Sejak kecil saya sadar, diciptakan sebagai anak gadis yang tidak memiliki kelebihan secara fisik. Wajah juga biasa, tubuh pendek, kulit gelap, hidung pesek dan entah apa lagi kekurangan yang pasti jauh dibanding teman-teman saya yang bening-bening.
Untuk mendapatkan sesuatu, saya harus berjuang karena orang akan memandang sebelah mata pada saya. Istilahnya, nggak mudahlah! Bahkan meski melakukan sesuatu yang positif pun, masih dicemooh. Bersyukur bahwa saya dianugerahi semangat. Betul, saya memang orang yang bersemangat.
Begitulah. Tidak bisa seinstan teman-teman saya yang cantik-cantik. Diam saja, mereka sudah banyak yang bantu secara suka rela. Saya? Kalau diam saja, saya bisa mati sebelum meninggal. Yup, untuk mendapatkan apa yang saya inginkan selalu banyak rintangan. Justru itu jadi pelajaran hidup akan kerasnya kehidupan. Jadi kuwattt.
Intinya, kalau ingin mendapatkan sesuatu; berusaha keras dan berdoa! Begitulah yang terjadi barusan. Naskah "Exploring Hungary" sudah dikoreksi editor cantik Riza di Elex, sebelum dilayout, saya ingin ada kata pengantar (yang ditunggu nggak datang-datang). Begitu search lewat mbah Google, saya begitu manteb “Saya kirim fax ke ibu dubes di Budapest, saja ah ....“
Beberapa hari kemudian, ada keajaiban. Pagi-pagi membuka email, ada satu dari sekretaris kedutaan besar RI di Hongaria. Rupanya, permohonan kata pengantar untuk buku "Exploring Hungary“ dikabulkan! Ya, Allah, Engkau memang Maha Mendengar! Alhamdulillah, yaaaa... Selembar kata pengantar yang dibuat ibu HE Wening Esthyprobo Fatandari selaku duta besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Hongaria. Sosok yang tak pernah saya temui sekalipun dalam hidup.
Pentingkah Kata Pengantar?
Kompasianer suka menulis buku fiksi atau non fiksi? Buku fiksi biasanya hanya membutuhkan prolog bukan kata pengantar. Di dalam prolog biasanya menceritakan pendahuluan cerita atau peristiwa yang akan ditampilkan pada halaman-halaman berikutnya.
Dari membaca prolog, penulis berharap bahwa pembaca akan semakin tertarik isi dari buku fiksi. Kalau ada pembuka, ada penutupnya dong, si epilog. Sedangkan buku non fiksi seperti buku biografi, buku ilmiah dan buku non fiksi lainnya, ada yang membutuhkan kata pengantar. Ada yang bilang kalau dengan terbitnya kata pengantar, akan memberikan kekuatan “nyawa dobel“ dari buku.
Nah, kalau saya ... semaksimal mungkin buku tulisan saya akan saya carikan kata pengantar. Kalau sudah usaha tapi nggak ada hasil ... ya sutraaa. Mewek boleh, patah semangat menulis, hohohoooo ... jangan.
Intinya, saya masih menganggap kata pengantar buku itu penting. Meski tergolong orang yang mandiri, kadang kalau ada yang anterin rasanya mesraaaah. Ayem.
Pengalaman Mencari Kata Pengantar
Berada di Jerman, apakah mudah untuk mendapatkannya? Jaman sudah canggih, saya menggunakan email, fax, telepon atau surat. Pengalaman saya pertama kali mencari kata pengantar adalah tahun 2013. Untuk buku “38 Wanita Indonesia Bisa“, saya pernah ngimpi ingin mendapatkan kata pengantar dari Menteri Peranan Wanita dan Perlindungan Anak waktu itu, ibu Linda Amalia Sari Gumelar.
Mengapa harus beliau? Pertama karena buku bertema tentang kekuatan Wanita Indonesia yang menjalani profesinya masing-masing, sesuai bakat dan minat. Itu relevan dengan jabatan dan lembaga yang beliau pimpin. Kedua, karena beliau juga wanita Indonesia yang ... bisa!
Saya tahu, seorang teman lama kebetulan pernah didatangi beliau. Ketika saya minta tolong minta no HP bu Linda tidak dikasih. Alasannya harus tanya sekretarisnya dulu, boleh tidak. Ditunggu lamaaaaa sampai jamuran, tidak ada berita. Saya kira mimpi saya nyangkut di rumput bukan di bintang yang ada di langit.
