“Ya, udah... yang lama ya!“ Ketus aku mengulurkan kedua tanganku yang halus. Sehalus porselen-porselen toko yang sering kulewati setiap pagi. Maklum, rajin ke salon, mumpung Jason yang suka pinjamin kartu.
Sembari memijit tangan dan pundakku, ia bercerita tentang apa yang dilakukannya minggu lalu.
“Minggu lalu aku nggak apel ke tempatmu, dik, karena ....“
“Sama pacar baru, ya!?“ Badanku berbalik, mataku melotot. Kupangkas kisahnya.
“Sebentar, Lavinia, aku mau cerita dulu.... begini, bos tiba-tiba memintaku lembur. Saking lelahnya, aku ketiduran di meja. Nggak tahunya, aku udah pindah di tempat tidur yang indah dengan tirai putih. Ketika kusibak tirai, aku lihat seorang perempuan berambut panjang berdiri di depan pintu kamar. Karena tak jelas, kudekati dia. Ya, ampun! Ia tak bermuka, Lavi! Untung perempuan itu tiba-tiba menghilang, bersamaan dengan tangan pak satpam yang memegang pundak untuk membangunkanku. Dia mau kunci pintu kantor .....“ Pandangan pacarku, kosong. Tangannya berhenti memijat. Mukanya tampak sedikit pucat. Katanya, mimpinya memang benar-benar menyeramkan. Aku membalikkan badanku lagi padanya, yang bersandar di sofa.
“Ahhhh, alasaaaannn. Bilang saja kamu ada pacar baru, makanya Sabtu kemarin kamu nggak apel. Dasar tukang kembang, kamu! Nggak usah pakai nakut-nakutin segala, deh. Aku nggak takut sama jin, setan, tuyul, pocong atau apa, tau.“
Aduh, aku galak banget ya? Jason tidak marah. Biasa, pacarku itu memang paling sabar sedunia, menghadapi aku yang cepat kebakaran jenggot. Hanya saja aku heran, pelan-pelan kuamati, mukanya yang putih kian memucat. Sepertinya, ia trauma dengan kejadian minggu lalu itu dan ingin meyakinkanku bahwa ceritanya tadi, sungguhan. Hanya saja, aku tak tanggapi. Aku masih ngambek dan tak peduli! Huh!
***
Hari Sabtu lagi.
Jam delapan malam. Errrrrrrrrrr, sebel bombay ... dia nggak juga datang. Alamat bolos apel lagi?! Kutunggu semenit, sejam .... Huuuuhhh ... sudah tak sabar hati ini. Segera kupencet nomor apartemen Jason. Ah, tidak ada yang mengangkat. HP juga mailbox. Malas tinggalkan pesan. Ke mana dia, ya? Barangkali lembur lagi hari ini seperti minggu lalu? Kugaruk kepalaku yang tidak berkutu, mencoba mengingat-ingat nama kantor dan alamat tempat Jason 5 tahun ini bekerja. Kucari di internet. Ketemu! Segera kueja satu-persatu nomornya dan memilih di keypad telepon genggam yang berselimut kulit kanguru.
Nada tunggu terdengar di seberang sana.
“Tuuuuuut ... tuuuuuttt ... tuuuuuuuuttt.....“
Aduhhh, kenapa lama amat, sih? Kututup telpon, kuulangi lagi sampai tiga kali, dan ....
“Ada apa, cuuuuuuuuuuuu?“ Seorang pria yang kira-kira sudah seumuran kakek-kakek menyapa dari kantor di gedung tua itu. Suaranya parau, terbata-bata dan entah mengapa bulu kudukku berdiri, badanku terasa dingin dan mataku berkunang-kunang. Mulutku tak bisa bergerak. Aku terduduk, kaku.
Tuhan, aku teringat cerita Jason tentang tempat tidur bertirai putih dan gadis berambut panjang tanpa muka!
“Tuuuuuttttttt......“ Putus. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H