Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mau Kuliah di Luar Negeri? Bekali dengan Budaya Bangsa Sendiri

2 Juni 2016   15:54 Diperbarui: 2 Juni 2016   16:04 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tari Pendet
Tari Pendet
Gamelan Jawa
Gamelan Jawa
Manuk dadali dan Gundul-gundul pacul
Manuk dadali dan Gundul-gundul pacul
Tari piring
Tari piring
Jaipongan
Jaipongan
Saxophone dan Indonesia Tanah Air Beta
Saxophone dan Indonesia Tanah Air Beta
Mode show pakaian adat Indonesia
Mode show pakaian adat Indonesia
Tari Saman
Tari Saman
Pada tahun 1994, kelas 3 SMA, saya mengikuti program pertukaran relawan PMI untuk mewakili pertemuan tingkat tinggi IFRC/IRCS di Cebu.  Selain pengetahuan bahasa Inggris dan pembuatan makalah ... rupanya bakat seni juga menjadi pertimbangan khusus para juri. Dari 10 orang, saya terpilih. Cadangan kedua adalah seorang mahasiswi Solo yang juga pandai berbahasa Inggris serta bisa menari. Si mbak akan menggantikan saya kalau pada hari H saya berhalangan.

Di waktu berikutnya, bakat seni tetap dijadikan sebagai salah satu bahan ujian untuk program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti. Contohnya SSEAYP (Program Kapal  Pemuda Asia Tenggara).

Begitu pula untuk pengiriman relawan LSM ke luar negeri. Tak hanya relawan yang aktif, pandai bergaul dan pintar bahasa Inggris tetapi relawan yang berbudaya yang akan kami pilih. Saya pikir, kalau jadi “duta negara“ harus mampu menunjukkan identitas bangsanya. Memperkenalkan negeri sendiri kepada dunia luar.

Rupanya, itu pula yang saya tangkap dalam acara “Indonesischer Abend“ yang dilaksanakan oleh IKID (Indonesisches Kultur und Informationeszentrum Darmstadt) di Darmstadt pada tanggal 27 Mei 2016 yang lalu. Ikatan orang Indonesia di Darmstadt itu memilih gedung Knabenschule untuk menyelenggarakannya. Bisa ditebak, pasti ada PPI yang terlibat. Dan betul, PPI Frada (Perhimpunan Pelajar Indonesia Frankfurt-Darmstadt) memang menjadi lakon dalam pesta!

Bazaar Makanan Indonesia

Kami berangkat siang menuju Darmstadt. Tiga jam dari rumah, sampai sudah. Beruntung berangkat lebih awal karena tempat parkir masih banyak. Begitu di depan gedung, kami segera membeli tiket yang sudah dipesan. Hmm ... 10€ per orang mendapat voucher makan 2€. Kalau beli jauh-jauh hari hanya 7€.

Tangan kami distempel biar keluar masuk ketahuan sudah bayar belum. Tiket, voucher dan brosur tentang acara dan daftar makanan diserahkan. Kami menunggu 30 menit untuk menukar voucher makan. Beberapa makanan memang belum disajikan. Orangnya belum datang kali ...

Tak berapa lama, jam menunjukkan pukul 17.00. Bazaar dibuka. Kami pesan siomay, martabak dan sate. Sayang sudah dingin. Bayangin ribetnya dapur, tukang masak dan persediaan penghangat makanan tentu merepotkan. Lantaran lapar, tetap saja lezat. Harga dibandrol 1 – 7€. Pas di kantong.

Semangatnya Pemuda Indonesia di luar negeri

Selesai makan di luar mumpung cuaca cerah, kami masuk gedung. Belum ada penonton. Hanya beberapa pemuda/i yang latihan mulai dari menyanyi sampai menari. Oh ... Acara baru dimulai pukul 18.00. Masih banyak waktu. Kami nikmati duduk di kursi baris kedua sayap kanan, dekat panggung.

Duuuuh semangatnya yang di panggung. Pasti sudah lama latihannya sebelum hari H. Terlihat beberapa wanita bersolek. Ada yang membantu menata rambut temannya dan ada yang membenahi pakaian teman yang belum rapi. Indahnya pertemanan.

Tidak saya tanya berapa umur mereka. Namun dalam garis wajah, tentu mereka mahasiswa/i yang sedang belajar dan beberapa fresh graduated.

Bakat Seni Pelajar Indonesia, Top!

Gending Jawa mengalun. Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak memecah suasana dengan musik gamelan. Jadi ingat bapak dan ibu di Semarang.

Acara dimulai ketika musik berhenti dan para niyaga pergi ke belakang panggung. MC laki-laki dari Indonesia tampak fasih berbicara dalam bahasa Jerman. Wasis. Satu persatu gelaran disajikan.

Tari Bali sebagai tari persembahan dan ucapan selamat datang kepada tamu begitu memukau. Kerlap-kerlip warna kostum yang indah, gerakan dan musik yang rancak ... memanjakan tamu yang baru saja meletakkan pantat. Tamu-tamu dari Jerman dan Indonesia, mulai dari tua sampai bayi ada. Lengkap. Mereka khidmat menikmati panggung Indonesia.

Dari Bali, penonton diajak ke Kalimantan. Musik khas yang mengingatkan saya pada musiknya suku Indian itu memesona. Meski penarinya tunggal. Tarian Enggang menggambarkan burung Rangkong, biasa ditarikan wanita muda kinyis-kinyis.

Indonesia atas ke Indonesia tengah. Jawa Barat. Gemulai jaipong mulai menggetarkan panggung. Tiga pemudi begitu cantik dengan kebaya, sarung dan selendang. Dari wajah dan gerakan, mustahil kalau mereka tidak punya bakat menari.

Nah, dekat pulau Bali adalah Jawa. MC mempersilakan para niyaga kembali hadir di depan panggung bawah, demi memamerkan lagi musik Jawa. Satu yang menarik, salah satu niyaga masih muda. Karawitan adalah ekstrakurikuler yang ada di SMP, SMA atau universitas. Memang tersedia sanggar khusus. Ketertarikan dan ketrampilan memainkan salah satu, salah dua atau salah banyak dari instrumen tradisional itu tentunya menjadi kebanggaan tersendiri. Terlihat si pemuda mengajarkan cara memainkannya kepada anak-anak penonton saat acara dihentikan untuk makan malam.

Memainkan alat musik modern yang bukan dari Indonesia tetap menggugah. Lihat saja bagaimana seorang pemuda bermain alat musik gesek, biola. Meski bukan setradisional sitter, alunannya menyayat hati dan Indonesia banget. Betul. Lagu yang ia mainkan adalah „Indonesia Tanah Air Beta“ dan mahasiswi yang mendampingi dengan keyboard menyanyikan “Manuk Dadali“ dan “Gundul-Gundul Pacul“. Meski lafal Jawanya kurang pas tetap saja, lagunya menghibur kami dan mendapat applaus meriah dari hadirin. Bravo!

Berlanjut ke mode show. Pengenalan baju tradisional dari beragam propinsi di Indonesia diperagakan mahasiswa dan mahasiswi bukan model artis Indonesia. Walaupun demikian, lenggak-lenggok mereka dari panggung sampai ke lantai di mana penonton duduk di bagian belakang dekat pintu keluar, sangat menarik. Bahkan beberapa penonton bertanya:

“Ini dari daerah mana?“

Merekapun menjawabnya sambil senyam-senyum. Ciri khas orang Indonesia yang murah senyum dan ramah tamah. Halus budi pekertinya juga harus ya? Apalagi di negeri orang. Nggak boleh manyun atau jutek meski hawanya kadang dingin dan kerasnya kehidupan di rantau. Hehe ... coba kalau sudah gitu, mana nggak bisa jawab, malu kan? Jangan sampai.

Oiii ... detik melaju. Panggung tetep ramai. Ingat Saxophone, ingat Lisa The Simpson. Musik itu pula yang mengiringi perempuan yang kalau dari rambutnya berasal dari Papua. Si gadis begitu menghayati menyanyikan “Indonesia Tanah Air Beta“. Nggak nyangka ketika esok harinya ketemu di bus saat jalan-jalan keliling kota:

“Hallo ... kamu yang nyanyi tadi malam ya?“ Suara saya menyapa. Tadinya suami nggak yakin kalau gadis itu yang tadi malam kami lihat di panggung. Untuk membuktikannya, harus tanya. Malu bertanya, tak tahu jawabannya.

“Eh, iya ...“ Senyum malu tapi tetap menjawab. Kopernya ia geret masuk biar jauh dari pintu bus.

“Suaranya bagus lho...“ Pujian saya berikan. Menghargai apa yang ia lakukan untuk Indonesia.

“Xixi ... terima kasih.“ Sembari tertawa kecil, ia menunduk.

Kebanggaan akan kiprah pemuda Indonesia tidak hanya sampai di situ. Masih ada tari piring dari Minang, Sumbar. Anak-anak terpukau, sampai merangsek ke bibir panggung. Begitu kembali saya bilang “Don’t try this at home. It’s dangerous“. Semua tertawa. Bayangin kalau latihan di rumah, semua piring bisa pecah! Butuh latihan dan konsentrasi yang tinggi untuk membalikkan piring ketika menari atau ketika bergulung-gulung di lantai dengan tetap memainkan piring. Sayang, adegan menginjak pecahan piring yang pernah saya lihat di malam Indonesia di Konstanz tahun lalu tidak terlihat. Mungkin lain kali.

Gong berupa tari Saman dari Aceh yang dibawakan PPI, luar biasa. Bibir panggung lagi-lagi penuh oleh anak-anak yang kaget dengan lagu, teriakan dan gerakan/tepukan tangan yang cepat dan serempak. Wow! Menyanyi sekaligus menari secara bersamaan, bukan perkara yang mudah ....

Oh ya. Kami menyaksikan saat mereka latihan, kalau nggak konsentrasi rupanya ada yang dikeplak kepalanya. Salahnya sendiri. harusnya merunduk, eeee ... nongol! Padahal tetangga sebelah bagian tangan menepuk ke atas. Kena deh!

***

Bagaimana? Seru kan menyaksikan kehebatan putra-putri Indonesia di kancah internasional? Meski mereka tugas dan kewajibannya menuntut ilmu di negeri rantau, tetap saja budaya yang mereka bawa bisa diperkenalkan di sana. Kalau tidak ... lah ya malah jadi penonton terus, tho? Atau menonton para bule/orang asing yang memeragakannya (seperti pencak silat). Gawat. Semoga semakin banyak Kompasianer muda yang semangat untuk kuliah ke luar negeri dan tetap membawa budaya bangsa sendiri. Kalau tidak dipupuk dan diingat dari sekarang, kapan lagi? Sambil menyelam, minum soda gembira. Salam budaya Indonesia. (G76).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun