Seorang gadis dari Indonesia yang baru saja beberapa bulan tinggal di Jerman. Setelah berkenalan dan bertemu, kami pernah berbincang tentang bulan puasa yang waktu itu akan segera dimulai. Saya maklum jika ada orang Indonesia yang biasa puasa dari jam 4 pagi sampai 6 malam, ada rasa khawatir dengan perpanjangan waktu ketika berada di luar negeri yang kalau musim panas, matahari lebih lama tenggelamnya. Contohnya, di Jerman. Artinya, puasa jadi lebih lama! Gimana dong?
- Kok, lama banget puasanya ya?
- Apakah saya kuat sampai malem?
- Kalau buka masih lama tapi udah lemes, gimana dong?
- Nanti buka puasanya gimana, nih?
- Apa tanggapan orang-orang Jerman kalau tahu saya lagi puasa?
- Dan masih banyak lagi kekhawatiran lainnya.
Belakangan, pesan berisi semangat saya kirim. Kalau niat pasti bisa, apalagi kalau keluarga tempat dia tempati juga mendukung pasti semua baik-baik saja. Lemes-lemes dikit atau haus-haus dikit nggak papa lah ... biasaaaa. Melatih kesabaran.
***
Puasa sebulan penuh. Menghitung hari. Tak terasa ... seperti baru saja kemarin dimulai, eeee... sudah hari raya! Boleh makan sekenyangnya, minum sepuasnya, merayakan kemenangan diri melawan hawa nafsu, makan, minum dan amarah. Kembali fitri?
Segera, saya tanya dia:
“Gimana puasanya? Sukses?“
“Alhamdulillah ... lancar, hanya libur waktu mens saja.“ Jawabnya enteng dan riang.
Naaaaah, betul kann? Berarti musuh terbesar manusia itu adalah dirinya sendiri. Andai saja kekhawatiran beberapa hari menjelang Ramadan itu berhasil menutupi keinginan untuk melakukan puasa, bukankah nggak jadi puasa? Begitu pula untuk hal-hal yang lain dalam hidup ini. Kalau ada niat, ada baiknya segera laksanakan. Pasti ada hasilnya. Tidak melulu mengacu harus berhasil, harus nomor satu. Yang penting, sudah dicoba dan tahu sejauh mana bisa menuju sebuah pencapaian dalam hidup. Jangan hanya cemas dengan energi negatif yang datang dan pergi tanpa diundang.
Hmm .... Tahun pertama tinggal di Jerman dan berpuasa, jadi kenangan khusus bagi saya. Puasa di musim salju, gelapnya hampir mirip seperti di tanah air. Tidak ada masalah. Waktu itu, saya belajar bagaimana memberi jawaban pertanyaan orang-orang tentang apa yang saya lakukan dan saya jadi tahu beratnya menyusui sambil berpuasa. Dengan pengalaman itu beberapa tahun berikutnya, ketika hamil lagi dan menyusui, lebih memilih membayar denda, fidyah ketimbang hilang kesempatan menyusui anak (berikutnya) yang tidak bisa diulang kapanpun. Kesempatan langka dan emas. Tahun-tahun lainnya, tetap berpuasa. Bolong-bolong? Dibayar bulan-bulan berikutnya, dicicil sampai lunas.
***
OK. Semoga cerita sederhana ini akan menginspirasi Kompasianer yang hendak berangkat ke Jerman dan suatu hari pasti akan menghadapi bulan puasa di negeri Eropa, untuk pertama kalinya. Tak perlu khawatir, everything’ll be all right. Just do it.