“Tok tok tok ...“ Pelan tapi pasti, saya dengar pintu ruang ganti diketok.
“Masuk ...“ Karena saya nggak telanjang, saya persilakan siapapun di sana untuk membuka pintu.
“Maaaaaf, saya mau foto Anda. Bisa?“ Si pria pamer kamera.
“Yaaah, sudah dicopot mahkota sama sayapnya. Ok, sebentar, saya pasang lagi. Cepet, kok.“
“Nggak repot ya?“ Ia mundur selangkah. Nggak usah takut, om, saya nggak nggigit!
“Nggaaaaak.“ Meskipun saya mau nangis karena cepet-cepet karetnya jadi “jebret“, lepas dehh karena terlalu kencang diregang dan tak hati-hati. Padahal, kostum itu hadiah ultah saya Januari 2015 yang lalu dari Kompasianer Eberle. Langsung dibeli dari Bali terbang ke Jerman. Lahhh kok malah rusakkkkk.
Pria berambut keriting pirang itu segera beraksi. Saya diatur. “Sana ... sini ... Cukup. Terima kasih. Saya penggemar burung. Saya gabung dengan klubnya. Tarian Anda menakjubkan. Saya akan simpan baik-baik foto Anda.“ Jabatan tangannya, erat.
“Sama-sama.“ Senyum manis saya pertanda setuju, hadir.
Yak. Begitu percakapan singkat saya dengan seorang pecinta lingkungan dari Jerman yang bawa kamera DSLR bermoncong panjang. Pria yang nonton acara Indonesien: Kulinarisches Fest di Konstanz, 26 September 2015 itu terengah-engah datangnya, bela-belain naik ke lantai tiga untuk mencari saya yang barusan menari Manokrawa di lantai 2. Jiahhhh ... capek, ya, Om? Kok, nggak dari tadiiiii?
Barangkali, barangkali ketika saya menari di panggung, bukannya ia main kamera malah ndomblonggg bin bengong ... atau dia malu minta ijin motret waktu saya poto-potoan sama temen-temen dan penonton di sayap kiri panggung. Antri.
Diah asal Salatiga dan anaknya minta foto.
Sepasang muda-mudi Jerman minta foto.
Waktu Widi dari Solo dan Kompasianer Eberle dari Jakarta minta foto pula.
Dan masih banyak lagi yang saya nggak tahu siapa namanya dan lupa tanya karena cepet-cepet, mana antrinya banyaaak.
Apalagi dalam waktu 30 menit berikutnya, burung eh saya harus manggung.
“Lima euro, lima eurooo ...“ Saya lepas humor pada mereka yang antri potoan bersama saya. Semua ketawa. Memang saya nggak sungguh-sungguh. Nggak mau niru pak Ogah di Check Point Charlie Berlin yang sekali poto, seorang dua euro.
***
Adegan-adegan tadi seolah-olah mengelu-elukan burung Manokrawa. Saya memang dijadwal mementaskannya. Menari Bali meski asalnya dari Jawa.
Yup. Tari Manokrawa adalah tarian Bali yang mengimitasi burung rawa yang loncat, terbang, berkicau dan menari.
Gerakan dan musiknya memang rancak. Tak hanya saya saja rupanya yang semangat menikmatinya. Demikian pula dengan penonton. Ekor mata mereka mengikuti detil gerakan saya.
Di acara ultah pemilik banyak pabrik sedunia, di Friedrichshafen di atas kapal Jerman.
Pembukaan pameran lukisan teman Spanyol di Barcelona.
Malam tujuhbelasan di Jembrana Camp, Bali, Indonesia
Pentas pesta kuliner tadi di Konstanz, Jerman.
Saya tidak boleh berhenti.
Burung yang satu itu harus terbang.
Terbang ke mana suka.
Entah menclok di negara mana.
Nggak papaaa.
Owaiyo ... Rasanya, rasanya tak mungkin saya mewujudkannya tanpa dunia maya. Lha jauh dari Indonesia, belajar dari manaaaaa? Ya, internet.
Terima kasih kepada para penari Manokrawa yang mengunggah videonya di youtube. Bermanfaat sekali dan bikin acara belajar menari dari youtube, tetap bisa! Mari-mari .... (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H