Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hebatnya Kompasianer, dari Fantasi Dumay Sampai ke Indahnya Dunya

14 November 2016   17:35 Diperbarui: 21 November 2016   01:34 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Kompasianer Lukman (dok.pribadi)

Indonesia. Wow. Negeri ini adalah tujuan yang paling sering saya impikan! Keliling luar negeri memang asyik tapi pulang kampung selalu menjadi hal yang menakjubkan dan menyenangkan. Sumpah!

Tak terasa sudah seminggu pulang ke Jerman. Heraaan, dua minggu di Indonesia dengan jadwal padat merayap, tidak sakit. Kok, bisa? Alhamdulillah yaaaa, kalau hati senang dan pikiran tenang, semua bakteri, virus, kuman bablasssss. Banyak acara, banyak teman, banyak makanan, banyak cerita.

Bayangkan saja. Dalam 17 hari (2 hari di antaranya habis dalam perjalanan pesawat lintas kontinen), ada satu wedding party, 5 kali talkshows, 2 kali workshops, satu parade melukis, dua hari menyelenggarakan pameran foto, tiga kali ikut siaran radio dan kunjungan keluarga. Uhukk. Karena ganti-ganti kota, mulai dari Jakarta, Semarang, Yogya, Surabaya dan Jepara, pastinya badan pontang-panting ke sana-ke mari. Otot kawat, deh. Memburu waktu yang tak panjang.

Tanda Jasa Pertama

Adalah Yunan Fathur Rahman. Dosen bahasa Jerman di UNESA, Universitas Negeri Surabaya itu sudah saya kenal sejak 2011 di Kompasiana. Aha! Bukan 2013.

Dalam akunnya, ia memiliki profil “Seorang laki-laki yang beruntung. Beruntung karena kenal kamu, dia dan juga mereka.“

Artikelnya tidak banyak hanya 13 dengan 1 jadi highlight. Berharap dia menulis lebih rajin lagi setelah bertemu di Surabaya tempo hari. Jangan ngajar, cari duit teruuus.

Eh. Bertemu di Surabaya? Iya. Saya datang ke Surabaya karenanya. Awalnya, ia selalu mengikuti tulisan-tulisan saya yang mayoritas berisi tentang Jerman, negeri tumpangan yang beberapa bulan lagi masuk tahun ke sebelas. Bahkan tidak hanya itu, ia mengajak mahasiswanya untuk ikut membaca artikel saya. Rujukan mahasiswa yang belajar bahasa Jerman, untuk menambah pengetahuan tentang realita kehidupan di Jerman.

Hmm. Tahun 2016 memang tidak ada rencana ke Indonesia. Tiba-tiba karena diundang nikahan di Jakarta oleh seorang Kompasianer, saya berniat untuk mengunjungi UNESA. Saya hubungi dik Yunan. Menanyakan apakah boleh saya membedah buku “Exploring Germany“ di kampus mereka. Bukankah ini menarik untuk mahasiswa yang belajar bahasa Jerman?

Jawabannya ... “IYA“. Setelah dihubungkan dengan pak Suwarno (selaku kajur), yang pernah blusukan di Papua, dik Yunan mengatur semuanya. Luar biasa. Gerak cepat sekali. Mulai dari menghimpun mahasiswa mengatur acara, mencari peserta, menyiapkan powerpoint membedah buku saya dan masih banyak lagi.

Yup, satu hari sebelum hari H, saya datang ke Surabaya. Pesawat menerbangkan saya ke sana, beberapa jam setelah saya mengisi workshop menulis dan membedah buku saya “Exploring Germany“ bersama 50 orang pustakawan dan mahasiswa di Perpustakaan Daerah Jawa Tengah di Jl. Sriwijaya No. 29 Semarang, dekat Ngesti Pendhowo.

Pada tanggal 27 Oktober 2016, saya sudah dijemput dik Yunan di rumah sepupu, mbak Rinong di Sidoarjo. Karena takut macet, ia datang lebih awal. Berangkat Shubuh! Sosok maya dik Yunan begitu nyata. Ia ramah dan hangat, tanpa pura-pura. Tepatlah saya panggil dik, ia lebih muda dari saya. Duh, serasa tuaaa.

Percakapan sederhana mengantar perjalanan kami ke Surabaya. Menuju kampus UNESA di Lidah Wetan. Di sana, saya dipertemukan dengan kepala prodi bahasa yang pernah 4 tahun di Jerman. Si bapak memang mirip orang Jepang! Senang bercakap-cakap dengan beliau. Maju dan disiplin.

Tak berapa lama, tak sabar untuk memilih menemui mahasiswa yang sudah memenuhi gedung pertemuan. Duaratus lima puluh mahasiswa telah hadir. Banyak bangettt. Betul kata dik Yunan, ia mengerahkan semua mahasiswa yang ada tanpa syarat! Ingat sekali, saya sempat merinding melihat kursi-kursi yang tertata rapi pada tampilan gambar di Whatsapp, satu hari sebelum hari H.

Dari jam 9.30 sampai 12.00 acara mengalir. Mulai dari pidato sambutan, bedah buku yang dibawakan dik Yunan sampai acara kuis yang rebutan menjawab pertanyaan berhadiah seru. Misalnya, “Ada berapa negara bagian di Jerman?“, “Berapa nomor sepatu saya?“ atau “Sebutkan 5 tempat wisata andalan di Berlin“.

Sungguh saya berterima kasih kepada Kompasiana yang telah mempertemukan makhluk sebaik dan sehebat dik Yunan. Dia mengorbankan “jiwa raga“ untuk membuat kedatangan saya ke Surabaya tidak sia-sia! Menyelenggarakan mega workshop di UNESA dan Wisma Jerman. Allah akan membalas dengan pahala setimpal, dik. Saya tunggu kamu di Jerman, menjamu dengan persahabatan yang indah.

Bersama Kompasianer Lukman (dok.pribadi)
Bersama Kompasianer Lukman (dok.pribadi)
Tanda Jasa Kedua

Namanya Lukman Halim. Dari kompasianer yang suka menyembunyikan wajahnya kalau selfie, bernama Buyut Trader, saya kenal dik Lukman itu. Dik Lukman kerja di radio Prima di Surabaya.

Maksud mas Sam, barangkali saya mau siaran berbagi tentang penulisan buku. Tentu saja saya iyakan. Setelah berhari-hari berkomunikasi dengan dik Lukman lewat WA dan FB, tim radio Prima memberikan lampu hijau. Alhamdulillah! Juntrungannya, siaran satu jam di “Kantor Pak Jon“ mulai pukul 11.00-12.00.

Naik taksi dari rumah sepupu menuju Surabaya. Bayar Rp 150.000,00 yang Rp 20.000 untuk tip. Sudah murah! Sayangnya, masih pagi, saya kudu nunggu di lobi. Huh. Dik Lukman belum datang. Sembari menunggu dia dan acara dimulai, main internetan mumpung ada wifii. Oi, indahnya dunia dengan internet. Menunggu tak lagi jadi pekerjaan yang menjemukan.

Tak terasa datanglah dik Lukman. Sosok yang baru pertama kali saya tatap wajahnya itu sungguh ramah. Tidak ada kecanggungan di antara kami. Sayang, dia segera ada tugas keluar jadinya saya sendiri lagi.

Berikutnya siaran. Seru. Seru sekali karena di dalam studio sudah ada 4 orang. Dua orang penyiar, satu bagian komputer dan satunya, magang. Tambah saya, kami berlima. Full house.

Kedua penyiar radio Prima itu suaranya empuk tapi tidak bisa dimakan. Sebagai mantan penyiar, kaget, suara saya masih lebih gede dari orangnya. Haha. Sebentar, rasanya senang sekali bisa pegang microphone meski beratnya minta ampun karena standarnya buat berdiri nggak ada. Kata mbak penyiar, dianggap barbel sajalah. Idih, fitnes kali.

Sehubungan dengan hari Sumpah Pemuda, hari itu, 28 Oktober 2016, penyiar mengajak kami berbincang sedikit tentangnya. Pertanyaan monitor lucu-lucu; bagaimana cara mendapatkan pria Jerman, yang saya jawab harus bisa memahami dulu karakter orang Jerman dan paling penting harus bisa bahasa Jerman.

Ada juga pertanyaan; kamu mau jadi pemimpin atau pemudi? Saya pilih jadi ibuk-ibuk karena itu status dan tugas saya. Jadi pemudi sudah waktu jaman muda, pemimpin juga sudah pas jamannya LSM jadi koordinator. Tiga pertanyaan terbaik dari yang masuk mendapatkan buku dari saya. Semoga bermanfaat.

Usai siaran, semua bubar. Ada yang jumatan, ada yang istirahat dan makan. Saya masih setia menunggu dik Lukman, yang katanya cuma sebentar tapi sampai sejaman baru nongol. Kabarnya, si komo lewat. Haaa ... Saking lamanya, saya kagetin saja waktu dik Lukman buka pintu. Kapok. Haha.

Pamitan pulang dan mengucapkan terima kasih, saya diantar dik Lukman sampai dekat tongkrongan taksi. Wihh sudah lama tidak bonceng motor, silirrr. Wus-wusss. Pintu taksi dibuka, kamipun berpisah. Werrr... jumpa lagi tahun depan?

Konek; mbak Avy, mbak Indri, Sam, Yunan dan Agung (dok.repro Canon Gana)
Konek; mbak Avy, mbak Indri, Sam, Yunan dan Agung (dok.repro Canon Gana)
***

Teruntuk Kompasianer Yunan dan Lukman Halim (tak ketinggalan Buyut Trader), tulisan ini sebagai tanda jasa dan kebaikan kalian. Telah memberikan jalan agar saya bisa berbagi ilmu dan pengetahuan lewat workshop dan siaran radio itu sesuatu. Istilahnya tanpa kalian, nggak bakalan Gana Stegmann serasa artis dadakan. Sungguh luar biasa pula pertemanan di dunia maya (Dumay) tanpa pamrih yang akhirnya membumi, kopi darat juga di dunia nyata (Dunya). Semoga banyak kebaikan dan keberuntungan yang akan mengikuti kalian, amien. Ya Allah, kabulkanlah, saya beruntung dikelilingi orang-orang yang baik.

Nah, sekarang, bersamaan dengan peringatan 8 tahun Kompasiana, saya ingatkan diri ini lagi, tentang niatan awal bergabung dengan Kompasiana untuk tamba ati dan bersosialisasi. Yang sempat gemes nggak menang blog competition, yang pernah kesal nggak HL, yang sebal jungkir balik gagal posting dan entah apa lagi perasaan-perasaan manusiawi Kompasianer yang biasa terjadi di Kompasiana selama ini. Tujuan utama sebenarnya sudah tercapai, semoga tetap lestari.

Sekali lagi selamat ulang tahun, Kompasiana. Semoga semakin banyak anggotanya, semakin aktif Kompasianernya dalam membangun literasi dan persahabatan sedunia. Toss!(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun