"Mas, kamu Di mana? Gana Sudah sampai hotel Poeri Devata" Keluar dari taksi yang dibandrol 120 ribu dari Terminal Jombor, HP Segera dipencet.
Tak berapa lama, Mas Mommi nongol. Ia membawa saya ke kamar nomor 14.
"Nahhh... udah sampaiii." Sambutan hangat mami Kartika dan mbak Lulu, menggelegar.
Mereka memang menginap di sana dalam rangka 25 Tahun Prambanan; menulis dengan sang maestro.
Prambanan? OMG! Seumur-umur baru melihatnya. Idih, kalah sama bule dan pakle. Saya memang kurang piknik di Tanah air. Hufff.
***
Selasa, 25 Oktober. Pagi-pagi mami sudah bangun. Haha kalau mau melukis, mami memang senewen. Nggak bisa jenak. Sudah bangun jam 5 pagi!
Shubuhan, mandi lalu kami berdandan.
"Yaaaa didandani mami yaaa" Mas Didit anak ragil mami yang tanpa rambut itu berseloroh. Hooh. Tadinya mau pakai kebaya pink sama celana panjang hitam, sih. Eeee... Sama mami dikasih kain lukisan burung blekok. Yuhuuuuu... rejeki anak manis.
"Atasannya nggak punya, miiii" Sedih, ngga match bawaannya.
"Udah pakai punya mami aja" perempuan kuat itu mengulurkan hem warna kuning emas. Ah, pas! Mami memang paling bisa!
"Ndang balekno" cepat-cepat mbak Lulu, anak mami yang pinter masak itu meledek.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 7.30. Nggak sempat sarapan, kami harus segera menuju Prambanan.
Di sana sudah berdiri tenda biru yang beda kayak punyaknya Dessy Ratnasari. Ah...Kursi belum juga penuh, kami menunggu. Sembari duduk, pemandangan komplek candi sungguh indah mempesona mata. Untung saya bukan Roro Jonggrang! Serem, deh. Nggak mau jadi patung.
MC segera memulai acara. Mulai dari pidato sampai tarian! Pidato direktur Taman wisata Prambanan, Pak Riki begitu berapi-api. Komplek candi yang dikatakannya paling lengkap sedunia; shiwa, Wisnu dan satunya apa ya... tentunya jadi luar biasa. Peringatan tahun ke 25 Prambanan ditetapkan sebagai world heritage itu memiliki acara utama "melukis dengan mami."
Para cowok berkamera mulai merangsekk ke depan lantaran tarian Pujiastuti yang melambangkan wanita cantik, pesolek pula lagi lewat. Tahu saja kalau ada yang cakep.
Disusul tari Towong yang menggambarkan boneka jenaka nan ekspresif dan terakhir Rama Shinta. Ihhh jadi romantis. Sayang si Mas Bagus ngga ada. Mana jauuhhh. Mengamati gerakan, beningnya wajah dan busana yang dikenakan, tak ubahnya sebuah tamasya ke sebuah taman firdaus.
Tarian terakhir itu menandakan upacara pembukaan selesai. Tamu bubar dan pelukis menyebar. Mereka mencari angel yang bagus.
Di sebuah gazebolah saya menunggu. Bersama mami yang ditantang lukis di kanvas besar, Mas Didit di bawah. Sempat ngakak waktu Mas Didit jahil;
"Katanya pelukis tanpa kuasssss?"
"Kuwi mbiyen saiki sukak-sukak" Mami berkelit. Ya, mami paling konsen tingkat akut kalo lagi lukis. Lirikan mata saya menangkap lukisan Mas Didit yang cerah. Background biru muda dengan matahari kuning yang wah cipratannya seksi. Candi hitam itu kena cahayanya. Seakan ada pengaruh gaya kakek Affandi dan mami Kartika di sana ...
Menurut saya, candi-candi itu butuh arkeolog-arkeolog Indonesia sesegera mungkin berkarya memugar dan merenovasinya, segera. PR bagi sarjana arkeolog Indonesia yang nggak tahu cari kerja apa setelah lulus kuliah. Takut keburu reruntuhan itu hancur atau malu karena justru orang luar negeri yang peduli dan berhasil melakukannya.
"Sugoiiiii" rombongan turis Jepang yang mampir itu menengok gazebo isi kami berempat. Jeprat-jepret lalu pergi.
"Itu artinya indah, bagus, luar biasa"
"Nek segone, kuwi panganan" mbak Lulu nyeletuk. Sambil tetap sibuk bikin prisma di kertas putih itu dari tadi diulang. Hahaha...
"Ih langitnya, sebentar lagi mau hujan, tuh" telunjuk saya mengarah pada langit Sisi utara.
"Pssst jangan keras-keras kamu bikin orang cemas saja." Mbak Lulu ketawa.
Dan benarlah hujan turun dengan derasnya sebelum makan siang. Bayangan pelukis yang nyebar tadi sedang melukis di bawah pohon terus lari layaknya tukang cukur di bawah pohon asem yang kena Tibum. Acara melukis tertunda! Pfff...Untung konsumsi segera datang dan kami bisa memandangi nasi sambil lempar pandangan ke Prambanan.
"Nek udan deres artinya lukisannya pada payu" mami coba bikin mimpi. Iya ya... hujan kan rejeki. Mimpi bagian masa depan. Ditaksir lukisan mami bisa laku 350 juta! Oh, Mi... beruntung Gana pernah dihadiahi dua lukisanmu meski ngga besar. Blessed.
Karena hujan tadi, panitia tak tinggal diam, segera menyarankan peserta untuk kembali ke tenda biru, meneruskan lukisan. Lukisannya macem-macem. Ada yang mirip sketsa, ada yang kayak mami dan aliran lain. Indonesia sungguh kaya akan pelukis. Eh kok laki-laki semua ya, mi? Mami paling cantik! Mereka tak boleh kalah sama mami yang perempuan dan sudah tak muda lagi kannnn?
Hmmmm...Mama dan anak ragil dekat saya itu terlihat nyaman dan aman, atap gazebo seakan menolak air yang berjatuhan dari atap menerobos masuk. Hanya saja kanvas harus dirantai pake rafia biar tak terbang.
Sedikit bosan menunggu lukisan jadi, saya pamitan jalan-jalan. Menikmati 1000 candi! Candi Shiva, candi Wisnu, candi Apit, candi ... banyak deh. Woooow, benar-benar aset wisata yang indah dan luar biasa.
Ups. Sadar, lama-kelamaan jalan-jalan, segera menuju pintu keluar. Ya ampuuun jauh bangetttt. Harus keliling lapangan sepakbola untuk kembali ke gazebo tadi.Huuuuuh.
Begitu sampai, melongo. Lukisan-lukisan sudah diikat... orangnya pada kemana. Huuuu... Gana ditinggal! Mana HP low batt. Untung ada Mas Momi. Bukannya acara lukis tutup jam 16? Kok buruan? Ya, udah nggak papa. Yang penting seru menyaksikan acara lukis bareng the master of painting mami Kartika. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H