kegiatan ini memiliki hikmah yang baik untuk semua.
Sungguh beruntung punya kesempatan menikmati tradisi yang unik di Jerman bagian selatan itu tahun demi tahun. Menarik!
Sekarang, adakah tradisi yang mirip di tempat Kompasianer?
Selamat tahun baru, harapan dan lembaran baru.
Tetap semangat di Kompasiana, ya. Jangan pernah hilang. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H