Gaganawati, no.8.
Dr. Jalal itu Mr. James ... Mr.J??? Mataku yang telah sembab, melotot. Tak kusia-siakan detik-detik kosong saat James jatuh. Gerakan reflek jemariku, meraih pistol yang jatuh!
“Sekali saja kau bertindak bodoh, tak segan aku menarik pelatuknya.“ Gertakanku membuat James mengangkat kedua tangannya. Minta ampun.
“Aku hanya ingin membantumu, Anna ...“ Senyum jahat James tersungging.
“Menjauhkan Nughie dariku? Menjadikanku Anna Kalashnikov? Semakin gila karena suntikan amphetamine rutinmu hingga aku berhalusinasi sepanjang kau mau? Menyingkirkan Ran? Apaaaa ... apa lagi kekejaman yang akan kau perbuat dalam hidupku? Dokter bedebah!!!“ Kugerakkan pistol ke kepalanya. Iya. Tepat di dahi. Seperti yang pasti sudah ia lakukan pada Ran. Ran yang sudah menjadi mayat dengan lubang tembakan peluru di dahi.
“Kamu tak bisa lari dari rumah sakit ini, Rhein ... Aku sudah mengaturnya.“
“Hahaha, dasar culas ... itu sebabnya kau bunuh Ran. Kau salah, James. Satu yang kutahu, justru dengan bantuanmu aku tetap bisa keluar dari sini, James. Berdiriiii!“ Teriakanku bahkan mengagetkan diriku sendiri. Kerongkongan serasa kering dari teriakan tadi. Serak sekali. Sakit!
Satu tangan berwarna merah karena darah Ran, memegangi rambut gimbal di kepalaku. Aku bingung. Kepalaku pusing. Mengapa kejadian menyeramkan begitu cepat terjadi? Air mataku kembali menetes. Membasahi wajah tanpa polesan yang makin pucat pasi saja dari hari ke hari.
James bangkit dari jatuhnya. Ekor matanya masih saja mengawasi moncong pistol yang berpindah ke tanganku. Kupaksa ia membuka pintu. Jika tidak, pistol yang kutodongkan di tulang belakangnya akan menembus ke dada. Kudorong James agar mau berjalan menuju lorong.
“Semua tiarap, buang senjata jauh-jauh ... kalau tidak, kusudahi dokter Jalal ... “Para suster dan petugas keamanan terlihat panik dan kebingungan. “Cepaaaattt!!!“ Pistol beralih ke pelipis James karena semua hanya mematung.
Beruntung mereka meluluskan semua permintaanku. Peluhku berjatuhan. Gugup. Aku deg-degan. Tanganku bergetar hebat tapi kuusahakan tetap konstan, agar pelatuknya tak tertarik secara tak sengaja. Belum waktunya....
Sebelum membuka pintu keluar, aku suruh James mengambil aktaku, stempel rumah sakit dan kertas kop RS yang ada di meja resepsionis.
Syukurlah, tak berapa lama, kami sudah berada di ruang bawah tanah. Ruang parkir! Kupaksa James menyetir di sebelahku dan memintanya untuk tidak macam-macam selama memegang kemudi. Bisa saja ia ugal-ugalan pegang setir untuk membuat pistol dan aku, terlempar. Tentu saja, pistol itu masih memaksanya untuk jadi "anak manis", melakukan apa saja atas komandoku.
***
Apartemen itu. Ya, kami menuju sebuah tempat yang kuingat. Apartemen terakhir kali yang pernah aku diami. Tidak kuingat di jalan apa, hanya ingat arahnya saja. Uhhh ... Lumayan jauh.
Perjalanan begitu sunyi tanpa kata. Kucoba merangkai tanya. Tadi James bilang, ada dua peluru dalam pistol yang kupegang ini. Satu sudah muntah untuk Ran, satunya ... untukku.
“Aku benci ... Ran telah merebut Nughie dariku tapi aku tetap menyesal kau menghilangkan nyawanya ...“ Kubuka suara sembari tetap kuat mengacungkan pistol. Kuulangi ulasan tentang Grandi Navi Veloci, Ran, yang darahnya mulai mengering di tanganku.
