Indonesia sedang ribut membicarakan soal sekolah seharian. Ya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang baru, Muhadjir Effendy, punya gebrakan dengan wacana menerapkan sistem full day school untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), di sekolah negeri maupun swasta. Tanggapan pro dan kontra pasti adalaaaaah, termasuk dari target atau yang akan menjalani aka si anak itu sendiri.
Wacana dipelajari berbagai pihak. Katanya akan jadi masalah kalau anaknya nggak mau, orang tua nggak mampu bayar ekstra uang makan, atau sekolah yang bersangkutan juga digunakan untuk sekolah pagi dan siang. Apakah full day school nanti akan bisa terlaksana? Hmmm, menurut saya, tidak usah dipaksakan! Ini seperti yang kami alami di Jerman bagian selatan.
Harus ada tanda tangan persetujuan orang tua
Oktober 2015. Ada undangan dari sekolah untuk kami para orang tua. Isinya, presentasi dari sekolah tentang rancangan Ganzetagschule - full day school. SD tempat anak-anak kami sekolah itu tergolong bagus di area itu. Barangkali, mereka ingin meningkatkan pelayanan. Rapat juga dihadiri oleh Bürgermeister, pimpinan daerah setempat, selain dari sekolah dan orang tua murid. Saya tidak tahu, apakah nanti wacana yang sama di tanah air, juga akan diajukan kepada orang tua dalam sebuah pertemuan khusus atau tidak. Kita tunggu saja.
Nah, setelah selesai rapat di sekolah tentang full day school dan kembali ke rumah, saya diskusi sama suami dan tanya anak-anak. Hasilnya, kami tidak akan ikut menandatangani formulir persetujuan adanya Ganzetagschule untuk anak yang nomor tiga (naik kelas dua tahun ini). Alasannya, pertama, kami berdua di rumah. Sejak beberapa tahun terakhir, kantor suami jadi satu dengan rumah pribadi. Kalau saya mengajar misalnya dua hari, anak-anak suami yang ngawasi. Kalau suami saya ke luar negeri atau luar kota, saya masih ada dan mengatur jadwal anak biar ada yang mengawasi selama saya tidak ada.
Alasan kedua, anak yang nomor satu dan tiga tidak mau ikut/tidak suka sekolah full day (ada pilihan di sekolah tapi nggak nggak ngambil). Sebenarnya, anak yang nomor dua memang sangat aktif. Dia saja yang mau. Idih, maunyaaa. Ketiga, mahal alias faktor ekonomi. Mengapa? Sekolah memang gratis tapi uang makan harus ditanggung, dengan harga standar. Uang itu bisa digunakan untuk keperluan pengembangan bakat anak seperti kursus piano atau apa kek yang dia suka dan pilih. Keempat, anak-anak sangat aktif ikut kegiatan sore seperti olahraga di balai kampung, berkuda, berenang, main alat musik dan tak kalah penting, bermain-bermain-bermain!
Bagaimana pengaturan jadwal hobi yang waktunya tabrakan itu? Kalau anak-anak harus di sekolah dari jam 08.00-16.00, waktunya sudah mepet di rumah. Jam 18.00 biasanya jadwal makan malam, jam 19.00 sudah masuk kamar. Jam 20.00 rumah harus sepi (kecuali kalau hari sangat terang dan panas sekali). Kami pengen istirahat juga. Nggak mudah, tapi saya yakin kalau ritme diatur demikian, mereka terbiasa.
Begitulah. Beberapa bulan sebelum September 2016 (masa ajaran baru 2016/2017), sudah ada edaran lagi bagi semua orang tua, untuk meyakinkan apakah keputusan mereka bulat atau mau diganti. Ini pilhan yaaa ... bukan wajib! Sekolah full day nggak dipaksakan. Formulir pendaftaran full day school diberikan lagi. Isinya; informasi dan formulir yang lebih komplit untuk diisi data, misalnya penentuan akhir dari yang minat memasukkan anaknya ke sekolah seharian jadi tidak minat dan sebaliknya. Toh, waktu itu belum akhir masa ajaran (belum Juli 2016).
Apa pendapat para orang tua?
Berikutnya, kami para ibu ngobrol-ngobrol. Beberapa ibu mengaku sangat setuju dan terbantu dengan adanya sekolah seharian itu. Tentu saja karena mereka harus bekerja dari pukul 08.00-16.00. Kalau tidak ada orang tua atau mertua yang dititipi repot, bukan? Apalagi kalau orang tua tunggal, single parent. Bagi mereka uang tidak masalah. Toh, mereka mendapat gaji yang cukup. Pemda dan sekolah menanggapi kesulitan dengan solusi full day school itu.
Sedangkan orang tua seperti saya yang kebanyakan banyak di rumah, tidak ingin menyerahkan anaknya ke sekolah seharian. Separoh hari, cukup! Selain anaknya nggak mau, capek dehhh.
Sebagian kecil ibu mengaku meski hanya ibu rumah tangga, setuju kalau anaknya sekolah seharian atau tidak di rumah. Selain orang tua biar tenang di rumah, anak bisa aktif di sekolah. Kalau di rumah orang tua takut anaknya main yang nggak bener atau bikin rumah berantakan.
Dampak sekolah seharian bagi anak-anak
1.Anak bisa salurkan energi semaksimal mungkin
Sudah turun temurun kalau beberapa anak di kampung kami memilih sekolah lanjutan setelah lulus SD, ke sekolah yang memiliki sistem full day.Meski dijejali materi wajib, anak tersebut tetap diijinkan untuk mengikuti beragam ekstra di sela-sela full day. Sama halnya dengan anak-anak yang tidak ikut program seharian. Sama-sama punya dicampur dalam ekstrakurikuler yang ada di sekolah (menari, olah raga, musik, seni dan lainnya). Berarti itu sama halnya dengan wacana full day dari SD tempat anak kami yang nomor tiga. Anak kami tidak ikut kelas full day, masih boleh ikut kegiatan ekstra seperti komputer, koor atau drama. Haknya sama dengan yang ikut full day. Nilai juga dijamin, tidak akan dibedakan. Yang ikut full day dan tidak, diperlakukan sama. Bukan berarti yang full day jadi istimewa atau kelas full day istimewa. Anak-anak dinilai sesuai prestasi akademik yang dicapai masing-masing anak. Tidak ditambah dan tidak dikurangi.
2. Kurang dekat dengan orang tua
Logis. Karena anak hanya di rumah pagi hari sebelum sekolah dan sore hari sebelum makan malam dan sebelum tidur. Jika orang tua tidak menjaga hubungan kedekatan dengan anak, sulit untuk mempertahankan kedekatan yang ada. Apalagi anak yang sudah ABG. Adohhh! Menanyakan apa saja yang dilakukan di sekolah, ada masalah apa, curhat pribadi dan sejenisnya, orang tua tidak boleh ketinggalan untuk diikuti berita terbarunya.
3.Pengaruh dari kawan-kawan
Tetangga paling pojok deket gunung punya dua anak. Satunya umur 12 tahun, satunya 6 tahun. Yang pertama disekolahkan di Realschule,sekolah menengah yang seharian. Si ibu cerita kalau sekarang sudah puber dan jadi berani sama orang tua. Kasar dan nggak peduli. Gadis sudah mulai dandan, pakai maskara dan lipstik tipis. Padahal ibunya sangat bebas dari kosmetika! Cantik alami. Ibu merasa, anak jadi lain sekali dengan waktu di SD (sampai kelas 4), anak manis dan deket dengan orang tua. Ia takut itu pengaruh dari teman-temannya di sekolah. Begitu pula kata atau kalimat yang digunakan. Jadi aneh di telinga orang tua, meski anak bilang itu „cool“.
4.Anak capek
Anak pertama kami pernah disekolahkan seharian waktu SD (sekarang sudah kelas 9). Itu bukan hanya keputusan orang tua tapi juga sekolah karena anak memiliki kesulitan dalam pengucapan (Sprachfehler). Sekolah khusus itu berjudul Sprachheilschule. Memang berat karena anak dijemput taksi sekolah pukul 7.15 dan diantar pulang ke rumah pukul 16.15. Masih ada sedikit PR. Sesampainya di rumah mengerjakan sebentar bersama saya lalu cuma di kamar sampai tidur. Katanya capek. Kadang main dengan adiknya di ruang bermain, di sebelah kamarnya. Sudah.
Memang kesulitan pengucapan teratasi bahkan ia boleh meneruskan ke Gymnasium karena punya IP 1,3. Sayangnya, ada kelelahan yang terlihat pada anak. Baik secara fisik maupun psikis. Nggak heran waktu sudah lulus IV SD nggak mau sekolah full day lagi. Kapok. Seperti penjara katanya. Nggak heran kalau ia juga langsung menolak tawaran untuk sekolah lanjutan di Internat (sekolah asrama).
5.Anak stress
Seorang anak tetangga sejak tahun kemarin, September 2015, disekolahkan ibunya seharian. Terhitung sampai Juli ini, sudah setahun di sekolah. Pukul 08.30-12 di SD dan mulai 12.05-16.00 di TK sebelahnya, day care. TK dan SD memang punya kerjasama Kinderbetreuung, penitipan anak. Paling tidak 200€/bulan. Dengan makan siang, bimbingan belajar dan pengerjaan PR bersama-sama guru pendamping, membuat hasta karya dan bermain.
Anak satu-satunya pemilik pabrik mur baut di kampung kami itu memang masih kecil (9 tahun) tapi sudah jago mengeluh. Ulasnya, sebenarnya, ia tidak mau disekolahkan full. Bosan dengan teman-teman di kelas yang sama-sama dititipkan. Kedua, ia merasa lebih enak di rumah. Ada mama. Apalagi kelima kucingnya berkeliaran di mana-mana. Ia tidak bisa melampiaskan diri lagi, banting kucing satu-satu. Xixixi... judulnya, “Meong selamat dari monster karena full day school.“
Keluhan bocah sudah disampaikan ke mama dan papanya, juga kepada anak-anak kami yang juga teman sepermainan tapi tetap saja nihil. Tahun ini (mulai September 2016), ia akan masuk full day lagi. Bedanya, seharian di SD, bukan separoh di TK seperti setahun ini. Padahal ia nggak suka. Bahkan kalau mau masuk sekolah harus pakai dibujuk, dianter segala padahal jalan kaki 15 menit udah sampai.
***
Dari cerita di atas, semoga anak kami merasa mereka didengarkan keinginannya tapi tidak disalahgunakan. Sisa waktu usai sekolah tadi tetap dimanfaatkan semaksimal dan sepositif mungkin, meski tidak full day. Keputusan yang kami ambil, semoga tidak salah. Namanya juga yang menjalani sekolah memang anak, bukan orang tua. Kalau anak tidak mau, kami tidak memaksa.
Pemerintah Jerman wilayah kami pun mendukung penuh.
Begitu pula dengan sekolah. Mereka memberi kebebasan orang tua dan anak-anak untuk memilih.
Ada yang bilang; kalau anak-anak sudah di sekolah pendidikan lebih baik karena ada ahlinya di sana atau PR sudah selesai dan kegiatan banyak bikin anak sibuk dan aktif, energi positif tersalurkan. Buang jauh hawa negatif.
Lainnya bilang; anak lebih baik di rumah saja dirawat dan dididik sendiri usai sekolah. Jauh dari kata liar dan salah karakter.
Dipilih-dipilih-dipilih.... Harus tetap digelar pilihan, bukan paksaan.
Akhirnya, cuma bisa ingat; anak juga punya rasa, punya hati... kata lagu yang itu. (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H