Apakah saya putus asa? Tidak. Lantas? Saya ingat pernah bikin kegiatan ID Kita di Semarang, kenal dengan kompasianer Desi di Bandung (atau Jakarta?) yang pasti pernah dapat alamat email dari ibu Linda. Kebaikan hati Kompasianer beranak cantik itulah yang menggantungkan cita-cita saya lagi.
Setelah mengirim pesan, ibu Linda membalas lewat BB. OMG! Saya ini siapa ya, kok dianggep. Matur nuwun, ibu! Yak. Email ke kementrian dibalas dengan kata pengantar yang manis dari ibu Linda. Ibu, Tuhan akan membalas kebaikan ibu.
Buku itu berhasil mendapatkan kata pengantar dari ibu menteri. Hmmm. Tidak menjamin buku jadi laris seperti doa mbak Ellen Maringka, lho. Modal cetak di Peniti Medianya pak Thamrin Sonata memang sudah kembali, sisa buku saya gunakan untuk promosi dan sumbangan ke beberapa perpustakaan (tak hanya di tanah air tapi juga sedunia). Semoga buku itu bermanfaat dan menginspirasi, daripada dikrikiti tikus ... hayooo.
Pengalaman berikutnya adalah buku saya “I’m Happy to be 40“. Penulisan dan proses pembuatan buku itu memang kilat, mengejar agar bisa terbit sebelum hari ulang tahun saya yang ke-40.
Rupanya molor sekian minggu. Nggak papa dehhh ... “Man kann nicht alles haben“ (tidak semua keinginan manusia itu bisa terpenuhi). Untung sekali bahwa kata pengantar yang saya butuhkan segera didapat. Dari siapa? Dari bapak saya.
Pria yang telah memberikan benih pada ibu dan melahirkan jabang bayi yang kata pak MJK; cantik, cerdas, ceria ... hahaha ... C3 ya, pak. Kalau C4 itu ... beras! Terima kasih, kompasianer Mas Jokomu yang menyayangi saya. Jadi betah di Kompasiana yoooo.
Oh, ya. Bapak saya tinggal di Indonesia, saya rumahnya di Jerman. Repot, ya? Akhirnya, siang-siang saya telepon beliau dan ingin merekam kalimat dengan Ipad. Maksudnya biar mudah, saya yang lagi-lagi jemput bola, rewrite dan dikirim ke penerbit.
Rupanya bapak belum siap. Belum dapat wangsit. Minta sehari dan akan dikirim lewat email yang akan dikirim oleh kakak sulung. Super! Lancar.
Yang ketiga, untuk buku “Exploring Germany“. Buku yang saya mintakan kata pengantar ke KBRI itu nyatanya bertepuk sebelah tangan. Ditunggu-tunggu tak ada jawaban. Ah, nasib.... Sedih? Pastiiiii. Positifnya, kesedihan itu tak boleh berlarut-larut karena ada hari esok yang lebih cerah.... uhuk!
Nah, yang terakhir ... dari awal saya sudah cerita; barusan dapat kata pengantar dari ibu Wening Esthyprobo Fatandari. Ibu duta besar luar biasa dan berkuasa penuh RI untuk Hongaria itu memberikan respon yang cepat atas permintaan saya. Hanya dalam hitungan jari. Kiriman berisi satu bundel dokumen lewat fax, yakni; surat permohonan, cover buku, daftar isi dan profil penulis, dijawab.
Mengapa beliau? Awalnya, saya sudah meminta duta besar Hungaria untuk RI di Jakarta tapi tidak dibalas. Jadi patah arang setelah mengirim email dan telepon tapi kata pengantar tak kunjung dikabulkan? Lamaaa sekali, oh, tidaaaaak. Saya maju terus. Betul, Gusti Allah ora sare.
Nggak dapet dari duta besar Hongaria untuk Indonesia, dapat dari duta besar RI untuk Hongaria. Malah pas karena ibu Wening cerita kalau beliau juga suka blusukan, pastinya tahu banyak tentang daerah, adat istiadat dan budaya serta bahasa yang saya beberkan di dalam buku. Klop dan mantab. Terima kasih, ibu dubes.
***
Semoga dengan tulisan ini, akan menginspirasi penulis pemula di Kompasiana seperti saya. Dengan kekuatan kata pengantar, inshaallah akan memberi semangat dan inspirasi tak hanya kepada penulis juga pembaca semuanya.
Nggak percaya? Coba sajaaaaa. Nyok-nyok-nyokkkk.(G76).
PS: Jangan biarkan siapapun mematahkan semangat dan impianmu! Just do it yourself and see what’ll be happened.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H