“Jangan lupa, ia juga mencintaimu. Sainganku. Aku mencintaimu Rhein, aku menunggumu!!!“
“Jadi itu pula sebabnya kau coba menjauhkan Nughie dariku? Mengapa kau tega menyiksaku, James?“
“Kalau aku tak mampu memilikimu ... tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh memilikimu. Jangan salahkan aku, jika aku ingin melihatmu pelan-pelan ... menderita. Satu persatu orang yang mencintaimu pergi ... hanya ada aku di sampingmu, dan yaahhhh ... sedikit ampethamine.“ Pria jahat itu menyeringai.
Kepalaku kesemutan, seperti TV yang sudah habis programnya; “Zyxzktrzwqzlkczz ....“ Ternyata cinta bisa membutakan mata seseorang. Yang tadinya cinta menjadi benci.
Ahhhh ... Sudah sampai. Errrr ... di mana kuncinya? Kuminta James mencari di setiap sudut. Kunci rumah ketemu! Rupanya aku pernah menyembunyikan duplikatnya di bawah pot bunga mawar, Broceliande yang sekarat tak terawat. Kasihan.
“Buka komputer. Ketik di sana bahwa kamu, dr. Jalal dari Rumah Sakit Jiwa menyatakan pasienmu, Anna Kalashnikov sudah sembuh dan diperbolehkan meninggalkan rumah sakit.“
“Aku tak bisa dan tak boleh melakukannya, Rhein ... Ini dusta! Bahkan identitas Anna Kalashnikov itu ulahku ... “ James menatapku. Nanar.
“Sudah kuduga ... tapi bukankah tadi di rumah sakit kamu bilang aku sudah cukup sehat?! Jangan kau telan ludah yang telah kau muntahkan, James!“ Lagi-lagi, pistol itu menempel di dahi James.
Ketikan tangan James pada laptopku seiring dengan degup jantungku yang kian kencang. Printer memuntahkan sebuah kertas yang kumau. Mataku bersinar, seperti menemukan pundi emas di sebuah goa yang gelap.
Kuikat James di sebuah kursi. Meniru tontonan penjahat di film Hollywood. Kukunci kamar di mana ia berada.
Aku kabur.
***
Cengkareng, Jakarta, Indonesia.
Lama sudah aku bersembunyi dari James. Lenyap dari muka bumi ini untuk sementara waktu.
Kini aku telah siap dengan kepergianku.
Kuperiksa lagi tas tanganku sebelum check in; surat rekomendasi dr. Jalal bahwa aku dinyatakan sembuh, paspor lengkap dengan visa schengen, dompet, HP pemberian Ran, buku “Malam Bulan Mati, Balkon dan Ciuman“ dan berkas dokumen untuk sebuah keinginan. Komplit.
Lenganku, menggamit Pow, beruang lusuh yang matanya hilang satu, entah di mana aku masih juga tak tahu.
Kuserahkan kopor warna merah jambu pada petugas yang seperti model iklan itu.
Aku tersenyum bukan padanya tapi pada sebuah asa. Ya. Sebentar lagi ... terbang.
***
Dignitas, Zürich, Swiss.
Kepalaku serasa dipukuli martil dan godam lagi. Mataku seperti mau meloncat sendiri. Ingin rasanya kupotong tanganku. Aku tak bisa lagi hidup. Aku ... aku tak tahu!
Seorang perempuan berambut pirang, berpakaian putih-putih masuk. Ia memberiku masker oksigen agar aku tenang. Karena aku tidak sakit secara fisik, butuh tiga dokter untuk memeriksaku dan mengiyakan permintaanku. Euthanasia.
“Mengapa kamu pilih euthanasia?“ kata Dokter Heinz Hofmann. Ia yang pertama mengunjungi dan menanyaiku.
“Aku sudah bosan hidup. Bayangkan saja ... cintaku pada Nughie, Nugha dan Nughie yang sepakat membunuhku dengan beragam cara, kematian Nina, hilangnya nyawa Ran, amphetamine yang berlebihan dan percakapan terakhir dengan James ... ahhhh ... sungguh aku tak percaya semua ini ada di buku-buku hidupku, dok. Aku mau mati saja ....“
Curhatanku membuat dokter ganteng itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia buka kacamatanya dan beranjak dari ranjangku. Proses yang menegangkan. Akan ada dua dokter lagi yang akan berbincang dan memeriksaku.
***
Waktu berlalu. Tiga dokter sudah. Periksa ini-itu, beragam pandangan dan rentetan pertanyaan sudah kuhadapi.
Hari ini ... pemberitahuan keputusan mereka. Final!
