22 Desember. Hari ibu!
Mei kemarin, anak-anak sudah banyak sekali membantu pekerjaan rumah tangga dan memberi hadiah buatan sendiri. Tradisi menulis puisi dan prakarya dari sekolah menjelang hari ibu, hari ayah dan natal sudah ditanamkan sejak taman kanak-kanak. Apalagi sekarang, mereka sudah SD. Tambah pinter! Ohhhh ... iya, Jerman merayakan hari ibu tanggal 10 Mei, lebih duluan dari Indonesia.
Makanya kemarin, anak-anak bilang, “Kan hari ibu di Jerman sudah, hari ibu lagi?“
Lah iya lahhh, ndhuuukkk ... mamanya orang Indonesia, orang Indonesia merayakannya pada tanggal 22 Desember. Hmm ... mereka juga separoh Indonesia kan. Ya, sudaaah. Akhirnya mereka cuma memeluk dan mencium saya erat-erat ... lumayan. “Aku cinta mama“ kata mereka. Mak jlebbb ... tahu, saya jadi tahu, mengapa ada niatan bersikeras melahirkan anak-anak dari rahim ini di dunia.
Arghhh sebentar ... ada yang lupa! Segera, segera telepon saya sambar. Ibu! Saya juga punya ibu. Iya, saya harus mengucapkan selamat hari ibu pada perempuan yang telah mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik sampai tugas yang sama beralih ... Entah apakah saya bisa membalas apa yang telah dia korbankan untuk saya selama ini. Satu yang saya tahu, tugas yang sama, sedang saya emban. Belum habis, belum apa-apa. Kalau saya tidak bisa membalas pada ibu, saya ingin melakukan hal yang sama yang dilakukannya. Iya, pada anak-anak kami ....
“Ibu?“ Suara saya segera menyapa, begitu nada telpon diterima ada di seberang dunia sana.
“Eh, iyo, Gan... piye kabare?“ Ibu yang baru saja menyediakan makan malam untuk bapak, tergopoh-gopoh.
“Sehat, bu. Bapak-ibu sehat?“ Suara itu. Suara yang mengingatkan betapa dulu waktu kecil hingga remaja, saya kangen ibu tapi ibu sibuk tak pernah di rumah. Sekarang kami sama-sama tidak sibuk ... ibu pensiun dan saya ibu RT. Takdir, jarak dan waktu telah memisahkan kami. Bermil-mil jaraknya.
“Ya, alhamdulillah ... ehhh ono paket isi buku pak Tjiptadinata, ulos saka mbak Fitria ....“ Ibu selalu mengemban setia tugas langganan logistik barang yang ditujukan untuk saya yang merantau. Laporan penerimaannya dan serah terima barangnya, selalu beres. Matur nuwun, ibu. Kalau dikirim ke Jerman, memang istimewa, tapi berat di ongkos.
“Wah, seneeeeeng ... Bu. Bu, selamat hari ibu ... Nen, ayo sini, nyanyi ...“ Saya geret anak perempuan kami yang sedang lewat itu. Dianya nggak mau, saya sudah warning dengan satu telunjuk diangkat. Dia patuh.
“Satu-satu, aku sayang ibu ... dua-dua, juga sayang ayah ... “ Lagu yang itu lagi. Sekali lagi, sederhana tapi sungguh bermakna. Kami bernyanyi seperti grup koor kampung.
.............................................................
Biasanya kalau ada waktu bertemu di Semarang, saya sempatkan diri memijat ibu. Seperti pijatan anak-anak kami pada saya. Ya. Biar lelah yang ada hilang sejenak. Atau ... saya dan ibu, bercakap-cakap tentang banyak hal. Tidak begitu romantis seperti dalam film-film tapi sungguh terhubung. Ada komunikasi.
Sepuluh menit berlalu, saya sapa gantian bapak, kakak dan adik ... yang kebetulan juga mampir di rumah orang tua kami di hari ibu. Setelahnya, telepon saya tutup.
Anggukan kepala menjadi tanda. Hari ibu seperti halnya hari-hari biasa tapi hari itu rasanya menjadi simbol untuk mengingat kembali jasa seorang ibu untuk anak-anak dan keluarganya. Tugas yang tidak ringan, penuh pesan moral. "Du bist die beste Mutter auf der ganzen Welt! Ibuku, nomor satu sedunia."
Baiklah. Bagaimana percakapan telepon dengan ibu Kompasianer di hari ibu? Selamat hari ibu bagi semua ibu di Indonesia yang ada di tanah air maupun di manapun engkau berada. Ibu-ibu ... jangan pernah lelah. Surga ada di telapak kakimu ...(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H