Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ingin Hidup Abadi? Menulislah!

6 April 2016   19:06 Diperbarui: 7 April 2016   10:09 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan karya, buku dan museum. Saya yakini, itu peninggalan para penulis di dunia, untuk orang lain (saya, Anda, mereka).... Eit, penulis yang mana? Ya, mulai dari fiksi bisa, lagu boleh, biografi juga, travel kek dan lain-lain. Semua menulis, semua bermanfaat. Semua karya, membuat (nama) penulis hidup abadi. Menarik bukan?!

Nah, setelah pernah berkunjung ke rumah H.C. Andersen (penulis dongeng anak di Odense, Denmark), Karl Marx (penulis buku sosialis dan filosofi dari Trier, Jerman), Goethe (pujangga yang lahir di Frankfurt, sekolah di Leipzig dan meninggal di Weimar, Jerman), Schiller (pujangga kelahiran Marbach dan meninggal di Weimar, Jerman) dan E.T.A. Hoffmann (penulis roman, puisi, lagu dan masih banyak lagi, yang pernah tinggal di Bamberg, Jerman), kami berkesempatan melihat rumah penulis Karl May di Radebeul, Jerman. Dada rasanyaaaa ... bangga. Saya juga menulis, lho. Baru belajarrrr ....

[caption caption="Villa Shatterhand. dokpri"][/caption]

[caption caption="Karl May. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Karl May dan Klara May. dokpri"]

[/caption]

Siapa sih, Karl May?

Orang-orang mengenang novelnya yang bernuansa cowboy dan suku Indian. Ya, betul;  American Old West series! Pernah lihat filmnya Jacky chan yang ada Winnetou? Dia  adalah sosok khayal yang ia ciptakan. Selain roman, puisi, drama dan lagu adalah karya yang pernah dibuatnya. Serba bisa!

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Awal kehidupan penulis yang lahir di Radebeul, 25 menit dari Dresden itu, tidaklah semanis cerita akhirnya. Bayangkan saja, ia lahir dari keluarga miskin dengan 14 anak. Sembilan diantaranya meninggal saat dilahirkan, Karl anak kelima. Masa mudanya pernah berantakan sekolah, bahkan pernah dipenjara karena mencuri. 

Allah memang penuh hidayah. Suatu hari, ia ketemu  dengan seorang penganut agama Katolik. Belajar. Karl kembali ke rumah orang tuanya dan mulai menulis. Itu sejak tahun 1874, usianya sudah 32 tahun. Apakah lewat tulisan ia disenangi pembacanya? Sepertihalnya di Kompasiana, tulisan kita bisa saja disukai orang atau bahkan ...  dicibir. Manusia bukan dewa, ohhh cerita dewa saja ada yang dibenci manusia kan? Begitu pula dengan kisah Karl. Tulisannya pernah dikomplen beberapa pembaca. Ia dianggap terlalu protagonist.

Apa dia putus asa lalu ngambek nggak nulis lagi? Tidak tentu tidak. Bahkan luar biasa. Tulisan Karl mengalir di tengah suka-duka kehidupan pribadinya. Ditambah, suatu hari, Karl menikah untuk kedua kalinya dengan Klara May. 

Memandangi ekspresi foto-foto mereka di dinding museum, tampaknya Karl dan Klara hidup bahagia. Sayang, umur Karl nggak sepanjang tetangga, kenalan atau saudara saya yang sampai umuran 80-90 an. Karl meninggal di usia 70 tahun, ukuran yang teramat pendek untuk orang Jerman. Takdir Tuhan memang nggak ada yang bisa prediksi.

Sepeninggal Karl, Klaralah yang meneruskan apa yang sudah dikerjakan Karl dalam hidup. Salah satunya adalah rumah mereka, villa Shatterhand menjadi obyek wisata edukatif di Radebeul. Sayang, Klara meninggal pada tahun 1944.

[caption caption="Wayang dari Jawa. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Keris. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Wayang golek. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Rumah gadang. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Al - Quran. dokpri"]

[/caption]

Koleksi keindonesiaan

"Bu .. Ada wayang ..." Suami saya berteriak gembira.

"Bohooooonggg ..." Amatan saya masih tetap pada dua buah patung suku Inca tak bisa lepas. Unik. Bayangin bawanya gimana ya? Sudah berat, apa mudah membawanya lewat cukai?