“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu meninggalkan dunia ini?“ Dokter Hofmann memelukku.
“Ya, dokter Hofmann.“
“Apa kata keluargamu? Biasanya butuh dua saksi kematianmu.“
“Aku sengaja tak menghubungi mereka. Bukankah soal hidup, keputusanku, dok.“
“Baiklah. Aku menghargai keputusanmu, kami akan tetap membantumu. Ada permintaan terakhir?“
“Ya ... Boneka Pow, buku “Bulan Mati, Balkon dan Ciuman“ dan HP Ran di dekat ranjangku. Bakarlah jasadku, sebarkan di laut.“
“Itu saja? Kami akan melakukannya. Janji. Kami bertiga sudah sepakat. Jadwalmu, tanggal 27 November.“
Aku bahagia. Tanggal yang pasti. Keinginan mengakhiri hidup karena depresi akibat keruwetan yang kualami selama ini membuatku gila, terbuka lebar.
***
27 November 2015.
“Hallo, Anna ... sudah siap hari ini?“ Lagi-lagi dokter Hofmann yang ramah dan baik hati.
“Ya, dok. Aku sudah siap.“
Dokter Hofmann yang masuk dengan sebuah botol dan gelas kecil itu masuk kamar apartemenku. Ia tuangkan cairan warna kuning ke dalam gelas. Kuteguk cairan rasa manis itu. Ohhh ... ngantuk. Hawa ingin tidur mengajakku memejamkan mata. Kupeluk erat Pow, buku lusuh dan HP itu .... Perlahan, tangan dokter begitu hangat meremas kedua tanganku.
“Barangkali kamu akan bertemu Nina, Ran dan entah siapa lagi yang kamu cintai di surga....“
“Papa. Aku berharap begitu, dokter Hofmann.“ Badanku sudah merebah. Dokter dan perawat membantuku meluruskan kaki di atas kasur warna putih.
Lima menit berlalu. Dokter Hofman memeriksa nadiku. Steteskopenya meraba dadaku. Nihil ....
“Ia sudah bahagia.“ Kata dokter Hofmann. Perawat mengangguk. Kedua orang itu meninggalkan ruangan di mana mayatku masih juga hangat.
***
Aku terbang di antara tumpukan awan. Lambat laun, datang rombongan malaikat bersayap yang sepertinya kukenal wajahnya.
“Papa? Nina? Ran?“
Mereka tak menjawab. Tangan dingin mereka menggandengku, mengajakku ke sebuah taman yang indah. Penuh mawar. Iya, mawar Broceliande yang segar, bukan yang sekarat seperti di depan apartemenku. Beberapa anak kecil tampak lucu wara-wiri di sana.
“Lihatlah mereka ... mereka butuh kamu.“ Papa memeluk pundakku. Diciumnya keningku lekat-lekat. Sayapnya yang putih dan kuat begitu memukauku. Papa, kamu masih seperti dulu ... tahukah kamu seberapa besar rinduku padamu?
“Kenapa harus aku, Papa?“
“Pernikahanmu dengan Nughie tak juga memberimu buah hati... di sini menunggu banyak anak yang haus akan kasih sayang dari perempuan sepertimu.“ Kata papa lagi.
“Dan aku yakin, kamu bisa, Rhein ...“ Nina maju dan memelukku.
“Maafkan aku, Rhein ... telah banyak salah yang aku goreskan dalam hidupmu. Sayangnya, belum ada tempat untukmu di sini. Untuk mati, harus ada ijin dari Tuhan. Kamu harus kembali. Masih ada tugas untukmu.“ Ran ganti meremas jemariku yang masih juga hangat.
“Tugas? Tugas apaaa?“
Sunyi. Tak ada jawaban dari mereka. Tiba-tiba mereka lenyap dari hadapanku. Aku megap-megap. Kedua tanganku bergerak-gerak tak beraturan.
Rupanya aku masih hidup. Gelap yang tadi hanya sementara.
“Oh, Tuhan! Rupanya Dia masih mengijinkan kamu hidup. Mukjizat. Ini mukjizat. Dokter Hofmannnn!“ Perawat yang sudah dikawal para pria penggotong keranda ambulan, menuju tempat pembakaran mayat sudah tiba.
“Di mana aku?“ degup jantungku makin kencang.
“Sebuah apartemen di Zürich“
“Kenapa?
