Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Rasanya Puasa di Jerman

4 Juli 2016   18:51 Diperbarui: 4 Juli 2016   19:00 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Waktu itu, sungguh! Saya betul-betul lemes tak berdaya, bukan karena banyak makanan tapi sungguh sinar matahari yang panas pukul 15.00 itu terik sekali. Nggak kebiasa panas, begitu panas mblonyoh (red: meleleh). Dalam bulan Juni bisa dihitung dengan jari, berapa kali panasnya, lainnya abu-abu, dingin dan hujan. Pada awal puasa, biasa saja, tidak lemes lah. Hawanya sejuuuk.

Puasa lebih lama dari di Indonesia

Betul. Puasa di Jerman itu kalau musim panas, alamat lama. Imsak hampir pukul 4 pagi dan waktu buka 21.30 an (kira-kira 17,5 jam) di daerah kami tinggal di Schwarzwald, Jerman selatan. Jadwal saya mengacu masjid Turki di Spaichingen.

Pada musim panas memang hari lebih panjang. Orang lebih susah tidur karena silau, masih terang kalau di tempat tidur dan lebih panas dari musim sebelum dan sesudahnya. Padahal sudah ditutup semua pintu dan jendela, dimatikan lampu. Masih juga banyak orang imsomnia, nggak bisa tidur. Ditambah dengan puasa. Kalau sudah jam 2-3 sore, rasa ngantuk menyerang. Padahal pekerjaan masih banyak dan tidak boleh tidur karena takut kebablasan. Haha. Geli sendiri kalau saya jadi seperti ayam yang ngantuk-ngantuk hampir terjatuh saat mengerjakan naskah atau membuat PR. Lelah dan kantuk memang symptom orang puasa. Nggak di Indonesia, nggak di Jerman.

Beda sekali dengan Winter, musim dingin yang semua orang jadi seneng menarik selimut karena selain gelap juga ... dingin! Saya paling suka kalau Ramadhan jatuh pada bulan itu, lebih pendek. Serasa berpuasa di Indonesia karena berbukanya pukul 17.30 sampai 18.00 an. Asyik. Bedanya, rasa lapar akan gampang terasa di musim ini dibanding musim panas yang kalau kepanasan, sungguh hausnya nggak ketulungan. Kerongkongan jadi kering-kerontang. Menelan ludah, cleguk!

Ketika berbuka, sudah lelah, gelap, kenyang, ngantuk dan waktunya hanya sampai jam 00 karena harus tidur biar esoknya seger. Tentu, setelah shalat sunah dijalankan. Bangun lagi sahur, tidur lagi sampai pagi. Tidur yang dipotong-potong memang menguji.

Saya pikir, menahan lapar dan dahaga selama puasa lebih mudah ketimbang menahan hawa amarah. Nahhhh ... bisa nggak, nggak terpancing atau tidak marah kalau ada yang ngeselin? Sepertinya masih susah untuk saya, meski training sudah dimulai sejak dini di masa kanak-kanak. Rupanya hanya dapat lapar dan dahaga.

Suasana yang berbeda

Tentu saja apa yang biasa kita alami atau lihat di bulan puasa di tanah air tak bakal kelihatan di Jerman. Mulai dari suara imsak, panggilan Shubuh, sampai nanti dul atau berbuka puasa. Ada bagi takjil, ada tadarus, ada pula tarawih bersama. Di Jerman, masjid Turki yang saya datangi, menganjurkan wanita untuk sholat di rumah saja. Adat orang Turki juga agak berbeda dengan kita. Beberapa teman Turki kenalan saya di sekitar kampung, bahkan sudah tidak menjalankannya. Padahal, asyik kann kalau buka bersama, tarawih bersama, tadarus bersama ... akhirnya, munfarid, sendirian. Ya, udah.

Yahhh, gitu. Belum lagi saat lebaran. Keluarga besar biasa berkumpul, silaturahim, ngobrol, makan bersama, pergi sama-sama. Asyik, deh. Di Jerman, itu serasa tak mungkin. Hubungan persaudaraan saya kira beda dengan di tempat kita. Makanya, saya kumpulin temen-temen Indonesia yang tak begitu jauh dari rumah, buat rayain bareng ketimbang merayakan sendiri-sendiri. Temponya, hari Minggu, 10 Juli karena semua pada kerja sampai hari Sabtu (bahkan pada hari lebaran karna di Jerman mustahil disulap jadi tanggal merah). Nggak papa, yang penting kumpul dan makan masakan Indonesia. Makanan apa saja yang akan kami santap? Ceritanya minggu depan....

Oh, ya. KBRI atau KJRI memberi kesempatan kepada masyarakat Indonesia di Jerman untuk sholat Ied, lho ...  emmm ... kalau di puncak gunung kayak saya susaaaah. Apalagi jatuh bukan pada Wochenende tapi pada hari kerja. Pengen datang tapi kok sepertinya repot mengatur anak-anak sekolah dan tetek bengek lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun