Selasa. Anak yang nomor dua harus sekolah siang. Si bungsu sendirian. Manyun, kasihan. Ya, sudah, kami berdua bikin acara ke dapur. Bikin Plätzchen. Itu adalah kek (Kekse) khas natal Jerman yang ada menjelang natal.
Selain belajar cara membuatnya dari rumah secara turun temurun, kek ini biasa diajarkan di taman kanak-kanak di kantin sekolah, toko roti setempat dan kursus memasak di lembaga pendidikan non formal. Tradisi yang tak tergerus jaman.
Seru sekali budaya Jerman ini dan betapa bangganya mereka ....
Hmmm. Sejelek-jeleknya buatan sendiri, pastilah paling enak sedunia. Puas! OK. Kami persiapkan bahan-bahannya:
300 gram tepung terigu yang sudah diayak
150 gram margarin atau butter
125 gula pasir
1 sachet bubuk vanili
1 telur utuh
1 telur kuning untuk olesan
penghias (sesuai selera; bisa biji-bijian, meses, gula-gula warna-warni, marzipan ...)
Sepercik garam
Caranya:
- Masukkan semua bahan ke dalam baskom, aduk dengan mixer sampai bercampur.
- Pemilihan margarin atau butter akan mempengaruhi rasa dan kekerasannya. Margarin akan membuat kek lebih rapuh. Mentega (butter) membuatnya lebih keras dan rasanya beda.
- Taburkan tepung terigu pada bawah (alas tempat menggiling) dan atas pada adonan waktu digiling supaya tidak lengket. Gilingan jangan terlalu tipis agar tidak mudah rusak waktu dipindah ke loyang oven. Kira-kira 1 cm kali yaaa ....
- Ambil cetakan yang dipilih, tekan dan pindahkan ke loyang.
- Olesi hasil cetakan dengan kuning telur, pakai kuas. Saya suka yang dari silikon karena dari rambut/bulu biasa ada yang tertinggal.
- Hiasi dengan bahan yang diinginkan, misalnya meses coklat.
- Masukkan hasil cetakan ke bagian tengah oven (yang sudah dipanaskan 160 derajat).
- Tunggu sampai 15-20 menit sampai kek berwarna keemasan. Jangan sampai gosong, bisa pahit.
- Jika sudah, angin-anginkan sampai dingin.
- Masukkan ke dos yang bersih, tutup.
- Selamat menikmati kapanpun Kompasianer ingin melahapnya, bersama kopi atau teh pun jadi.
Note: banyak resep dengan takaran tepung-gula-butter/margarin yang berbeda. Hasilnya juga beda.
Sejarah Plätzchen
Plätzchen berasal dari kata Platz atau tempat yang datar. Di Jerman, penggunaannya lazim ditemukan pada kosa kata seperti Spielplatz (tempat bermain) atau Parkplatz (tempat parkir). Chen biasanya menjadi suffix, akhiran kata benda yang kecil dan manis seperti Kaninchen (kelinci), Hanchen (ayam goreng), Häschen (kelinci), Stuhlchen (kursi kecil), Mänchen (manusia kecil), Punktchen (titik kecil), Brötchen (roti kecil) .... Hampir serupa dengan penggunaan suffix – lein di Jerman.
Lalu, juga mengingatkan saya pada pemakaian san dan chan untuk panggilan di Jepang. San untuk orang yang dihormati dan chan untuk orang yang sudah dekat, panggilan manis atau anak-anak. Misalnya Gana chan.
Kembali ke Plätzchen. Jadi kek itu berbentuk datar dari cetakan yang ada. Macam-macam Plätzchen ada Schokoladenplätzchen (kek yang adonan didominasi coklat), Weihnachtsplätzchen (kek khas natal).
Nah, Tradisi memanggang kek sendiri sudah turun temurun ada. Dimulai dari jaman kelahiran Yesus. Di mana setiap tanggal 22 dan 23 Desember, orang khusus memanggang roti datar yang dihiasi madu dan biji-bijian (sereal). Namanya Steinen buken. Roti itu untuk melindungi dari para roh jahat dan sebagai persembahan pada para dewa.
Seiring perkembangan jaman, orang mulai membuat Christstollen atau roti natal demi mengganti roti persembahan itu.
Sampai pada akhirnya muncullah kek natal seperti sekarang. Awalnya, pada jaman tengah, kek mulai dipanggang di biara-biara. Hiasan kek mulai dari pala, jahe, cengkeh, kayu manis, kapulaga dan lainnya.
Sekarang taburan Plätzchen bisa bermacam-macam, mulai dari coklat, meses, gula-gula warna-warni, marzipan, kacang-kacangan (kenari, kacang tanah, mandel, haselnus), merica, selai, jinten dan lainnya.
Kemudian, bentuk cetakan yang biasa ditemukan di hari natal yaitu; bundar, bintang, pohon cemara, makaron, bulan sabit, rumah, hewan seperti Elch, tikus atau kuda poni. Cetakan ada yang dari bahan plastik, ada yang aluminium. Yang dari aluminium lebih tajam tapi kadang kalau sudah lama dipakai ada warna karat atau warnanya sudah tidak bersinar lagi. Sedangkan yang dari plastik lebih awet dan mudah mencucinya.
***
Bagaimana, seru kaaan tradisi turun temurun bangsa Jerman yang sudah dikuasai anak-anak jaman sekarang, tak terkecuali anak-anak kami? Saya yang orang Indonesia juga ketularan. lho. Kalau dulu di Indonesia biasa beli kek, di sini ... bikin sendiri. Semoga ini memotivasi Kompasianer untuk mau mencoba membuat kek sendiri dan membangun harmonisasi bersama anak-anak (tidak hanya yang perempuan tapi juga laki-laki) di rumah dengan kegiatan sederhana tapi bermanfaat. Siapa tahu jadi bekal untuk usaha atau berumah tangga? Selamat mencoba karena natal tanpa kue natal kurang greng. Selamat meramaikan natal bagi yang menjalankan. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H