“Euthanasia?“ perawat menyahut.
“Betul, Anna ...“ dokter Hofmann yang mendengar teriakan perawat sudah tiba di kamarku. Ia memperjelas jawaban perawat.
“Namaku bukan Anna. Aku ... Rheinara Yuki!“ Dokter Hofmann bingung. Dulu, berulang kali ia bolak-balik dokumen asli saat pengajuan Euthanasia. Semua menunjukkan namaku, Anna Kalanishkov!
“Dok ... pasti karena keputusan kalian mengurangi dosis cairan kuning untuk pasien dari Asia ini atau ada orang yang sengaja mengganti cairan dalam botol dengan obat lain, ketika aku di kamar mandi.“ Samar-samar kudengar kalimat perawat. Ia segera menutup mulutnya begitu tahu aku mencuri dengar. Matanya terbelalak.
Kebingungan dokter bertambah karena aku yang sempoyongan, mengemasi semua barang-barang dan meraih HP Ran yang berbunyi. Ada pesan masuk.
“Rhein, aku masih mencintaimu. Kutunggu kamu di Jakarta, 1 Desember. Di balkon yang sama“ pesan Whatsapp, atas nama Nughie!
Aku ingin berlari sekuat tenaga, menjemput cinta yang abadi.
"Aku akan segera datang, Nughie!" jeritku.
***
Hari berjalan begitu mudah. Banyak sekali percakapan yang aku renda bersama Nughie dan tentu ... ditemani white frape. Tak ada lagi khawatir yang menjaring di dada. Hanya ada aku dan Nughie di sini. Di balkon apartemen yang kini kembali jadi milik kami berdua. Bukan saja apartemenku.
James? Aku baca di internet, ia bunuh diri ... meloncat dari gedung rumah sakit jiwa.
Tanganku yang hangat menggenggam jemari seorang pria yang kupuja. Nughie. Kami tatap supermoon di atas sana. Bukan, bukan lagi bulan mati.
Yang paling membuatku bersemangat, kami sepakat membuka yayasan bagi penyembuhan multiple personality dissorder dengan nama “Rheinara-Nughie“. Perusahaan Nughie, sponsor utamanya.
Aku, menemukan tugas yang dikatakan para malaikat bersayap yang kukenal.
“Terima kasih euthanasia dan para malaikat yang kukenal“ bisikku pelan, pada supermoon, rembulan yang kali ini, begitu bulat dan terang.
Malam semakin romantis, dengan sentuhan tangan Nughie pada lingkar pinggangku ... dari belakang.(G76).
- Broceliande=jenis bunga mawar yang tahan 4 musim. Bunganya sangat indah dengan warna merah dengan semburat putih. Selain tumpukan mahkotanya yang besar dan menawan, keharuman bunganya sangat kuat.
- Euthanasia=cara bunuh diri dengan suka rela individu, yang dilegalkan beberapa negara seperti Swiss dan Belgia. Bahkan banyak orang asing yang sengaja berkunjung ke Swiss, obyek suicide tourism. Euthanasia dilakukan oleh dokter yang berpengalaman di bidangnya. Dignitas adalah sebuah organisasi yang membantu orang asing untuk mengakhiri hidupnya dan menyediakan apartemen di Zürich dalam rangka persiapannya. Siapapun boleh melakukan euthanasia asal; sakit keras, depresi, sakit jiwa atau alzheimer. Bea totalnya kira-kira 1,263€.
- multiple personality dissorder=kelainan mental akibat masa lalu yang menyakitkan, pelecehan dan trauma. Selama menderita MPD, pasien akan kehilangan hubungan tentang ingatan, pikiran, memori, aksi dan identitas diri. MPD bisa disembuhkan dengan terapi para ahli secara rutin dan profesional.
- White frape=kopi putih yang semakin marak disukai penyuka kopi di Indonesia. Beberapa orang senang menghirupnya untuk mencari inspirasi sebelum bekerja atau menulis. Frappe sendiri adalah es kopi khas Yunani yang berbuih. Isinya kopi, es, gula dan air.
Untuk membaca karya peserta lain dalam Fikber, silahkan menuju akun Fiksiana Community. Mari bergabung di group FB Fiksiana Community.
Simak karya fikber 1 (ending version) lainnya:
1.Randu Asmorojati dan Nawangwulan
12.Distorsi
14.Tarian Maut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H