Heyyy! Tak hanya itu, rumah gadang mini juga dipajang di etalase kaca di tengah-tengah, seberang keris. Ihhh ... Seru!
Yak. Excited. Yang menarik dari kunjungan ke museum itu adalah bahwa Karl dan Klara May pernah berkunjung ke Sumatra dan Jawa tahun 1899 dan mengoleksi benda keindonesiaan di museum. Semua disimpan di Villa Bärenfett (beruang gemuk), di halaman belakang villa Shatterhand. Tanya kenapa?
Belakangan, terjawab. Setelah masuk ke villa Shatterhand yang di pintu utamanya adalah toko souvenir, saya temukan banyak cerita tentang perjalanan sang penulis. Dalam foto-foto Karl dan Klara May di villa, seberang villa Nscho-tschi itu, terlihat perjalanan mereka keliling dunia. Wahhh ...suka traveling juga, ya, selain menulis.... Asyik. Apalagi, seperti mimi dan mintuna. Ke mana-mana, selalu berdua.
[caption caption="Tempat Karl menulis"]
[caption caption="Buku-buku tulisan Karl May. dokpri"]
Hikmah Kunjungan
Dari jalan-jalan ke museum Karl May, ada yang bisa saya pelajari. Pertama, Klara May, istri kedua Karl amat mendukung apa yang dilakukan Karl; menulis dan perjalanan keliling dunia yang diadakan dalam rangka karyanya itu. Tanpa dukungan Klara, saya yakin, fantasi, kemasyuran dan kenyamanan Karl dalam menulis tidak seperti yang diharapkan.
Hal yang barangkali kurang dilakukan oleh Emma, istri pertamanya. Hmm ... Kompasianer menulis? Bagaimana dengan dukungan keluarga atau orang terdekat? Apakah mereka memberikan dukungan positif? Jika iya, berbahagialah .... keep writing. Menulis memang memiliki banyak proses dan pengalaman yang unik.
Kedua, warisan untuk anak-cucu tak melulu uang dan harta benda ... Coba lihat. Karl meninggalkan tulisan dan disimpan di museum. Klara meneruskan perjuangan menulis Karl dengan mendirikan penerbitan dan bergabung dengan pembuatan film dari tulisan karya Karl. Museum sang penulis juga digagasnya. Hasilnya, kita bisa menelusuri jejak karya Karl dan mengunjungi museumnya.
Betul kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan kebajikan. Nilai-nilai baik juga bisa didapatkan dari buku dan museum Karl ... Itu menghidupkan nama penulisnya, Karl May, abadi, tak lekang dimakan jaman.
Bagaimana dengan Kompasianer? Berbanggalah kalau Anda suka menulis. Meski kalau menulis buku, nggak mesti jadi mendadak kaya (malah kadang bisa tekor kalau terbit indie tapi bukunya nggak laku xixi). Don’t worry. Sepanjang tulisan bermanfaat dan menginspirasi orang lain, is OK. Tulisan itu akan menjadi kenangan abadi sepanjang hayat, meski penulisnya sudah mati.