"Sini ... Buuu .." Gemes. Suami gemes karena saya nggak segera menghampiri.

"Wahhhh iyaaaa ... Wayang kulit ... Eh ada juga Sundaaa .. Wayang golek!" Pekik kegirangan membuat tamu lain tersenyum. Hahaha semoga saya nggak dikira gila. Segera jeprat-jepret, mengabadikan kebanggaan budaya Indonesia yang dibagi orang sedunia di sini. "Haaaa, paaaak ... kerissss... Kamu juga mau punya sudah keduluan Karl May, tuhhh." Yaaa ... suami saya memang pernah pesen keris, bapak sudah mau ngasi tapi saya takut bawanya gimana di bagasi?

Heyyy! Tak hanya itu, rumah gadang mini juga dipajang di etalase kaca di tengah-tengah, seberang keris. Ihhh ... Seru!

Yak. Excited. Yang menarik dari kunjungan ke museum itu adalah bahwa Karl dan Klara May pernah berkunjung ke Sumatra dan Jawa tahun 1899 dan mengoleksi benda keindonesiaan di museum. Semua disimpan di Villa Bärenfett (beruang gemuk), di halaman belakang villa Shatterhand. Tanya kenapa?

Belakangan, terjawab. Setelah masuk ke villa Shatterhand yang di pintu utamanya adalah toko souvenir, saya temukan banyak cerita tentang perjalanan sang penulis. Dalam foto-foto Karl dan Klara May di villa, seberang villa Nscho-tschi itu, terlihat perjalanan mereka keliling dunia. Wahhh ...suka traveling juga, ya, selain menulis.... Asyik. Apalagi, seperti mimi dan mintuna. Ke mana-mana, selalu berdua.

[caption caption="Tempat Karl menulis"]

[/caption]

[caption caption="Buku-buku tulisan Karl May. dokpri"]

[/caption]

Hikmah Kunjungan

Dari jalan-jalan ke museum Karl May, ada yang bisa saya pelajari. Pertama, Klara May, istri kedua Karl amat mendukung apa yang dilakukan Karl; menulis dan perjalanan keliling dunia yang diadakan dalam rangka karyanya itu. Tanpa dukungan Klara, saya yakin, fantasi, kemasyuran dan kenyamanan Karl dalam menulis tidak seperti yang diharapkan. 

Hal yang barangkali kurang dilakukan oleh Emma, istri pertamanya. Hmm ... Kompasianer menulis? Bagaimana dengan dukungan keluarga atau orang terdekat? Apakah mereka memberikan dukungan positif? Jika iya, berbahagialah .... keep writing. Menulis memang memiliki banyak proses dan pengalaman yang unik.

Kedua, warisan untuk anak-cucu tak melulu uang dan harta benda ... Coba lihat. Karl meninggalkan tulisan dan disimpan di museum. Klara meneruskan perjuangan menulis Karl dengan mendirikan penerbitan dan bergabung dengan pembuatan film dari tulisan karya Karl. Museum sang penulis juga digagasnya. Hasilnya, kita bisa menelusuri jejak karya Karl dan mengunjungi museumnya.

Betul kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan kebajikan. Nilai-nilai baik juga bisa didapatkan dari buku dan museum Karl ... Itu menghidupkan nama penulisnya, Karl May,  abadi, tak lekang dimakan jaman.

Bagaimana dengan Kompasianer? Berbanggalah kalau Anda suka menulis. Meski kalau menulis buku, nggak mesti jadi mendadak kaya (malah kadang bisa tekor kalau terbit indie tapi bukunya nggak laku xixi). Don’t worry. Sepanjang tulisan bermanfaat dan  menginspirasi orang lain, is OK. Tulisan itu akan menjadi kenangan abadi sepanjang hayat, meski penulisnya sudah mati.

Terakhir, koleksi keindonesiaan Karl itu menjadi cambuk untuk ikut melestarikan budaya bangsa sendiri. Misalnya, dengan mau mengoleksi benda keindonesiaan di rumah untuk dimiliki dan dipamerkan atau diperkenalkan bangsa lain. Kalau tidak, keduluan orang dari bangsa lain mengoleksi barang dari negeri sendiri. Oh, no. (G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun