Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ingat Semarang, Ingat Simpang Lima

30 September 2015   16:42 Diperbarui: 4 April 2017   17:12 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Simpang Lima ria lapangan Pancasila

Semarang ngumandang, pranyata serbaguna

Swasana rame rakyat gedhe atine

Ing Jawa Tengah wus ambangun

Njero kutha teka desa nga desa

Saben dina pinulya, Simpang lima piguna ...“

 

Lagu yang diciptakan almarhum Ki Nartosabdo itu masih saya ingat. Sering dinyanyikan para sinden jaman saya masih kecil. Sekarang bisa saya dengar dari youtube. Kalau saya ikut nyanyi, anak-anak sama bapaknya tertawa. Hahahaha .... dasar, sinden tiban!

Oh-ooohh ... Lirik lagunya, menggambarkan lapangan yang ada di Simpang Lima, kawasan yang konon memiliki 5 persimpangan di pusat kota Semarang. Persimpangan pertama menuju Pandanaran tempat pusat oleh-oleh seperti Bandeng Presto, wingko babat dan lumpia. Kedua, menuju Gajahmada tempat yang sekarang ikut-ikutan banyak ditanami hotel dan apartemen. Ketiga menuju Seroja (Ahmad Dahlan) yang dahulu saya ingat enak JBL-jagung bakar lesehannya, ada pojok ular cobra tempat minum darah dan daging si hewan melata dan es krim puter lezat. Keempat, menuju Pedurungan (Ahmad Yani) yang jadi favorit karena saya pernah lama tinggal di sana numpang orang tua. Kelima, menuju Pahlawan yang menjadi perbatasan daerah Semarang yang agak atas dan tempat ngabuburit fave anak muda. Sekarang banyak kuliner dan mobil hias lampu! Menyingkirkan stigma negatif taman KB=tamannya para waria.

Ya, begitu. Karena Simpangnya ada lima, ya, Simpanglima namanya. Lapangan di tengah-tengah Simpang Lima itu akhirnya dijuluki sang dalang almarhum pak Nartosabdo sebagai Lapangan Pancasila (lima sila, lima jalan) tapi tak semua orang tahu. Kecuali yang senang budaya. Tempatnya memang untuk semua, bermanfaat bagi orang banyak. Tak percaya? Ini buktinya:

 

 

Tempat upacara

Upacara tujuhbelasan biasa diadakan di sana. Saya senang mengamati reklame raksasa di sekeliling Simpang Lima yang ditutupi kain putih. Barangkali biar konsentrasi dan kalau pasang iklan kan bayar?

Upacara lain juga diadakan di sana, misalnya hari penting lain seperti hari guru, hari ABRI atau apa kek. Seru, melihat kumpulan orang dengan seragam masing-masing. Jadi pesertanya dari pejabat negara sampai anak-anak.

Biasanya kalau ada upacara ya, jalanan ditutup. Terus? Ya, memutar ... jalan dialihkan ... kadang takut kalau telat masuk kerja pas pagi-pagi:

“Waduh, kok macet, pak?“

“Upacara, mbak“

“Waaaaah, alamattt (terlambat).“

 

 

 

Panggung seni dan budaya

Jangan gusar, tak perlu risau. Rupanya, lapangan itu tak sekedar sebagai tempat upacara hari penting yang dihadiri presiden sampai rakyat biasa. Pekan Budaya Nasional misalnya, juga mampu menghibur kita, lho. Bisa cuci mata.

Lihat. Lihat di sana. Mulai dari menteri pendidikan Anis Baswedan, pak gubernur Ganjar, para budayawan, mahasiswa, gadis kinyis-kinyis sampai anak-anak ... berkumpul untuk melihat tradisi Indonesia. Ada yang dari perhimpunan mahasiswa se-Indonesia. Ada yang dari Yogyakarta, Solo, Semarang dan banyak lagi. Semua memamerkan baju tradisional dan kesenian masing-masing. Bahkan beberapa stand mereka membentengi lapangan di arah timur dan barat lapangan. Seruuu ... tontonan gratisan. Ada jathilan, tuhhh ... tuk-tak-tung-tong .... tuk-tak-tung-tong ....

Saya kira tak hanya sekali itu panggung seni dan budaya digelar. Betul?

 
Tempat wisata

 

Sebagai wong Semarang yang lahir, besar, sekolah dan kerja di Semarang (sebelum tinggal di Jerman), saya bangga melihat perkembangan lapangan Pancasila yang sudah dipercantik.

Ibaratnya gadis yang kini sudah matang manggis, sudah tua tapi makin menawan. Lihat saja pohon-pohon besar yang sekarang mengelilingi lapangan. Kesan gersang sudah menghilang. Meski pohon yang mirip palem itu daunnya agak tajam, tetap saja tidak mengurangi keindahan lapangan.

Siang serasa sejuk dengan goyangan daun hijau yang ada di sana. Tempat berteduh yang lebih besar dari sekedar payung lipat yang biasa saya bawa di dalam tas.

Kalau malam, semakin mempesona dengan kerlap-kerlip lampu dari sepeda dan becak hias. Mau coba kendaraan wisata itu? Asyik, lho. Sekali putar Rp 25.000. Murah kaaaan. Bisa berdua atau bertiga ... pokoknya OK.

Haus atau lapar? Di dekat pedestrian Simpang Lima, berjajar warung tenda yang ditata indah, jauh dari kesan semrawut. Kuliner mak nyos. Mau tahu gimbal kek, soto kek, sate kek, nasi ayam kek, bakso kek, pecel kek ... adaaaaa. Minumannya bisa es campur, es dhawet, es teh, es soda gembira ... semua terserah Anda, mau pilih yang mana. Harga damai di kantong.

Souvenir? Pasti banyakkk. Kaos, hiasan, tas ....

 

Saksi pertumbuhan dan perkembangan Semarang

Lapangan Pancasila juga menjadi sebuah tempat yang asyik untuk menyaksikan gedung pencakar langit yang kian hari kian menjamur. Sejak dirobohkannya gedung GOR menjadi hotel dan mall, makin banyak hotel, perkantoran, swalayan dan apartemen yang ditanam di kanan-kirinya. Artinya, lapangan itu menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan kota.

Bahkan lapangan adalah saksi bisu dari banjir yang kalau hujan deraaaas banget, banyak orang bisa susah. Kecuali tukang becak, tukang dorong dadakan dan tukang payung. Lewat sana, siap mencincing pakaian bagian bawah.

Semoga sekarang sudah bisa ditanggulangi. Tidak ada orang yang buang sampah sembarangan hingga gorong-gorong tersumbat. Pembersihan gorong-gorong pastinya sudah rutin dilakukan pemda, ya?

***

Dahulu, ada yang memprihatinkan ..... Minggu, pasukan kuning yang harusnya jalan-jalan sama anak dan istri, eee ... harus bersihin sampah. Maklum, banyak orang biasa buang sampah sembarangan setelah bermalam minggu di sana, apalagi kalau ada konser.

Dahulu, Simpang Lima jadi pasar tiban. Para pedagang menjual barang-barangnya dari Sabtu sampai Minggu. Banyak kejadian copet atau perampokan di sana. Kakak sepupu pernah ditodong belati kalau tak kasih dompetnya. Meski badannya gedhe kalau dikasih belati dan dikeroyok, habis kan? Daripada badannya disayat-sayat kayak ayam dan sapi di pasar, mending menyerah aja. Sisi gelap dari pasar Simpang Lima tiban.

Dahulu, lapangan dihiasi base camp warung tenda remang-remang (plus-plus), persis depan masjid Baiturahmann. Hingga akhirnya dibersihkan dengan beragam alasan. 

Dahulu pada hari Sabtu sampai Minggu pagi, lapangan jadi lahan cari makan para pedagang. Dari yang jualan obat, barang sepuluh ribu tiga sampai makanan. Semua rakyat tumpah-ruah di sana. Ramai banget deh, pokoknya.

Itu duluuuuu ....

Sekarang? Sudah (mau) lupaaa.

Yang diingat, pohonnya yang rindang, area yang bersih dan rapi, kelap-kelip lampu yang indah dari sepeda dan becak hias, makanannya .... Sungguh kerja keras pemda dan masyarakat Semarang dalam mempercantik kota. Meramaikan dan menata kawasan dan lapangan dengan cara yang semestinya. Bravo!

Hanya saja ada saran saya untuk pemanfaatan Zebra cross di dekat lapangan Simpang Lima agar lebih diperhatikan. Bagaimana kalau dibuat 30 km/jam? Jalur lambat di sekeliling lapangan? Itu demi keselamatan siapapun yang akan menyeberang ke sana, agak berbahaya. Letaknya yang di tengah-tengah dikitari kendaraan yang jalannya kencang dan sering tak menghormati pejalan kaki yang menginjak garis hitam putih itu.

Tong sampah juga harus diperbanyak, supaya orang tak mudah untuk sembarangan membuang sampah karena tempat sampah yang ada sedikit dan jauuuuh. Kalau perlu tiap jarak 2 meter satu tong sampah.

Dan bunga warna-warni bisakah ditanam di sekitar lapangan? Bunga dan warna yang cantik pasti menambah keindahan pusat kota. Bunga warna-warni biasa ditanam di taman-taman kota Eropa (tulip, mawar, Begonia, Stiefmutterchen dan lainnya). Warnanya luar biasa!

Seperti dalam lirik lagu Ki Narto di atas, ada penekanan betapa masyarakat berbesar hati karena memiliki lapangan Pancasila itu. Pembangunan merata dari kota sampai desa-desa ... Kota sudah pasti, desa, belum tentu 100% komplit. Harus ditingkatkan. Khususnya untuk pembangunan ruang publik seperti taman dengan mainan anak-anak. Supaya mereka tak hanya menjamah gadget dan sejenisnya.

Oh. Bagaimana dengan mainan seperti ayunan atau kuda-kudaan dari besi di pojok-pojok lapangan Simpang Lima? Mungkinkah disediakan di sana?

***

Itu tadi tempat publik rakyat Semarang. Namanya lapangan Simpang Lima atau lapangan Pancasila. Bagaimana dengan lapangan kota di tempat Kompasianer? Sudah maksimalkah pemanfaatannya? Bagaimana pengalaman Kompasianer di sana?

Akhirnya, Simpang Lima Semarang? Saya kangeeeeen(G76).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun