“Bagaimana kalau ada apa-apa dengan kamu, apa yang akan kalian lakukan di dalam kamar?“ sergah si ibu.
Benar, 5 bulan setelah pacaran. Mereka bubaran! Bagaimana kalau si ibu mengijinkan pacar si gadis, gadis hamil, temannya lari, lalu sekolah berantakan? Kekhawatiran yang beralasan bagi orang tua yang punya anak gadis yang sudah pubertas.
Saya sendiri menerapkan tradisi dari Indonesia bahwa saya tidak menyetujui adanya seks di luar nikah anak remaja di bawah umur atau remaja yang belum mapan, pada anak-anak kami. Masa depan itu emas kalau hilang, nggak ada kesempatan mengulang tapi menanggung resiko.
Tentu saja ini bertolak belakang dengan adat Jerman yang saya kira sebagian orangnya lebih bebas atau memberi kelonggaran. Misalnya dengan embel-embel “Kalau sudah berumur 18 tahun, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau. Orang tua hanya menasehati tapi tidak mendikte. Mereka sudah punya hak untuk memilih di pemilu, boleh menyetir mobil sendiri tanpa pendamping, diijinkan minum alkohol, dipersilakan tinggal sendiri di flat dan kebebasan lainnya. Mengapa tidak?“
Itu yang barangkali berbeda dengan Indonesia. Kebanyakan orang Jerman yang saya kenal mengatakan usia 18 tahun sudah dianggap dewasa. Pada ending-nya, toh anak polah bapa kepradah. Kalau ada apa-apa tetap saja orang tua yang kena kann? Bagaimana itu?
Ohhh. Saya bakalan nyap-nyap pas ada anak gadis orang menginap di kamar anak laki-laki kami. Ini “no go“. Masak orang tuanya kasih ijin begitu saja? Bagaimana mungkin si gadis nggak risih nginap di rumah orang? Apa si anak bohong alamat nginapnya? Apa si orang tua nggak peduli anak? Apa orang tua sibuk, nggak di rumah sampai nggak tahu? Apa anak nggak nyaman di rumah, jadi nginap di rumah orang? Entahlah. Banyak pertanyaan memenuhi otak saya. Adat dan budaya kita memang berbeda....
Ketika ditanya teman-teman apakah saya kasih ijin anak gadis saya nanti kalau sudah remaja menginap di rumah pacarnya, saya bilang “No way“. Saya sudah pernah wanti-wanti sama anak-anak bahwa semoga itu tidak akan pernah terjadi. Ini masalah masa depan, nggak boleh main-main. Mereka bisa melakukannya setelah nikah.
Teman-teman saya berseloroh, “Di Jerman? Mission impossible!“ Ohhh, saya merasa ditampar karena diragukan ... Kita lihat saja nanti. Bunga-bunga di taman memang sedang kuncup, jauh dari kata mekar. Akankah kumbang datang terlalu dini, demi menghisap madu? "Kleine Kinder, kleine Probleme. Größe Kinder, größe Probleme". Begitu peribahasa Jerman yang mengingatkan kita kalau punya anak kecil, akan ada masalah kecil/ringan. Jika anak sudah besar, masalah akan berubah ukurannya (besar/berat). Sing sabbaaarrr.
***
Tak perlu ditutupi bahwa di Indonesia, sesekali terdengar berita anak gadis hamil di luar nikah (KTD-Kehamilan yang Tidak Diinginkan) atau ada anak gadis yang masih kuliah atau sudah kerja, tiba-tiba ditemukan meninggal karena dibunuh klien pengguna jasa seks. Dan cerita lainnya yang serem-serem dan menimbulkan seribu tanya. Seks pra nikah di negeri yang penuh nilai, norma, tradisi dan tatanan agama? Kok, bisa? Mungkin tidak tinggal serumah dengan orang tua kandung, orang tua sibuk, kos atau dititipkan keluarga/kerabat dekat. Entahlah....
Nah, dari obrolan saya dengan para ibu Jerman di atas, silakan Anda jawab beberapa pertanyaan saya di atas di kolom komentar. Saya yakin, akan berbeda, karena latar belakang masing-masing negara, didikan dan posisi berbeda. Bagaimanapun, tak ada salahnya saling berbagi di sini untuk kaca benggala. (G76)